(POV) Dewanta
Hari pernikahan aku dan Fatimah semakin dekat. Hari ini aku ditemani ibuku pergi kepasar. Kami berencana membeli perlengkapan buat seserahan.
"Ibu...cepat bu," aku berteriak memanggil ibu, sudah satu jam aku menunggu dimobil. Namun ibu tak kunjung datang juga. Lelah menunggu akhirnya aku masuk kembali kedalam rumah, aku memeriksa kamar ibu tapi ibu tak ada dikamar, aku pergi kedapur, didapur pun ibu tak ada juga.
"Cari apa kamu mondar-mandir Dewanta, sudah seperti gosokan saja," tanya ayah yang tiba-tiba muncul dari ruang tamu.
"Ibu mana yah, tadi kami mau kepasar tapi Dewa tunggu dimobil namun ibu tak datang-datang," ucapku bertanya pada ayah.
"Tadi ibumu kekamar mandi lagi BAB, tuh panjang umur lagi diomongi nongol orangnya," jawab ayah sembari menunjuk kearah ibu yang baru keluar dari kamar mandi. Kulihat tangan ibu mengelus-elus perutnya.
"Ibu mules kebanyakkan makan jengkol," jawab ibu santai.
Setelah ibu masuk kemobil aku segera melajukan mobil ayahku menuju kepasar yang berada didekat kantor camat.
Sampai dipasar, tempat yang pertama kami datangi adalah toko perhiasan. Aku membeli seperangkat perhiasan cantik yang terdiri dari kalung, gelang dan anting, aku juga membeli sepasang cincin kawin.
Setelah selesai membeli perhiasan kami lanjut ketoko pakaian.
Ditoko pakaian ibu yang lebih dominan memilih keperluan seserahan seperti seperangkat alat shalat, beberapa stel pakaian muslimah, pakaian dalam wanita, sepatu, sendal dan lain-lain.
Kemudian kami lanjut ketoko make up, aku membeli satu paket alat make up yang dibiasa dipakai Fatimah. Kebetulan aku sempat mengirim pesan menanyakan make up apa yang biasa dia pakainya. Setelah barang seserahan sudah dibeli semuanya. Aku segera mengangkut barang tersebut menuju kemobil.
Sementara ibu membeli sayur ,setelah semua barang masuk kedalam mobil. Aku kembali menyusul ibu kearea sayur. Ternyata ibu sudah membeli beberapa kantong plastik sayur, berukuran besar. Aku langsung memanggulnya dan memasukan kedalam mobil kembali.
Saat aku kembali menemui ibu, aku hendak menuju area daging karena ibu tadi berpesan agar aku menyusul kembali kesana. Aku kembali melewati area sayur.
"paman....paman.... Seorang ibu berbadan tinggi, gemuk dan berkulit gelap memanggilku dengan sekarung sayur disampingnya.
"Paman ayo bawa sayurannya," ucap ibu-ibu berbadan gemuk," Sesaat aku terdiam, namun aku segera mengerti apa maksud wanita berbadan gemuk itu.
"Maaf bu, saya bukan kuli angkut barang disini," ucapku menjelaskan.
"Kamu itu jadi kuli jangan belagu, pakai pilih-pilih kerjaan, kalau tidak ada yang nyuruh baru tahu rasa, jadi pengangguran, memang kamu minta bayaran berapa sih. Tenang aja berapa pun kamu minta aku bayar, kamu fikir aku tidak bisa bayar," ibu itu terus marah-marah, dia sama sekali tidak percaya dengan semua perjelasanku.
Sejenak aku berfikir, jika aku terus menolak. Maka akan memakan waktu yang lama. Kasian ibu menunggu.
"Kemana saya harus membawa barang ibu ," ucapku seketika.
"Ya dari tadi kek, tidak usah sok pilih-pilih kerjaan., tolong angkat barang saya ke pick up warna hitam itu," ujar ibu berbadan gemuk itu sambil mengarahkan telunjuknya kearah sebuah mobil pick up warna hitam.
" Aku segera mengangkat, terasa berat sekali, namun aku kerahkan tenagaku hingga keringat bercucuran membasahi pakaianku. Dengan langkah tertatih-tatih aku memanggul sayur. Setelah sampai di mobil pick up warna hitam, aku segera menaikkan sayuran tersebut keatas bak mobil. Kulihat ibu-ibu berbadan gemuk itu mengikutiku dibelakang.
"Sudah bu, itu barang ibu," aku langsung berlalu pergi meninggalkan ibu-ibu berbadan gemuk itu.
"Ini bayarannya paman," ibu-ibu berbadan gemuk itu menyerahkan uang pecahan dua puluh ribu.
"Tidak usah bu, saya kan sudah bilang tadi kalau saya bukan kuli," ucapku sambil berlalu pergi meninggalkan ibu-ibu berbadan gemuk itu yang terperangah terus memandangku.
"Kamu kemana Dewanta, ibu tunggui tidak datang-datang, ibu fikir kamu tersesat," ujar ibu terlihat kesal.
"Habis nguli dulu," jawabku, aku segera menceritakan apa yang aku alami barusan, ibu tertawa terpingkal-pingkal mendengar ceritaku. Saat ibu tertawa terpingkal-pingkal, aku melihat sosok wanita bermata teduh yang sebentar lagi akan menjadi pendamping hidupku sedang menemani mamanya berbelanja. Rasanya lelah yang kurasakan setelah memanggul sayur satu karung kini lenyap sudah.
" Bu...bu itu kan Zahra," ucapku seraya menepuk bahu ibu. Ibu langsung berhenti tertawa dan melangkah mendekati Zahra dan mamanya.
"Ibu Markonah sedang berbelanja!!" ucap ibuku menyapa mama Zahra kemudian mereka bersalaman. Zahra langsung menyalami ibuku dan mencium punggung tangannya. Aku pun langsung menyalami calon mertuaku dan mencium punggung tangannya seperti yang dilakukan oleh Zahra. Zahra memandangku dan menangkupkan kedua tangannya didada, namun aku hanya menanggapi dengan muka datar saja. Zahra segera mengarahkan pandangannya kearah lain. Aku segera menarik ujung jilbabnya hingga dia memandang kearahku. Aku memberinya senyuman termanis yang aku miliki. Tapi Zahra hanya mencebikkan bibirnya dan kembali mengarahkan pandangannya kearah lain.
"Mari bu Markonah saya tinggal dulu, soalnya sudah lama dipasar dan sudah selesai belanjanya. Kasian ayah Dewa terlalu lama menunggu dirumah," ujar ibuku.
"Silakan bu Wajirah, tidak perlu sungkan-sungkan, soalnya saya baru datang," jawab ibu Markonah. Kami segera berlalu meninggalkan mereka. Sebelum pergi aku sempatkan memandang kearah Zahra. Tiba-tiba Zahra melemparku dengan sebiji bawang merah yang dia ambil dari keranjang belanjaannya. Aku hanya mengedipkan sebelah mataku dan berlalu pergi tanpa menoleh sedikit pun. Sampai dirumah ayah menyambut kedatangan kami membantu menurunkan dan membawa masuk barang belanjaan kami kedalam rumah.
"Bu sulur pesanan ayah sudah ibu belikan," tanya ayah.
"Sudah yah, sebentar lagi ibu masak buat sayur makan siang nanti. Ibu juga beli iwak wadi kesukaan ayah, pokoknya tenang aja, hari ini kita makan enak, sayur sulur sama iwak wadi.
Aku segera mandi karena rasanya badanku terasa lengket sekali. Ternyata kegiatan belanja cukup menguras energi. Satu persatu persiapan pernikahan terselesaikan. Rencananya acara pernikahan dan resepsinya akan diadakan dirumah Zahra. Segala macam masakan dan hidangan, kue dimasak oleh ibu-ibu setempat secara gotong royong. Karena itu sudah menjadi tradisi didesa kami.
Sementara dekorasi dan baju pengantin hingga perias pengantin kami serahkan kepada mba Santi yang memiliki usaha dibidang itu.
Semua berkas pernikahan juga sudah dimasukan ke kantor KUA dan semuanya juga sudah beres.
H minus tiga, semua warga desa Padang Gatah berbondong-bondong mendatangi rumah Zahra untuk membantu segala keperluan seperti memasak nasi, lauk, sayur dan beraneka ragam kue. Itu juga merupakan tradisi di desa ini.
Sementara aku dan Zahra berada dirumah masing-masing, kami tidak boleh bertemu apalagi bepergian bersama menjelang pernikahan.
Hari ini beberapa keluargaku datang dari beberapa daerah. Mereka adalah saudara ayah dan ibu, ada juga beberapa sepupu.
Sore ini aku dan para sepupu sedang bercengkerama setelah sekian lama tidak berjumpa karena kesibukan kita masing-masing.
"Dewa kamu pacarannya sama Fira, kok mau sih dijodohkan ayahmu sama Zahra, kalau aku sih nggak bakal mau coba fikir deh Fira itu cantik, elegan berkelas, udah gitu kaya raya, orang tuanya aja diluar negri, ingat brooo, kaya raya!!, sedang Zahra cuma guru PAUD, emang berapa sih gajinya. Jauh banget bila dibanding Fira, udah gitu wajahnya juga pas-pasan. Enggak paham aku dengan pola fikir kamu dan ayahmu, apa coba kelebihan Zahra, selain ukuran bajunya dan jilbabnya yang lebar," ucap Dito sepupuku sembari menggeleng-gelengkan kepala. Aku tersenyum mendengar ucapan Dito.
"Broo, jangan disamakan mencari istri dengan mencari uang, kalau mau uang banyak ya harus kerja keras. Dalam mencari istri banyak hal yang harus dipertimbangkan. Istri adalah calon ibu dari anak-anak kita, jadi dia harus mempunyai akhlak yang baik agar kelak menurun pada anak-anak kita. Dia harus bisa mendidik keturunan kita, dia harus bisa menerima kita apa adanya. Dia harus bisa mengerti kita dan masih banyak lagi yang lainnya.
Pernikahan bukan sekedar bersatunya dua hati yang saling mencintai akan tetapi bersatunya dua keluarga besar yang mungkin kulturnya beda, kebiasaannya beda
Jadi restu orang tua itu sangat penting untuk membuat biduk rumah tangga semakin kokoh. Karena kita berumah tangga tidak hanya sebulan dua bulan tapi sepanjang sisa usia kita, insyaallah.
Dalam waktu panjang yang kita jalani, banyak lika-liku yang kita lalui, kadang sedih, kadang bahagia, kadang sakit, kadang sehat, kadang ekonomi menanjak, kadang juga menurun. Jadi kita perlu pendamping hidup yang setia dalam keadaan apapun dan bagaimanapun. Ingat bro... Hidup itu bukan hanya sekedar uang dan uang. Hidup kita ini cuma sesaat, jadi jangan sia-siakan hanya untuk menjadi budaknya harta.
Kita hidup didunia untuk mencari bekal untuk kelak diakherat dengan cara terus menebar kebaikan.
Sebagai laki-laki jika aku menikah kelak aku akan menjalankan kewajibanku sebagai suami menafkahi istri lahir batin, menyayangi sepenuh hati, tetap setia walau dalam keadaan apapun dengan atau tidak adanya cinta," ucapku panjang kali lebar.
"Salut aku bro dengan pemikiranmu, sungguh menginspirasi, kamu sepertinya sudah siap menikah," ucap Dito sembari menepuk bahuku.
Ayo anak-anak kita kumpul semua diruang tamu, kita makan sama-sama, itu ada ikan patin bakar, gangan asam, haruan bakar juga ada sambal balacan,"ujar ibu memanggil kita semua. Akhirnya kita semua makan diruang tamu dengan lahap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments