(POV) Fatimah Azzahra
Namaku adalah Fatimah azzahra dirumah mama dan abahku memanggil Zahra. Setelah menyelesaikan kuliah aku melanjutkan PGPAUD hingga selesai. Saat itu didesaku didirikan Sekolah Anak Usia Dini (PAUD) yang diberi nama PAUD Buah Hati Bunda. Aku mencoba peruntungan dengan mendaftar sebagai peserta didik disekolah tersebut. Ternyata nasib baik berpihak kepadaku.
Tepatnya dua tahun yang silam aku memulai karirku sebagai guru PAUD. Sebuah profesi yang selama ini aku impikan.
Namun diusiaku yang tak muda lagi untuk ukuran gadis desa, aku belum juga menemukan pendamping hidup. Bukan berarti aku tak laku bukan pula aku yang terlalu memilih. Entah sudah berapa banyak pemuda dari daerah ini yang datang kerumah untuk meminangku. Namun semuanya ditolak oleh abah dengan alasan aku telah dijodohkan dengan seorang pemuda putra sahabatnya dari desa Padang Sawit.
Diantara mereka adalah Galih teman kuliahku seorang pemuda tampan putra juragan sayur tersohor di daerah ini. Sebenarnya aku jatuh cinta sekaligus kagum dengan Galih karena dia pemuda yang cerdas dan pekerja keras. Kami kerap berjumpa saat menjalani kuliah dikampus yang sama.
Walau di sela-sela kuliah dia merintis usaha dibidang kuliner, namun nilainya tetap bagus. Bahkan dia lulus dengan nilai coumloud. Kini beberapa cabang restoran pun telah dibukanya.
Sudah tiga kali Galih datang kerumah untuk melamarku, namun tiga kali juga abah menolaknya. Tapi rasanya tak ada faedahnya aku meratapi cintaku yang kandas sebelum berlabuh.
Disekolah tempaku mengajar sering kali aku diolok sebagai perawan yang tak laku-laku. Karena diantara semua guru PAUD hanya aku saja yang belum menikah.
Hari ini tidak biasanya mama sibuk didapur.
"Mama lagi ngapain, dari tadi Zahra lihat mama sibuk didapur," aku mencoba bertanya pada mama.
"Mama sedang membuat awug-awug kesukaan bu Wajirah. Hari ini rencananya mereka akan datang untuk mengenalkan anak lelakinya yang baru datang dari kota denganmu. Tolong bantu mama memarut kelapa tapi hati-hati jangan sampai jarimu ikut keparut," ucap mama sambil menyerahkan baskom berisi kelapa lengkap dengan parutannya.
Sebenarnya aku sudah tahu siapa Dewanta putra pak Sukarta pengusaha sawit dari kampung sebelah. Kemarin aku baru saja ketemu dia diarea persawahan saat mencari kangkung-kangkung liar untuk sayur. Namun aku belum mengenal dia secara pribadi.
Setelah beberapa saat mengobrol dengan dia ternyata orangnya santai dan humoris.
Namun sayang sepertinya dia penakut. Tadinya aku merasa sangat gugup waktu baru mengenalnya. Tapi setelah beberapa saat kami mengobrol. Aku merasa nyaman, ada rasa bahagia, terkadang hatiku bergetar saat kami saling menatap.
"Zah, kamu yakin mau menikah denganku yang penakut ini, apa sebelumnya kamu sudah punya kekasih atau laki-laki yang menarik perhatianmu.
Bagaimana kalau kita saling terbuka agar tidak ada rahasia yang kita sembunyikan sehingga kita bisa berjuang bersama untuk menumbuhkan rasa cinta dan kasih. Aku akan senantiasa menjagamu dan menyayangimu karena itu adalah bagian dari kewajibanku sebagai seorang suami. Pokoknya tanamkan dihatimu kalau aku lebih ganteng dari pada dia katanya," yang aku balas dengan menunjukan kedua jempol tanganku tanda setuju.
Sekarang gantian aku yang akan menceritakan masa laluku. Sebenarnya sudah enam tahun aku menjalin hubungan dengan Fira, aku dan dia saling mencintai," ucap kak Dewanta, netranya menatap kedepan entah apa yang sedang dilihatnya, ada rasa perih di dada saat mendengar apa yang dipaparkannya. Namun aku tetap diam menunggu kalimat demi kalimat yang keluar dari bibirnya.
"Tapi ayah ingin aku menikah denganmu, dengan berat hati aku memutuskan hubungan dengan Fira. Karena bagiku, aku tidak mungkin bahagia tanpa restu ayah dan ibu. Bagiku kebahagiaan mereka adalah kebahagiaanku juga. Aku tidak ingin menyakiti hati mereka dengan menolak perjodohan ini. Kemarin saat aku bertemu kamu diarea persawahan perlahan lukaku yang begitu pedih atas kandasnya jalinan cintaku dengan Fira perlahan menghilang.
Dan hari ini, kala aku tahu kalau wanita yang menarik perhatianku adalah kamu, hatiku sudah mantap aku ingin menikah denganmu," kak Dewanta tersenyum dengan senyuman yang begitu manis menurutku.
"Dewanta, Zahra ayo masuk ayah dan abah sudah menunggu kalian diruang tamu," mama tiba-tiba sudah ada dibelakangku membuat aku terkejut. Aku dan kak Dewanta pun berdiri dan melangkah menuju ruang tamu. Segera aku mendekati abah untuk duduk disampingnya, tapi aku merasa ada yang menarik ujung jilbabku. Saat aku menoleh kebelakang ternyata tangan kak Dewanta yang menarik ujung jilbabku. Kulihat mimik mukanya mengisyaratkan agar aku duduk disampingnya. Aku segera mengurungkan niatku untuk duduk disamping abah dan berpindah duduk disamping kak Dewanta. Semua yang hadir disitu seketika saling senyum.
"Dewanta, Zahra, selaku orang tua kami tadi sudah melakukan musyawarah dan sudah memutuskan kalau seminggu lagi kita akan diadakan lamaran dan sebulan kemudian baru ijab kabul dan acara resepsi. Untuk semua acara biar orang tua ini yang akan menghandle. Tugas kalian hanya siapkan diri kalian dan catat siapa teman kalian yang akan diundang. Catatannya serahkan kepada mama atau ibu kalian," ucap ayah kak Dewanta.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, kak Dewanta dan kedua orang tuanya pun pamit pulang.
Berita tentang akan dilangsungkan pernikahan antara aku dan kak Dewanta telah menyebar keseluruh antero kampung. Acara lamaran telah berlangsung, kini kita tinggal menunggu hari H.
"Bu, bu Zahra katanya ibu mau menikah, selamat ya bu, tidak sia-sia menunggu begitu lama dapatnya horang kayah," ujar salah satu ibu wali murid yang bernama ibu Watinem.
"Ibu bisa aja, saya lambat menikah bukan karena mencari orang kaya tapi karena belum ketemu jodoh," aku tidak ingin meladeni ucapan ibu Watinem.
"Kalau boleh tau berapa maharnya, siapa tau saya bisa ngutang," bu Lastri menimpali.
"Bu Lastri ini bagaimana, masa mahar mau diutang, yang benar aja bu," ucap bu Watinem.
"Ya tidak apa-apa bu Watinem, kalau tidak bisa ngutang siapa tahu saya dapat jatah untuk beli kouta, lumayan buat baca novel online," bu Lastri tetap ngeyel. Sedangkan aku hanya terperangah mendengar perdebatan ibu-ibu wali murid PAUD Buah Hati Bunda.
"Bu adanya uang mahar itu ditujukan untuk menghargai seorang wanita, jadi bukan untuk diutangkan," ucapku menjelaskan kepada bu Lastri.
"Oh begitu, jadi tidak bisa diutang ya bu Zahral," aku hanya menggelengkan kepala sembari tersenyum.
Sepulang dari mengajar PAUD Buah Hati Bunda aku mampir ke warung nasi bu Narsih. Aku memang kerap makan disini karena selain rasanya yang enak harganya pun terjangkau.
Dengan berjalan tergopoh-gopoh bu Narsih menyongsong kedatanganku.
"Waduh-waduh calon penganten mau makan apa?," ujar bu Narsih.
"Seperti biasa bu lalapan paha ayam, sambal petai sama oseng-oseng mandai.
"Sebentar ya, saya siapkan," jawab bu Narsih. Tidak berapa lama pesananku pun sudah terhidang di atas meja.
Aku segara menyuap makanan tersebut dan tepat pada suapan ketiga seorang laki-laki tampan yang selama ini mengejar cintaku duduk dikursi tepat dihadapanku.
"Mas Galih, mas apa kabar," sapaku amat gugup.
"Kabarku kurang baik. Aku baru saja datang dari kota karena mendengar kabar tentang kamu yang akan menikah dengan pemuda dari kampung Padang Sawit," ucap mas Galih dengan muka datar.
"Kenapa kamu menerima dia menjadi suamimu Zahra sedangkan kamu tidak pernah mencintainya. Aku tahu kamu hanya mencintaiku iya kan, lebih baik kamu menikah denganku tidak perlu meminta restu orang tuamu," kata mas Galih berapi-api.
"Aku memang mencintamu mas Galih, tapi pantang bagiku menikah tanpa restu orang tuaku. Orang yang menyebabkan aku ada di dunia ini, orang yang sudah melahirkan dan membesarkanku. Aku dan kak Dewanta, diantara kami memang belum ada rasa cinta, tapi kami sama-sama mempunyai niat baik untuk berbakti kepada kedua orang tua demi untuk mencari ridho Allah SWT.
kami akan sama saling berjuang untuk saling mencintai, jadi berhentilah mengejarku. Kalau memang mas Galih benar-benar mencintaiku ikhlaskan aku menikah dengan laki-laki pilihan orang tuaku," ucapku mulai terisak.
"kalau memang itu kehendakmu, baiklah!!, semoga pernikahanmu bahagia walau belum ada cinta saat ini, aku pamit," mas Galih berlalu meninggalkanku.
"Mas Galih...mas...
Bagaimana kalau mas Galih makan dulu," aku berteriak memanggil mas Galih, namun mas Galih sudah keburu pergi.
Tiba-tiba
meoooong.....
meooopng....
Aku terkejut, seluruh nasi pesananku yang baru tiga suap aku makan ternyata telah habis tak tersisa. Kulihat disekitarku sepi tak ada pengunjung. Pandanganku beralih kemeja kasir, ternyata bu Narsih sedang mendengkur, dia tertidur. Sementara dikursi dekat etalase dimana ditempat berbagai menu jualan bu Narsih, suami bu Narsih tengah asik tertidur dengan air liur mengalir dibibirnya. Aku segera bangkit meletakkan uang seharga makanan yang kupesan dan dimakan kucing dimeja kasir, kemudian berlalu pergi meninggalkan warung bu Narsih
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments