"Terima kasih ya Ka, udah mau bantu Kakak belanja," ujar Marina sesampainya di apartemen.
"Gak papa, Kak. Aku senang bisa bantu Kakak." Anka masuk mengekor Marina dengan plastik belanja di tangan.
Marina meletakkan plastik belanjanya terlebih dahulu di atas meja kemudian mengeluarkan bayi Farhan dari kain gendongan di kamar di atas tempat tidur. Bayi itu menggerak-gerakkan tangan dengan mata yang mulai terbuka lebar. "Kalau dilihat-lihat sepertinya bayi ini bule ya, walaupun rambutnya hitam."
Anka masuk ke kamar dan memperhatikan. "Mungkin karena kulitnya putih, Kak," komentar pemuda itu.
"Mmh."
"Kak, nanti makan siang makan burger yuk, Kak!"
"Kakak 'kan gak bisa ke mana-mana jaga Dede bayi. Lagipula Kakak mau nulis novel jadi mungkin makan siangnya agak telat."
"Jangan telat, Kak nanti sakit lho! Aku bawa makan siangnya ke sini aja ya, gimana Kak?"
"Tapi kamu gak kuliah?"
"Nanti sehabis makan siang."
"Kakak gak mau merepotkan kamu, Ka."
"Ngak kok, Kak. Ya, temani aku, ya? Aku traktir deh makan siangnya," bujuk Anka sambil menyentuh lengan wanita itu.
Marina menatap tangannya yang disentuh Anka membuat pemuda itu canggung dan menarik lagi tangannya.
"Ok ya?" Pemuda itu segera berlalu ke pintu.
"Tapi ...."
"Udah, beres. Nanti aku bawa ke sini aja." Pemuda itu bergegas keluar.
Marina hanya bisa menarik napas pelan.
------------+++-----------
Bel berbunyi padahal Marina sedang menyelesaikan tulisannya. Terpaksalah ia turun dari tempat tidur sementara bayi Farhan masih terlelap.
"Ada apa, Ka?"
Namun ternyata yang datang bukan Anka. Seorang pemuda bersandar di bingkai pintu, dengan raut wajah angker menatap ke arahnya. Matanya memerah dan bajunya sedikit berantakan. "Siapa 'Ka' yang Kakak maksud? Sudah punya pacar ya, makanya kabur dari rumah?"
"Alan, kenapa kamu ke sini?" Marina terlihat khawatir. Ia menengok keluar dan melihat ke kiri dan ke kanan.
"Kenapa? Aku kan adikmu. Apa ada salah?" Pemuda itu melangkah ke dalam apartemen dengan sedikit sempoyongan.
Wanita itu memperhatikannya. "Alan, kamu mabuk lagi ya?" protesnya ketika masuk.
Pemuda itu terlihat tak peduli. Ia melihat keadaan unit apartemen itu. "Huh, kau bermewah-mewah di sini sementara kami pusing di sana mencari uang."
"Kata siapa aku bermewah-mewah?" Marina menutup pintunya. "Ini fasilitas kantor yang belum sempat aku pakai dan aku bayar setengah harga."
"Huh, Kakak macam apa kamu, hanya memikirkan diri sendiri?" ucap Alan dengan ketus.
Marina segera menutup pintu kamar, agar bayi itu tak terganggu tidurnya. Ia berusaha menekankan suaranya. "Alan, kamu sendiri yang dropout kuliah padahal Kakak selalu tepat waktu membayar uang kuliahmu. Kamu itu tidak tahu jeri payah Kakak dan malah bergaul dengan anak-anak berandalan di kampus."
"Sudahlah, Kak. Jangan menyalahkan orang lain. Kalau saja Kakak menerima pinangan Pak Seno, 'kan tidak begini jadinya? Kita bisa hidup enak tanpa harus bekerja," sahut Alan berkhayal dengan senyum lebar.
"Enak saja! Kamu itu laki-laki, Alan. Sudah waktunya kamu membantu ibu dengan usahanya."
"Usaha apa? Sudah mau bangkrut gitu, kok!"
"Alan. Kalau kau tak mau membantu bisnis ibu setidaknya carilah pekerjaan yang halal. Apapun itu, hingga ibu tak perlu lagi bekerja keras dan mengkhawatirkanmu."
"Apa sih, Kak. Kamu ngomong apa? Seharusnya Kakak yang paling tua yang membantu membiayaiku. Sini, mana uangnya! Aku tadi ke bar uangnya habis dan terpaksa pinjam uang dari seorang teman. Cepat berikan, agar aku tidak mengganggu Kakak lagi." Alan menyodorkan tangannya.
"Alan, kamu kok gak berubah-berubah sih? Kamu sudah sering mengatakan itu berulang kali," ucap wanita itu pelan. Ia kecewa pada adiknya itu.
"Alah ... terlalu banyak omong! Cepat berikan atau aku acak-acak tempat ini agar Kakak sadar," mata pemuda itu yang setengah terbuka mulai mengancam Marina. Padahal ia tidak sadar ia sedang mabuk. Sangat mudah mengalahkan orang mabuk karena tubuhnya lemah.
Terdengar suara tangis bayi dari dalam kamar wanita itu yang membuat Alan curiga. Ternyata suara pertengkaran mereka berdua membangunkan bayi itu.
"Suara apa itu? Bayi siapa?" Alan mengacung-acungkan jari dengan arah yang tidak lurus.
Marina terpaksa mengejar bayi itu karena kasihan. Bayi itu dibawanya dalam gendongan keluar kamar.
"Apa ini, bayi siapa? Mmh? Bayimu dengan pacarmu?"
"Astaghfirullah alazim. Alan ....."
"Sudah berikan saja uangnya. Aku tak peduli kau mau tinggal dengan siapa asal kau bisa menghasilkan uang buatku!" Alan yang bersandar pada meja, berusaha mengimbangi tubuhnya, pasalnya ia sendiri tidak bisa berdiri lurus padahal ia sudah berdiri sambil berpegangan pada meja itu.
Marina merengut kesal, tapi demi ketentraman bayi itu tidur terpaksa Marina mengambil dompetnya. "Kamu jangan ke sini dulu ya, Alan. Aku takut Pak Seno itu tahu tempat persembunyianku. Lagipula ibu sudah bilang, jangan cari aku."
Selagi wanita itu membuka dompetnya, pemuda itu merebutnya.
"Alan!"
Pemuda itu mengambil seluruh uang yang tersisa di dalam dompet itu dan membuang dompet itu ke bawah. "Kau mau mengusirku 'kan? Usir dengan uang yang banyak!" Alan mengacungkan uang di tangan.
"Alan, Kakak pakai itu untuk beberapa hari, Alan," pinta Marina lagi.
"Alah, ambil saja lagi apa susahnya sih!" Pemuda itu meninggalkan kakaknya.
"Alan." Marina memohon sambil berusaha mendiamkan bayi yang sedang menangis dalam gendongan tapi Alan menepis tangannya dan berusaha keluar dari apartemen itu. Walau sempoyongan, ia berhasil keluar dari apartemen Marina.
Marina menitikkan air mata. Sudahlah hanya punya uang sedikit dari sisa gaji terakhirnya, adiknya tak bisa diajak kompromi. Padahal kini ia punya beban seorang bayi mungil yang butuh uang yang tidak sedikit untuk mengurusnya.
Segera dihapusnya air mata itu. Ia tak ingin bayi itu tahu ia sedang bersusah hati. "Maaf ya, Sayang. Mami bikin kamu cemas. Yuk, kita ke dalam, Mami ngak kenapa-kenapa kok." Ia menutup pintu.
Di kamar, Marina meletakkan bayi itu di atas tempat tidur. Air matanya masih mengalir. "Ya Allah, kuatkan aku." Wanita itu kembali menghapus air matanya dengan kedua tangannya.
Setelah terhapus sempurna, Marina mendekatkan wajahnya pada bayi itu dengan senyum lebar. "Mmh, anak siapa ini?" Ia berusaha menghibur bayi itu yang masih saja menangis, tapi ia mencium sesuatu. "Mmh, anak Mami kok baunya asem sih? Pipisnya banyak ya?"
Ia mulai membuka celana bayi itu dan mengintip pampers-nya. "Mmh, makanya ngak enak ya? Sebentar Mami ganti dulu."
Tak lama, Marina tengah duduk di atas tempat tidur sambil memangku bayi Farhan, dengan tangan kiri memegang botol susu di mulut bayi itu dan tangan kanan mengetik. Di depannya laptop terbuka dan ia sedang berselancar di internet. "Mmh, kamu masih lama makannya ya, Farhan. Kamu hanya boleh minum susu," bisiknya pada bayi itu.
Bayi itu menikmati susu sambil melihat layar laptop di depannya.
"Tapi sepertinya kamu cepat besar ya? Pipimu mulai penuh dan bajumu mulai sempit. Apa Mami harus beli baju lagi buat Farhan?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
agasaka
uo tiap hri ya tor candu bgt
2022-12-20
2