Farhan

"Apa ini, bayi? Bayi siapa?" Anka terkejut saat mendatangi mereka. "Saudaramu Kak Marina?"

"Sebenarnya dia dititipi orang tak di kenal," terang Sila.

"orang tak dikenal, siapa maksudnya?"

Akhirnya Sila mengulangi ceritanya pada adiknya.

"Wuah, harus lapor polisi dong!"

"Maunya begitu, tapi tempat kejadian jauh dari sini, dan tidak ada yang mau dititipi bayi ini karena kalau mau berurusan dengan polisi aku harus menginap di sana, dan belum pasti juga berapa lama harus menunggu," terang Marina bingung.

"Harusnya sih, polisi tidak akan mempersulit. Mungkin saja polisi bisa bantu dititipi bayi itu."

"Gitu ya?" Marina menyesali tindakannya.

"Biasanya begitu. Polisi pasti punya lembaga sosial yang bisa dijadikan tempat untuk menitipkan bayi itu," sela Surya, suami Sila.

"Tapi kalau sudah kejadian begini bagaimana?"

Surya menyentuh dagunya. "Mmh, kalau ibunya menitipkannya padamu, besar kemungkinan ibu bayi ini sudah tidak menginginkan bayi itu kembali."

"Tapi aku 'kan tidak tahu cara mengurus bayi dan tidak tahu pula cara membesarkannya."

"Mmh. Untuk sementara kau urus saja dulu bayi ini, Marina. Kami akan membantumu. Kita akan mencari solusinya bersama-sama," ujar Sila berusaha menenangkannya.

Bayi itu kemudian menangis.

"Mungkin dia lapar. Kita buat dulu susu ya?" Sila yang masih menggendong bayi mengajak Marina ke dapur. Ia mengajari Marina untuk mencuci botol susu bayi terlebih dahulu dengan air hangat karena botol itu bekas pakai.

Anka yang mengikuti, membantu Marina mencuci botol susu dengan air mendidih dan mengikuti instruksi kakaknya mengisi botol itu dengan susu bubuk dan air hangat. Marina menyaksikannya dengan teliti. Setelah air susu dikocok dan hangatnya sesuai, barulah botol susu itu diberikan pada bayi itu. Saat itu juga tangisnya hilang. Sila coba memberikannya lagi pada wanita itu agar terbiasa menggendong dan menyusukan bayi itu. "Bisa 'kan?"

"Mudah-mudahan."

Anka mengusap kepala bayi itu, dan sesekali melirik Marina. Wanita yang sedikit gemuk ini memang punya wajah yang menarik dan Anka sangat menyukai wajah wanita itu. Ia tidak sadar kakaknya tengah memperhatikannya.

Sila berdehem. "Letakkan dulu tasmu, 'kan sudah sampai rumah."

"Oh, iya kak." Anka berlari keluar dapur sambil melepas tas ranselnya.

Marina tertawa tanpa suara berdua dengan Sila karena melihat tingkah Anka yang lucu.

"Sepertinya kamu beruntung, Marina mendapatkan bayi yang tidak rewel."

"Mmh." Marina berpikir sejenak. "Aku sebenarnya juga menitipkan nomor teleponku pada pegawai kafe di sana, berharap, ya ... mungkin ibu bayi itu berubah pikiran atau ia tengah bermasalah di jalan, misalnya kecelakaan. Astaghfirullah alazim, mudah-mudahan enggak sih, Mbak cuma kalau melihat bayi ini kasihan saja, kalau ternyata benar ibunya membuangnya." Marina mengeluarkan isi hatinya.

"Ya, mudah-mudahan tidak." Sila melirik tetangganya itu. "Tapi ibunya berani juga membawa bayinya yang masih sangat kecil ini ke mana-mana. Aku rasa ini umurnya baru sekitar sebulanan ini karena masih sangat kecil dan matanya belum sepenuhnya terbuka."

Marina memperhatikan bayi itu yang matanya terbuka setiap mereka bicara padahal mereka mulai bicara dengan nada rendah, tapi bayi itu sama sekali tak terganggu. Ia terus menyusu.

"Ngomong-ngomong, kau mau kasih nama anak ini siapa, 'kan dia tinggal sementara denganmu," tanya Sila penasaran.

"Oh, iya. Apa ya? Mmh ... Farhan?"

Bayi itu membuka matanya dan berhenti menyusu.

"Oh, kamu suka nama itu ya, Sayang. Ok, namamu Farhan," bisik Marina pada bayi kecil itu seraya mengusap kepalanya.

Bayi itu kembali menutup matanya dan menyusu.

Marina dan Sila saling pandang dan tersenyum.

-----------+++---------

Siang itu setelah acara penguburan jenazah istrinya, Abigail kembali ke rumah dengan perasaan hampa. Karena ia tak sanggup menggelar acara pengajian istrinya sendirian, mertuanya mengambil alih acara itu dan diadakan di rumah mereka. Pria itu bahkan tak sanggup pergi kerja.

Setelah lama mengurung diri di kamar akhirnya ia keluar juga. Pria itu matanya sudah sembab karena terus menerus menangis dan menyalahkan diri sendiri hingga tak sempat menolong istrinya.

Orang tua Abigail tak lama datang ke rumah itu. Mereka yang dari luar negri terpaksa menghentikan perjalanan bisnisnya demi menengok anak satu-satunya yang secara tiba-tiba kehilangan istrinya akibat bunuh diri.

"Abigail." Seorang wanita bule paruh baya melepas koper yang ditariknya dan segera memeluk anak laki-lakinya.

"Mama." Pria itu menyambut dekapan hangat wanita itu.

Seorang pria paruh baya juga menyusul mendatangi dan melihat ibu dan anak itu saling berpelukan. Sambil menitikkan air mata, ia juga merasa bersalah.

Ia sudah melihat bibit-bibit ketidakcocokan mereka di pernikahan awal dan malah meminta Abigail untuk bersabar, hingga kehancuran pernikahan anaknya kini menyadarkannya. Namun sudah terlambat. Waktu tidak lagi bisa diputar ulang untuk memperbaiki kesalahan, tinggal kini penyesalan yang mungkin akan menghantui seumur hidupnya.

Mereka kemudian duduk bersama di kursi sofa dan tafakur memikirkan langkah apa yang akan dilakukan kemudian.

"Pa." Abigail mengangkat wajahnya menatap wajah ayahnya yang orang Indonesia itu dengan raut penuh kesedihan. "Aku tak sanggup tinggal di rumah ini lagi. Aku ingin pindah saja, ke ... Apartemen mungkin yang dekat dengan kantor, karena aku ingin menyibukkan diri dengan pekerjaan."

"Lakukan saja apa yang kau mau, Sayang. Mama mendukungmu." Mama menyemangati.

Abigail menatap ibunya dengan lemah. "Maafkan aku, Ma, Pa. Aku tidak bisa melaksanakan cita-cita kalian dengan baik karena ini diluar kemampuanku."

"Sudah, Abigail jangan menyalahkan dirimu terus. Aku tahu kamu sudah berusaha. Kau anak yang patuh pada orang tua, mana mungkin kami menyalahkanmu."

Abigail menunduk. "Maafkan aku, Ma, Pa karena aku tidak mampu melakukan tugasku sebagai anak pada kalian."

Papa langsung menepuk-nepuk bahu anaknya itu untuk menenangkannya. "Sudah. Aku bebaskan kamu memilih jalan hidupmu sendiri sekarang. Kau boleh pindah dari rumah ini dan jangan bebani lagi pikiranmu. Biar Papa dan Mama yang akan mengurus rumah ini, jadi pergilah!"

Abigail menatap kedua orang tuanya dan mencoba tersenyum.

---------+++---------

Hari itu juga Abigail mencari apartemen dan pikirannya langsung tertuju pada apartemen yang berada di sebelah gedung perusahaannya. Untung saja masih ada unit kosong untuk dibeli karena apartemen itu juga baru satu tahun berdiri.

Abigail segera pindah dengan membawa barang-barang dari rumah lamanya agar ia cepat pindah. Di sore hari semua akhirnya tertata sesuai keinginan.

Ia ingin keluar makan. Sebelum keluar ia membekali diri dengan kaca mata hitam agar tak ada yang memperhatikan matanya yang bengkak karena terlalu banyak menangis.

Saat melangkah di koridor dan berbelok, ia terkejut melihat seorang wanita yang sedang membuka pintu kamarnya. Wanita itu ternyata wanita yang ia sering lihat di kafe di lantai bawah. "Oh ... kau tinggal di sini?"

Marina yang tak mengenali pria itu karena mengenakan kacamata hitam, mengerut kening.

"Ini aku!" Abigail mengangkat sedikit kacamatanya.

"Oh." Namun Marina melihat mata pria itu yang sedikit bengkak. "kenapa dengan matamu?"

Abigail buru-buru memakai lagi kacamatanya. "Eh, maaf. Masalah pribadi. Eh, tapi kenapa sekitar matamu menghitam?" Ia balik bertanya melihat sekeliling mata wanita itu yang menghitam.

"Biasa, kurang tidur."

"Oh ya, berarti kita tetangga. Kenalkan, namaku Abigail." Pria itu mengulur tangannya dan di sambut oleh wanita itu.

"Marina."

Terpopuler

Comments

Buna_Qaya

Buna_Qaya

wah kalian jodoh rupanya

2023-03-10

1

agasaka

agasaka

jodoh ga kmna dan ankmu berada d tangn yg tept

2022-12-20

2

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!