Mawar Merah

Karena hari ini hari Sabtu, seperti biasa Pak Samson dan istrinya mengundangku ke rumah untuk menemani Selvi. Biasanya Pak Samson dan istri pergi mengunjungi kerabatnya di Bandung dan menitipkan anaknya padaku sebulan sekali. Jadi, Selvi memang tidak pernah dibawa serta jika mereka berpergian keluar.

Aku pernah dijelaskan oleh Pak Samson bahwa Selvi memiliki kelainan genetik bernama xeroderma pigmentosum, dimana kulit penderitanya tidak bisa terkena sinar matahari sedikit pun. Apabila terkena, kulit tidak bisa menyembuhkan dirinya sendiri begitu rusak akibat terpapar radiasi sinar ultraviolet. Karena alasan itulah Pak Samson tidak pernah membawa keluar anaknya meskipun sekedar untuk berjalan-jalan.

“Kak Saskia, kemarin Selvi dipuji oleh guru di sekolah Selvi. Katanya gambar Selvi bagus dan rapi.” Ujar Selvi dengan suaranya yang manis.

“Oh, ya? Kak Saskia boleh lihat?”

“Ini Kak. Tapi jangan sampai rusak, ya karena Papa mau beli pigura buat memajang gambar Selvi di ruang tamu.”

Aku tersenyum sambil menerima kertas gambar yang penuh warna dari tangan mungil Selvi. Aku memperhatikan setiap goresan yang ada di kertas tersebut. Goresan yang jujur dari seorang anak kecil, namun terlihat menyakitkan.

Selvi menggambar sebuah rumah dengan pekarangan yang luas. Di pekarangan tersebut terdapat seorang gadis kecil yang sedang menanam bunga dengan manisnya. Tapi, bukan disitu perhatianku tertuju. Di sudut kanan atas gambar, terpasang sebuah matahari yang bercahaya dengan warna kuning. Sebuah gambaran hati seorang Selvi yang ingin keluar dari penjara tembok dan gorden rumahnya.

“Kak Saskia,” sahut Selvi. “Ini Selvi, lho Kak. Selvi sedang bermain di halaman. Kata Papa dan Mama kalau Selvi sudah tumbuh menjadi anak yang kuat, Selvi boleh keluar dan menanam bunga di sana.” Sambungnya sambil menunjuk sosok gadis kecil di pekarangan yang digambarnya.

Aku tersenyum mengiyakan Selvi. Rasanya air mata ingin menetes tapi aku tahan sekuat mungkin. Aku yakin, Selvi ingin bermain seperti anak-anak lainnya tanpa takut panasnya sengatan matahari. Ingin rasanya aku membuka gorden untuk memperlihatkan kepada Selvi betapa indahnya dunia luar di siang hari. Sayang sekali gorden hanya boleh dibuka saat matahari sudah menyembunyikan wujudnya.

“Selvi anak pintar, pasti jago menanam bunga. Nanti kalau sudah besar, kakak temani Selvi menanam bunga, ya.” Balasku menghibur, “Selvi suka bunga apa?”

Selvi terdiam dan berpikir sejenak dengan tampangnya yang lugu. “Selvi suka bunga lily. Mama pernah kasih lihat Selvi gambar bunga lily dari internet. Baguuusssss banget! Warnanya putih, terus kelopaknya seperti mahkota. Kalau besar nanti Selvi mau menanam bunga lily yang banyak. Hehe.”

“Kakak juga suka bunga lily. Pilihan yang bagus!”

“Kalau bunga mawar suka gak, Kak?”

“Kakak juga suka bunga mawar. Kamu suka juga?”

“Aku juga suka mawar kak. Tapi kata Mama banyak durinya. Kalau ketusuk bisa berdarah. Selvi ga suka sama darah.” Lanjutnya lugu.

“Ngomong-ngomong soal mawar, kakak punya satu tangkai. Kalo Selvi mau bisa Kakak bawakan di pertemuan berikutnya.”

“Wah, mau dong! Aku belum pernah lihat secara langsung mawar itu seperti apa. Tapi Selvi gak mau pegang ya, takut ketusuk durinya.”

Aku tertawa mendengarkan jawaban dari Selvi. Anak semanis ini pasti akan banyak temannya jika bisa bermain di luar.

“Kak Saskia…” Panggil Selvi dengan tatapan yang tiba-tiba murung.

“Ada apa Vi?” Jawabku.

“Selvi suka gak ngerti sama Papa dan Mama.” Selvi terdiam sejenak. Terlihat matanya dipenuhi kesedihan, “Selvi mendengar Papa dan Mama bertengkar semalam, saling menyalahkan satu sama lain. Katanya Selvi beban buat mereka.”

Aku tertegun sejenak. Selama ini aku melihat keluarga Pak Samson sebagai keluarga yang harmonis. Selalu tertawa dan penuh dengan kebahagiaan.

“Memangnya Selvi punya salah apa sama Papa dan Mama? Selvi selalu berusaha jadi anak baik dan penurut.” Lanjutnya dengan suara sedu sedan.

“Kak Saskia yakin Selvi gak salah apa-apa, kok. Papa dan Mama Selvi mungkin sedang kecapean saja. Orang dewasa memang seperti itu kalau sedang letih biasanya pikirannya pendek. Mereka sebenarnya sayang, kok sama Selvi.” Tegasku menenangkan.

“Kalau sayang kenapa Selvi selalu ditinggal di rumah setiap mereka berkunjung ke rumah nenek? Selvi kan juga kangen sama nenek.” Matanya mulai berlinang dengan air mata. Seorang anak sekecil ini pasti sulit menerima keadaan dirinya sendiri.

“Mungkin cara berpikir Selvi kurang tepat. Seharusnya seperti ini… Kalau Papa dan Mama tidak sayang sama Selvi, kenapa Kak Saskia masih dimintai tolong untuk menjaga Selvi di rumah? Artinya mereka masih sayang sama Selvi.”

“Begitu, ya Kak?” Tanyanya polos.

“Iya, makanya Selvi jangan berpikir macam-macam. Dengan jadi anak yang baik dan penurut, Papa dan Mama pasti akan makin sayang sama Selvi.”

Senyum mulai terukir di bibir Selvi. Dengan segera dia menghapus air matanya yang membasahi pipi. Syukurlah, kata-kataku diterima baik olehnya.

***

“Selvi, Papa dan Mama pulang.” Sahut Pak Samson sembari membuka pintu rumah.

Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Pak Samson dan istrinya terlihat memasuki rumah dengan wajah yang cukup letih. Selvi segera menghampiri kedua orang tuanya dan memeluk mereka dengan erat.

“Saskia, terima kasih, ya sudah menemani Selvi seharian.” Kata Bu Samson, “Maaf, lho kamu jadi kehilangan satu hari kencan kamu.”

“Hahaha! Bu Samson jangan bercanda, ah. Kalau buat Selvi aku akan siap sedia, kok. Lagian aku masih single.” Bisikku malu pada Bu Samson.

“Serius, Sas? Ya ampun, cepetan cari pacar sebelum seluruh laki-laki di dunia tidak available, lho.” Godanya.

“Kalau begitu aku pulang dulu, ya.” Pamitku.

“Terima kasih, ya Saskia.” Kata Pak Samson seraya mengantarku ke depan pintu rumahnya.

Aku menelusuri jalan di pekarangan rumah Pak Samson. Aku melihat sekeliling dan membayangkan betapa bahagianya Selvi apabila bisa menanam bunga lily di halaman rumahnya. Pasti rumah Selvi akan menjadi rumah yang paling indah di sepanjang blok ini.

Belum selesai melewati pekarangan itu, lamunanku teralihkan oleh beberapa helai kelopak mawar merah yang terbawa hembusan angin malam. Di salah satu sudut pekarangan aku menemukan satu tumpukan daun kering tempat datangnya kelopak tersebut yang tertata dengan rapi. Karena penasaran aku mendekatinya. Aku geser tumpukan daun-daun tersebut dengan kakiku dan aku melihat tumpukan bunga mawar merah yang sudah layu terkubur di dalamnya.

Kenapa banyak bunga mawar layu yang sengaja ditutupi di pekarangan rumah Pak Samson? Aku tertegun sejenak. Aku teringat akan kiriman setangkai bunga mawar misterius yang masih aku simpan di dalam laci kantorku. Apakah sebaiknya aku menanyakan tumpukan bunga ini kepada Pak Samson?

“Kamu masih belum pulang, Sas?” Suara Pak Samson mengagetkanku dari belakang.

“Oh, Pak Samson. Maaf, Pak. Kenapa tidak dibakar saja ya bunga-bunga layu ini?” Spontan aku bertanya menutupi kegugupanku.

Pak Samson hanya menatapku dan memasang muka terganggu. Seolah tak ingin ditanya, dia kembali merapikan daun-daun kering yang berantakan karena tersapu kakiku.

“A… Aku pulang dulu, Pak.”

Aku segera meninggalkan Pak Samson dan berjalan dengan cepat seolah aku tahu bahwa aku tak berhak mencampuri urusan beliau. Berbagai macam pertanyaan menghinggapiku. Apakah pertanyaanku sebegitu mengganggunya? Sepenting itu kah tumpukan daun dan bunga mawar yang ada di pekarangannya?

Sulit dipercaya, tampaknya aku mulai membenci bunga mawar.

***

Sesampainya di lantai 3 gedung kos, Austin berdiri terpaku di depan pintu kamarku. Menatap dengan tak bergeming ke arah pintu yang terkunci dengan rapat. Sebenarnya ada apa dengan orang ini?

“Austin, kamu ada masalah apa di depan kamarku?” Sahutku ternyata mengagetkannya. Bahunya meloncat dan segera badannya bergeser membiarkanku lewat.

“Kamu ada masalah apa denganku? Tidak pernah mau diajak berbicara dan sekarang memandangi pintu kamarku seperti orang aneh.”

Austin masih tetap memandang ke arah kamarku. Tatapannya terlihat kosong tidak menunjukkan ekspresi apa pun.

“Sebaiknya kamu segera kembali ke kamarmu. Melihat keanehanmu ini membuatku bergidik.” Keluhku sambil memutar kunci kamarku ke dalam lubang pintu.

“You better be careful!” Suara Austin terdengar samar namun terasa menakutkan.

Secepat kilat aku membuka pintu kamarku dan masuk dengan segera. Aku kunci kembali untuk memastikan tidak ada yang dapat memasukinya. Aku bersender di balik pintu dengan rasa cemas menyelimutiku. Ini pertama kalinya Austin berbicara.

Dia memperingatkanku untuk berhati-hati, tapi dengan apa atau dengan siapa? Satu-satunya yang aku harus waspadai adalah Austin, cowok aneh yang merupakan tetangga kosku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!