Tetangga Misterius

Deru knalpot mobil seketika berhenti di depan supermarket yang berjarak tiga blok dari kosku. Andre melepas seatbelt-nya dan mengambil dompet dari dalam tasnya.

“Kamu mau menungguku berbelanja dulu sebentar Sas? Nanti aku sekalian antar ke kos,” ujarnya.

“Oh, tidak perlu Dre. Aku bisa jalan kaki dari sini, hujannya juga sudah berhenti jadi kamu tenang saja. Aku anaknya ga manja, kok. Hehe... Terima kasih, ya.”

“Ya sudah kalau begitu. Sampai ketemu besok, ya.”

Aku dan Andre keluar dari mobil dan saling melambaikan tangan. Sementara Andre berjalan memasuki supermarket, aku membenarkan posisi strap tas di bahuku dan berjalan santai menyusuri trotoar. Jika dipikir-pikir, Andre sebenarnya bisa baik juga. Andai saja dia baik setiap hari, aku tidak perlu membawa pekerjaan ke kosku terus tiap malam.

“Sudah pulang Dek Saskia?” Sapa Nenek Aida yang sedang duduk santai di balkon rumahnya, tidak jauh dari supermarket tempat aku turun.

“Iya, Nek. Ini sudah malam Nek. Nanti masuk angin kalau di luar malam-malam begini,” jawabku sambil mengingatkannya bahwa udara malam hari tidak baik bagi tubuh rentanya.

Nenek Aida hanya tersenyum sambil membetulkan posisi kacamatanya yang agak melorot. Entah dia dapat mendengar suaraku dengan jelas atau tidak di umurnya yang sudah 75 tahun itu.

Di sebelah rumah Nenek Aida, terlihat Pak Samson dan istrinya yang sedang bermain dengan Selvi, anak perempuan mereka yang berumur 7 tahun. Mereka tampak seru bermain uno stacko di dalam rumah. Sudah menjadi kebiasaan Pak Samson untuk tidak menutup gorden jendelanya jika belum waktunya tidur. Kebahagiaan yang kulihat di rumahnya membuatku jadi ingin punya anak. Hehehe.

Lalu aku melewati toko buku langgananku yang berada di seberang jalan, hanya 1 blok dari rumah Pak Samson. Sebuah toko kecil yang dipenuhi dengan buku-buku tua dan langka. Sering sekali aku datang ke sana untuk sekedar melihat-lihat puluhan harta karun berhuruf itu. Memang di dunia digital sekarang ini pembaca buku fisik sudah menurun, tapi buat aku pribadi membaca sambil memegang tumpukan kertas di tanganku adalah kesenangan tersendiri.

Pak Muklis, pemilik toko buku itu sadar tokonya sedang diperhatikan. Dia menoleh ke arahku dari dalam etalase toko. Seperti biasa, mukanya ketus dan tidak bersahabat. Aku membalasnya dengan senyuman tipis dan segera bergegas pulang. Untung saja di sana banyak buku bagus, jadi aku tidak keberatan jika harus berurusan dengannya.

Aku bisa merasakan udara dingin menusuk kulitku malam itu. Tampaknya akan turun hujan lagi. Aku tidak boleh berlama-lama di luar. Kalau sampai hujan bisa gawat karena aku tidak membawa payung.

Hanya 5 menit aku berjalan kaki dan akhirya tiba di bangunan 3 lantai bercat putih dengan beberapa lampu terlihat menyala dari luar. Ya, aku sudah sampai di gedung kosku. Kamar kosku berada di lantai 3. Tentunya di saat aku sedang kelelahan, menaiki tangga ke lantai 3 menjadi PR terburuk yang pernah kualami. Sudah berkali-kali aku minta pindah kamar ke lantai 1, tapi ibu kos tidak pernah mengijinkan. Katanya, sih kamar-kamar di lantai 1 sedang direnovasi.

Sesampainya aku di lantai 3, aku melihat Austin sedang memandangiku dari depan pintu kosnya. Cowok blasteran German dan Korea itu menatapku tanpa bergeming sedikitpun.

Kenapa, sih cowok ini? Aku bahkan bisa tahu kalau matanya sedang mengikutiku menuju pintu kamar kosku. Tanpa basa-basi aku langsung masuk ke dalam kamarku dan menutup pintu dengan cepat. Mungkin ini salah satu alasanku ingin pindah lantai. Aku selalu merasa risih dengan Austin. Aku bahkan tidak pernah mengobrol dengannya karena dia sangat pendiam. Tingkah lakunya juga agak aneh menurutku.

Pernah suatu malam aku mendengar langkah kaki yang cukup mengganggu. Karena cukup mengganggu tidurku, aku mencoba mengintip keluar dari pintu kamar. Saat itu aku melihat Austin sedang membawa seekor kucing kotor penuh dengan luka. Dan di tangan satunya lagi dia membawa kantong plastik hitam yang cukup besar. Entah mau diapakan kucing malang itu.

Hmm. Yang pasti aku segera menutup dan mengunci pintu kamarku karena risih dengan penglihatanku malam itu. Begitu banyak asumsi yang aku pikirkan di otakku. Bisa saja dia seorang psikopat. Awalnya membunuh hewan tak berdaya untuk melampiaskan kesenangannya hingga lama-lama memilih untuk membunuh manusia.

Aduh, Saskia! Apa, sih yang aku pikirkan? Pasti karena habis menonton Don’t F**k With Cats di Netflix! Sebaiknya aku harus berhenti menonton film pembunuhan untuk menghilangkan paranoidku.

***

“Ya ampuuuun!!!!” Teriakku pagi-pagi setelah bangun tidur. “Aku lupa mengirim uang ke orang tuaku di kampung!”

Orang tuaku tinggal di Wonosobo, mereka hanyalah pedagang kelontong yang penghasilannya tidak seberapa. Aku sebagai anak satu-satunya harus giat bekerja agar bisa selalu mengirimkan uang kepada mereka. Kerja di Jakarta memang keras, tapi bukan berarti aku mudah menyerah, apalagi ada Andre si sontoloyo itu yang selalu menjadi motivasiku untuk bisa mengalahkannya.

Saat sedang melakukan transaksi mobile banking, aku baru menyadari notifikasi di ponselku. Notifikasi panggilan yang tak terjawab.

Sepuluh panggilan tak terjawab dari nomor tak dikenal di jam 3 pagi, gumamku dalam hati. Aku pun terdiam sejenak.

Aku langsung teringat kejadian malam itu dimana aku lembur hingga larut di kantor. Apakah ini dari orang yang sama? Kenapa aku setakut ini? Bukankah ini hal yang biasa? Bisa saja ‘kan memang orang iseng melakukan hal seperti ini untuk lucu-lucuan.

Aku langsung membuka aplikasi Whatsapp dan mengirimkan pesan kepada Andre. “Andre, kamu menelepon aku sampai sepuluh kali ya subuh-subuh tadi?”

Tidak perlu menunggu lama, Andre membalas pesanku, “Tidak. Aku tidak menelepon kamu. Ngapain menelepon kamu yang jelas-jelas sudah tidur di jam segitu.”

Alasan yang cukup valid. Kenapa aku menanyakannya pada Andre? Seketika aku merasa sangat bodoh menanyakan hal ini.

“Memangnya ada apa, Sas? Kamu ditelpon siapa?” Lanjutnya di whatsapp.

“Andai aku tahu siapa yang meneleponku. Masalahnya, nomor peneleponnya tidak muncul. Sepuluh kali panggilan, lho.”

Typing... Aku melihat Andre sedang mengetik. Tampaknya cukup panjang.

“Kamu terlalu berlebihan, deh. Pasti ada saja orang yang salah sambung. Dan kebetulan orang tersebut mengatur nomornya agar tidak terlihat. It’s no big deal!”

Betul apa yang dikatakan Andre. Aku terlalu overthinking. Sekali lagi aku ingin menyalahkan film-film pembunuhan yang pernah aku tonton. Ternyata film-film tersebut tidak baik untuk mental, pikirku dalam hati.

Aku harus segera bergegas ke kantor sebelum jalan macet.

***

Hari ini kosan masih seperti biasanya, sepi dan tidak banyak orang lalu lalang. Tampaknya semua sudah pergi beraktivitas.

Aku segera menutup pintu kamarku dan menguncinya. Sambil menghela napas dalam-dalam, aku menyerukan “semangat” ke diriku sendiri dalam hati. Tidak akan kubiarkan perasaan was-was karena telepon misterius itu mengubur semangatku hari ini.

Klek.

Aku mendengar suara pintu kamar di sebelahku. Dari suaranya aku bisa pastikan Austin baru saja keluar dari kamarnya. Cara dia mengunci pintu sangat kasar dan kencang. Aku rasa cuma dia penghuni kos ini yang tidak bisa pelan-pelan dalam mengunci pintu.

Aku menoleh sebentar ke arah datangnya suara itu. Bisa ditebak, mata kami saling beradu. Austin memergokiku mencuri pandang terhadapnya. Dia hanya menatapku diam seperti patung, kosong dan tak bernyawa.

“Ha... Hai, Austin! Kamu mau berangkat kerja juga?” Sapaku memecah kesunyian.

Austin hanya melongos melewatiku menuruni tangga. Apa-apaan orang ini? Benar-benar tidak ada etikanya sama sekali. Sebagai tetangga kos, akan lebih baik kalau dia sedikit ramah kepada penghuni lain. Pagi-pagi sudah menghancurkan moodku saja.

Aku masih terpaku menunggu Austin selesai menuruni tangga terakhir. Aku tak ingin dekat-dekat dengannya.

Sembari memperhatikan Austin menghilang dari pandanganku, aku berpikir bahwa Austin memang bukan tipe cowok yang suka memperhatikan penampilan. Pokoknya Austin ini biasa banget sekalipun blasteran German dan Korea. Mungkin karena penampilannya yang masa bodoh itu dia jadi tidak percaya diri dan dingin dengan semua orang.

Ah, berpikir apa aku ini? Kenapa tiba-tiba aku memperhatikannya? Toh aku bukan psikolog juga yang bisa menebak kepribadian seseorang dari penampilan dan gesture-nya.

Sebelum aku menuruni anak tangga yang pertama, aku melihat sebuah benda yang mengkilap tergeletak di depan pintu kamar Austin. Aku menghampiri benda tersebut dan menemukan sebuah kunci dengan gantungan berbentuk segitiga berwarna keemasan. Bila diperhatikan, gantungan tersebut memiliki ukiran menyerupai bunga mawar di tengahnya.

Mungkin ini kunci loker atau meja di kantornya. Sekalipun aku agak malas berurusan dengannya tapi aku langsung mengejarnya turun untuk memberikan kunci tersebut. Bisa saja kunci itu penting untuknya di kantor. Sebagai tetangga aku tetap harus menunjukkan keramahanku padanya. Toh tidak salah juga membantu orang lain.

Sesampainya di bawah, aku segera keluar dan memanggilnya, “Austin!”

Austin yang belum jauh berjalan dari kosan segera berhenti dan menoleh ke belakang.

Aku mendekatinya dan mengulurkan kunci yang kutemukan tersebut, “Ini kuncimu. Tadi aku temukan di lantai depan kamarmu. Aku kira kamu pasti akan membutuhkannya.”

Austin menatapku lalu menundukkan sedikit kepalanya untuk melihat kunci tersebut. Lalu dia mengambilnya dengan cepat dan kembali berjalan meninggalkanku.

Tunggu! Orang ini tidak tahu terima kasih rupanya. Dia bisu atau bagaimana, sih?

“Hei, Austin!”

Austin tetap berjalan tanpa menghiraukan aku. Aku mempercepat langkahku dan saat berada di sebelahnya aku kembali memanggilnya dengan nada marah, “Hei Austin! Kamu punya tata krama atau tidak, sih? Atau jangan-jangan kamu ini bisu?!”

Austin tetap berjalan lurus ke depan. Emosiku semakin terpancing.

“Kamu tidak bisa mengucapkan terima kasih barang sedetik saja? Danke atau gomawo juga bisa ‘kan? Aku sudah mengambilkan kunci milikmu, lho.”

Seperti yang kuduga dia tetap berjalan tanpa mempedulikanku. Langkahnya semakin cepat seolah menghindariku. Aku memperlambat langkahku dan berhenti sambil memandangnya berjalan dengan cepat.

Aku jadi berpikir, apa mungkin aku pernah berbuat salah padanya? Mana mungkin! Mengobrol saja tidak pernah. Dia benar-benar aneh. Kalau tahu begini aku biarkan saja dia pergi tanpa membawa kuncinya itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!