Sebuah ketukan terdengar dari balik pintu kamar.
"Azura, kau sudah bangun? Jika sudah, segera turun ya, kita akan sarapan." suara dari balik pintu itu berasal dari Riri.
Untuk sesaat, Azura diam membatu sebelum akhirnya menjawab panggilan tersebut.
"Iya."
Sebuah jawaban singkat. Tapi setidaknya gadis itu tahu orang yang ada di dalam kamar itu sudah bangun.
Mengetahui hal tersebut, Riri lalu berjalan kembali ke lantai bawah untuk membantu menyiapkan sarapan. Sementara Azura masih duduk termenung di dalam kamarnya.
Keluarga, ya...
Tak butuh waktu lama, Azura akhirnya berjalan keluar kamar dan menuju lantai bawah menemui yang lain.
Baru berjalan menuruni beberapa anak tangga, matanya sudah bisa menangkap keramaian yang ada di bawah. Semua anak-anak sudah bangun dan bersiap di kursi mereka masing-masing.
"Selamat pagi Kak Azura!" salah satu anak di sana mulai menyapa Azura yang baru turun.
"Pagi Kak!" yang lainnya pun kini turut menyapanya.
"Pagi." Azura melempar sebuah senyum kepada anak-anak yang menyapanya.
Baru saja menarik kursi untuk duduk, Vega tiba-tiba menyelanya.
"Azura, cuci mukamu dulu ya."
"Um, baik."
Azura menurutinya dan segera menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka.
Selesai mencuci muka, Azura melihat Riri dan Nein sedang menata makanan dan peralatan untuk sarapan.
"Perlu bantuan?"
"Terimakasih. Kalau begitu, bawa piring-piring dan mangkuk ini ya."
Gadis mungil itu lalu memberikan setumpuk penuh piring dan mangkuk kayu pada Azura.
Dengan sedikit susah payah karena pandangannya hampir tertutupi oleh tumpukan piring dan mangkuk kayu itu, Azura tetap berusaha menjaga agar semuanya tidak jatuh. Hingga akhirnya ia sampai di depan meja makan dan mulai membagikan satu persatu piring dan mangkuk kayu itu pada anak-anak.
Setelah semua piring dan mangkuk dibagikan, Azura segera duduk di kursinya, menunggu makanan dihidangkan di meja makan bersama yang lain.
Nein dan Riri akhirnya datang membawa sarapan yang sudah siap. Secara perlahan, Nein menuangkan bubur kedalam mangkuk setiap orang. Sementara Riri meletakkan sayuran dan daging di atas piring.
Semuanya sudah terbagi, dan kini mereka tinggal memanjatkan doa. Akan tetapi, Azura menyadari ada sesuatu yang hilang. Ia melihat sebuah kursi kosong yang tidak terisi, dan ia pun ingat siapa yang seharusnya menempati kursi tersebut.
"Um... Dia tidak ikut makan?"
"Ah, Kak Arnold? Biarkan saja, dia memang suka keluyuran pagi-pagi."
"Betul, nanti dia juga makan sendiri kalau lapar."
Anak-anak yang lain mulai menjawab pertanyaan Azura satu persatu.
Vega yang melihat mereka mulai menepukkan tangannya sekali guna memancing perhatian.
"Sudah, sudah. Mari kita panjatkan doa dulu sebelum makan."
Semuanya mulai memanjatkan doa, meski Azura sendiri tidak tahu apa yang harus ia panjatkan sebelum makan.
Selesai berdoa, semuanya mulai makan dengan lahap. Tak butuh waktu lama bagi semua makanan di meja itu habis. Anak-anak mulai membereskan peralatan mereka dan bersiap memulai aktifitas.
"Riri, setelah ini bisa ajak Azura berkeliling desa? Sekalian kau ajak dia berkenalan dengan warga desa lain."
Gadis mungil yang sedang membawa beberapa piring dan mangkuk kosong itu mengangguk mendengar perintah dari Vega.
Seusai membereskan peralatan makan, Riri segera memegang tangan Azura dan mengajaknya berkeliling desa.
"Ayo!"
Melewati pintu depan, mata Azura langsung disuguhkan dengan pemandangan yang begitu berbeda. Rumah-rumah, serta para warga desa yang mulai melakukan aktifitas mereka.
Tangan Azura terus ditarik menuju kaki gadis mungil itu melangkah. Menghampiri tiap rumah, berkenalan dengan warga desa yang mereka temui, bahkan gadis itu mengajak Azura menuju lahan perkebunan yang biasa digunakan warga desa untuk bertani.
Disana, Azura sedikit diajari tentang cara berkebun dan turut membantu panen beberapa sayuran yang kebetulan akan dipetik.
Selepas dari kebun, Azura diajak menuju sungai yang biasa digunakan warga desa sebagai sumber mata air. Tidak banyak warga desa yang terlihat disekitar sini. Tapi setidaknya, kedua anak itu bisa beristirahat sejenak di tepian sungai yang dingin.
Cukup puas beristirahat, mereka berdua kembali melanjutkan langkah ke tempat selanjutnya.
Selama perjalanan menuju tempat selanjutnya, gadis itu terus memperhatikan wajah Azura.
Menyadari kalau dirinya terus diperhatikan, Azura menoleh ke arah gadis mungil tersebut.
"Ada apa, Riri?"
Gadis itu menggeleng pelan. "Tidak ada. Hanya saja, kurasa kau lebih banyak berbicara hari ini... Tentu saja bukan dalam artian buruk." gadis itu segera memberikan tanda berupa gelengan kepala dan gerakan tangan kalau memang kalimatnya tadi bukan untuk menjelekkan Azura. "Bagaimana menjelaskannya ya, terlihat lebih ekspresif dibanding kemarin."
Azura mendongak ke atas sambil memegangi dagunya. "Benarkah? Aku tidak menyadarinya sama sekali."
Untuk sesaat, Azura sempat teringat dengan kejadian di alam bawah sadarnya.
"Ah, sebelum itu kurasa harus sedikit ku kembalikan emosi dan bahasamu."
Sepertinya dia memang mengembalikan sebagian emosi dan tutur bahasaku ya...
"Yah, apapun itu aku bersyukur jika kau cepat belajar. Dan mungkin saja, ingatanmu yang hilang bisa kembali juga."
"Ingatan ya..."
Azura kembali termenung. Teringat dengan pesan gadis yang ada di dalam alam bawah sadarnya. Dimana jika ia bersikeras mencari kembali ingatannya yang hilang, jalan hidupnya akan dipenuhi oleh darah. Meski belum paham sepenuhnya, tapi Azura paham kalau pesan itu bukan pertanda baik.
"Azura... Azura..." gadis mungil itu terus menyebutkan nama orang di sampingnya tersebut, tapi ia tidak merespon. Hingga ia akhirnya melakukan kontak fisik dengan sedikit menarik kain lengan Azura. "Hei, kau dengar aku?"
Tersadar dari lamunannya, Azura segera meminta maaf karena mengacuhkan gadis itu.
"Ah, maaf."
"Jika memang ada sesuatu yang mengganggumu, kau bisa cerita padaku."
"Tidak ada kok, sungguh..." Azura tidak bisa meneruskan topik ini. Tentu saja alasan utamanya karena dia tidak mau merepotkan gadis di sampingnya dengan masalah pribadinya. "Um, apa tempat tujuan kita selanjutnya masih jauh."
Riri sedikit mengerutkan dahi dan bibirnya ketika Azura mencoba mengganti topik pembicaraan. Meski begitu, gadis itu cepat sadar jika Azura memang tidak berniat membahasnya lebih jauh.
"Seharusnya tidak jauh lagi sih. Oh iya, aku sampai lupa."
Gadis itu segera mengambil sesuatu dari saku bajunya. Benda itu berupa botol kecil yang ketika dibuka tutupnya mengeluarkan semerbak aroma wewangian yang enak.
"Untuk apa benda itu?"
Gadis itu tersenyum. "Yah, nanti kau juga akan tahu. Tapi sebelum itu, oleskan sedikit cairan di botol ini di sekitar hidung, leher dan pergelangan tanganmu." ia lalu menyodorkan botol kecil itu pada Azura.
Menerima botol tersebut, Azura segera menuangkan isi botol itu ke atas telapak tangannya. Cairan bening yang begitu tersentuh dengan kulit terasa dingin. Mencium sedikit, Azura bisa merasakan wangi bebungaan. Ia lalu mengoleskan cairan itu di tempat-tempat yang diminta.
Belum lama mereka berjalan setelah mengoleskan wewangian itu, hidung Azura menangkap bau aneh. Semacam bau busuk dari kotoran. Azura bahkan sampai mengerutkan dahinya ketika aroma busuk itu masuk ke dalam hidungnya.
Menyadari gelagat yang ditimbulkan Azura, Riri tersenyum lebar. Ia tahu tempat yang ia tuju sudah dekat dengan tanda aroma busuk yang tercium.
Mereka akhirnya melihat bangunan yang menjadi tempat tujuan mereka. Dan tempat itu merupakan sebuah peternakan.
Memasuki kawasan peternakan, raut wajah Azura semakin berubah aneh. Ia sampai menutup hidungnya dengan salah satu tangannya.
Gadis di sampingnya tertawa pelan. "Pffttt—!"
"Hei, apa kau tidak terganggu dengan aroma ini?"
"Yah, aku sudah biasa sih. Terlebih sudah ku oleskan wewangian tadi kan? Setidaknya aromanya tidak akan seburuk yang kau pikirnya. Sudahlah, nanti juga terbiasa."
Tidak Riri, aku tidak akan terbiasa.
Hewan pertama yang mereka lihat adalah semacam lembu coklat dengan bagain belakang tubuhnya berwarna putih dengan motif melingkar.
"Nah, hewan ini bernama anoa. Mereka sering dimanfaatkan warga desa untuk diambil susu dan dagingnya."
Azura mengangguk mendengar penjelasan Riri. Ia pun menoleh ke arah warga desa yang sedang membersihkan kotoran anoa dari kandangnya. Azura langsung bergidik mengingat bau busuk yang masih ia cium sampai sekarang.
"Bisa kita pergi ke tempat lain?"
"Eh, nanti dulu. Masih banyak yang harus kau lihat."
Bergeser dari kandang ke kandang, Riri mengenalkan beberapa hewan lain yang diternakkan di tempat ini. Mulai dari unggas seperti ayam, hingga beberapa ikan yang di ternak dalam sebuah kolam.
Selain hewan untuk konsumsi, peternakan tersebut juga menyediakan hewan untuk keperluan transportasi.
"Nah, untuk hewan ini namanya komodo. Mereka biasa kami gunakan untuk menarik kereta. Lalu, ada juga rushmodo. Mereka ini masih satu keluarga dengan Komodo, hanya saja mereka berjalan dengan kedua kaki belakang mereka yang besar dan kuat. rushmodo lebih cocok digunakan sebagai tunggangan karena mereka bisa berlari lebih cepat dibanding komodo."
Hewan selanjutnya yang Riri kenalkan adalah Komodo dan rushmodo, sebuah ras kadal besar. Sementara komodo hampir terlihat seperti kadal pada umumnya, postur tubuh rushmodo lebih mirip seperti ayam tanpa bulu.
Merasa sedikit takjub dengan komodo dan rushmodo yang berada di balik pagar kandang, Azura berniat menyentuh mereka. Tapi niat itu langsung dihentikan oleh Riri.
"Sebaiknya jangan asal pegang. Mereka ini pemakan daging, nanti kau bisa digigit."
Dengan perasaan kecewa, Azura sedikit menjauh dari pagar kandang komodo dan rushmodo.
"Halo anak-anak!" seorang pria dewasa dari ras wild beast datang menghampiri kedua remaja itu sambil membawa sebuah rushmodo.
"Paman Gun! Duh, sudah kubilang berapa kali untuk jangan memanggilku anak-anak! Umurku sudah dua puluh tahun tahu!"
"Tapi badanmu kan masih seperti anak kecil."
"Paman Gun!" gadis itu berteriak keras sambil memasang ekspresi kesal.
"Ahahaha! Maaf maaf, paman kelepasan. Jadi, siapa orang yang kau bawa ini? Aku baru melihatnya. Anak baru di panti ya?"
"Entah, kenalan saja sendiri sana."
Yah, mulai tantrum deh.
Sambil menghela nafas dan menggaruk kepalanya, paman itu mulai memperkenalkan dirinya.
"Kenalkan, namaku Gunawan. Orang-orang desa lebih sering memanggilku Gun karena lebih mudah diucapkan. Aku orang yang ditugaskan mengawasi peternakan ini. Jadi, siapa namamu anak muda?" memperkenalkan diri sebagai Gunawan, paman ini memiliki rambut dan bulu ekor kecoklatan, serta sebuah janggut yang sudah agak menebal di dagunya.
"Azura. Dan aku sekarang menjadi bagian dari keluarga Riri."
"Ahem!" gadis itu tiba-tiba menyela. "Seperti yang paman dengar, Azura ini anggota keluarga baru di panti asuhan."
"Tumben Madam Vega tidak memberitahu warga desa jika dia membawa anak baru dari pinggiran kota."
"Sebenarnya, aku yang menemukan dia di dalam hutan."
"Hah?!" Gunawan sedikit terkejut mendengar kalimat Riri. Tapi dengan cepat ia hilangkan rasa penasarannya. "Aku sebenarnya ingin bertanya banyak hal tapi sepertinya akan menyita banyak waktu, jadi aku urungkan. Jadi, apa yang membawa kalian kemari?"
"Kami hanya melihat-lihat sambil memperkenalkan Azura kepada warga desa."
"Berapa tempat lagi yang belum kalian kunjungi?"
"Mungkin sisa sekolah..."
Gunawan mengelus pelan janggutnya sambil berpikir sejenak. "Tempatnya ada di sisi lain desa. Kalian mau membawa rushmodo ini untuk kesana? Kebetulan aku berniat membawanya jalan-jalan, sekalian saja kalian pakai." ucap Gunawan sambil mengelus pelan ke rushmodo yang sedari tadi ia bawa.
Dengan cepat Riri menggelengkan kepalanya. Ia juga mengambil beberapa langkah mundur.
Melihat gelagat aneh yang ditunjukkan Riri, Azura sedikit kebingungan.
"Ada apa Riri?"
"Tidak ada. Ayo kita menuju tempat selanjutnya."
"Kita tidak naik rushmodo?"
"Tidak! Aku tidak mau menaiki makhluk itu!" gadis itu sedikit kesal sambil mengacungkan jari telunjuknya pada rushmodo yang ada di sebelah Gunawan.
"Bruahaha! Rupanya kau masih takut menaiki rushmodo ya? Ya ampun. Sudahlah, kau kan sudah bukan anak kecil, kenapa harus takut? Kau sudah dewasa kan?" Gunawan secara sengaja mulai menggoda Riri terlihat dari senyum di wajahnya yang seolah mengejek gadis mungil itu."
"Kau takut?"
"Um..." gadis itu sedikit mengalihkan pandangan matanya.
"Paman, rushmodo ini aman kan?"
"Tentu saja, dia sudah jinak. Kau tidak perlu takut digigit."
Azura lalu menggenggam tangan Riri. "Kau sudah dengar kan? Tidak perlu takut. Ayo!" ia lalu menarik tubuh Riri mendekat ke arah rushmodo tersebut.
"He—hei...!"
Melihat tingkah kedua pemuda pemudi itu, Gunawan hanya bisa tersenyum.
Berhasil memaksa Riri untuk mendekat, Gunawan menyuruh rushmodo itu untuk merendahkan tubuhnya agar bisa dengan mudah dinaiki.
"Naiklah ke atas pelana."
Kedua anak itu mulai naik ke atas pelana. Dengan orang yang pertama naik adalah Riri, di ikuti Azura yang duduk persis di belakangnya.
"Lalu apa yang harus kami lakukan paman?"
"Kenapa tidak kau tanyakan pada gadis di hadapanmu? Riri ini sebenarnya paham cara menaiki rushmodo. Hanya karena tubuhnya kecil, dia jadi sering terpelanting jatuh saat rushmodo mulai berlari. Dan kenangan memalukan seperti itu yang membuatnya enggan menaiki rushmodo lagi. Benar kan Riri?"
Riri tidak membalas ucapan Paman Gunawan. Ia hanya memasang wajah cemberut.
Azura dengan cepat merapatkan tubuhnya dengan Riri. Tangannya kini juga turut menggenggam tangan Riri yang saat ini memegang tali pacu.
"Tidak apa. Aku akan menangkapmu jika terjatuh. Jadi tidak perlu takut."
Sensasi rasa nyaman dari genggaman tangan yang besar dan rasa hangat dari dada bidang Azura yang menempel pada punggung gadis itu, membuat wajahnya sedikit memerah dan akhirnya tidak punya banyak pilihan selain memacu rushmodo itu.
Menghela nafas panjang, gadis itu mulai memantapkan diri. Ia mulai menepuk pelan tubuh rushmodo tersebut, membuat rushmodo itu segera berdiri. Riri lalu menarik tali pacu yang terpasang, membuat rushmodo itu berjalan. Pelan... Pelan dan perlahan mulai bergerak cepat.
Setelah berjalan denhan sempurna, Azura melambaikan tangan kepada Gunawan sebagai tanda terimakasih.
"Terimakasih Paman!"
"Sama-sama! Jangan lupa kembalikan dia ke kandang sebelum hari gelap!"
"Baik!"
"Haaah, dasar anak-anak muda."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments