CH. 3 [Bab I : Desa Harapan]

Bersama Vega, Azura diajak menuju sebuah ruangan yang terpisah oleh sekat kain yang digantung.

Telinga Azura mulai menangkap suara riuh dari balik kain sekat itu. Seolah ada banyak orang yang berkumpul disana.

Begitu ia melewati sekat kain itu, matanya melihat banyak anak kecil dengan penampilan yang bermacam-macam tengah bersenda gurau satu sama lain.

Tapi, semua keasyikan itu langsung lenyap ketika mereka melihat orang asing yang datang bersama dengan Vega.

"Eh, siapa?"

Kepala mereka dipenuhi pertanyaan. Mereka kemudian mendekat dengan mata yang berbinar-binar dan rasa penasaran yang kuat.

"Kak! Siapa namamu?"

"Kau terlihat kuat, ayo bertarung denganku kak!"

"Ha… halo…"

Beberapa—bahkan puluhan pertanyaan keluar dari mulut anak-anak itu. 

Mulut Azura tak bisa berucap dengan semua pertanyaan yang ada. Bahkan, meskipun ia berucap, ia tak yakin bisa menjawab semuanya.

"Ayo, jangan berceloteh terus. Sudah mau jam makan. Berbaris yang rapi atau nanti tidak dapat jatah makan."

Vega bertindak cepat meredakan suasana yang bagi Azura mungkin sudah seperti neraka.

"Baik Bu."

Semua anak itu langsung duduk dengan rapi di kursi mereka masing-masing. Tangan mereka mulai memegang peralatan makan dan bersiap menunggu hidangan datang.

Azura pun baru menyadari jika Riri dan Arnold sudah duduk dengan rapi di antara anak-anak tersebut.

"Kau juga Azura, duduk lah."

Meskipun dipersilahkan, Azura nampak canggung dan kebingungan. Hingga akhirnya gadis mungil yang ia kenal itu mulai menunjuk sebuah kursi kosong di sebelahnya. Ia pun mulai memberi tanda pada Azura untuk duduk di kursi tersebut dengan sebuah senyum lembut terpatri di wajahnya.

Azura pun mulai duduk di kursi tersebut. Begitu ia duduk, Riri langsung memberi peralatan makan yang diperlukan karena Azura juga akan ikut makan bersama mereka.

"Nein, bawakan makanannya." 

Vega memanggil Nein sambil menepukkan kedua tangannya sebanyak dua kali. Wanita pelayan itu muncul dari ruangan lain dengan membawa semacam meja dorong yang penuh akan panci panas dan berbagai macam peralatan makan.

Nein mulai menghentikan meja dorong tersebut di samping Vega. Ia mulai memindahkan sebagian makanan yang ia bawa ke atas meja makan.

Beberapa mangkuk dan piring kayu mulai ia isikan oleh makanan dan dibagi merata kepada semua orang yang duduk disana.

Tak ada yang spesial dari makanan di hadapan mereka. Hanya kentang rebus dan semur daging yang disajikan bersama beberapa sayuran rebus. Tapi, sorot mata orang-orang disana nampak begitu kegirangan.

Setelah semua orang mendapat jatah makanan, mereka semua mulai diam sejenak. Merapatkan kedua tangan mereka yang saling menggenggam. Mereka mulai menundukkan kepala seraya diam beberapa saat. Seolah sedang berdoa.

Hampir semua orang melakukannya, kecuali Azura. Bahkan, Nein yang tidak ikut duduk pun ikut melakukan doa.

Sementara Azura yang tidak mengerti, merasa kebingungan dan mulai mengikuti tindakan semua orang disana tanpa ia ketahui makna dibaliknya.

Setelah semua orang memanjatkan doa. Mereka mulai mengambil kembali peralatan makan mereka dan mulai menyuapkan makanan ke dalam mulut mereka masing-masing.

Mereka semua makan dengan lahap. Kecuali Azura yang masih terlihat ragu memasukkan makanan di hadapannya ke dalam mulutnya.

"Kau tidak makan? Masakan Kak Nein sangat enak lho."

Azura sedikit tersadar dari rasa gelisahnya. Ia bukannya tidak mau makan. Hanya saja, ada sedikit rasa mengganjal yang susah dijelaskan saat ini di hatinya.

Ia kemudian mengambil sedikit daging di mangkuknya, lalu memasukkannya ke dalam mulut.

Matanya sedikit melebar ketika rasa dari daging yang ia kunyah mulai menyebar di indra perasanya.

Perlahan, ia mulai menikmati makanannya seperti orang lain disana.

Ketika sebagian mangkuk orang sudah hampir habis, sebagian anak-anak disana mulai berucap kembali dengan mulut mereka yang masih mengunyah.

"Kwakak, shiapwa nhmamu!" 

"Hei, jangan bicara saat mulutmu sedang penuh. Telan dulu, nanti tersedak." Riri menegur salah satu anak di hadapannya.

Anak itu lalu menelan semua makanan di mulutnya dan kembali meneruskan kalimatnya.

"Phu… Kak Riri jadi semakin mirip Bu Vega saja."

"Kh—anak jaman sekarang…"

Vega kemudian mengangkat tangan kanannya setinggi kepala. Orang di sebelahnya—Nein, memberikan sebuah sapu tangan. Vega menerimanya dan mulai mengusap pelan mulutnya. Ia lalu mengembalikan sapu tangan itu pada Nein setelah puas memakainya.

"Baiklah. Biar Ibu yang menjelaskan. Kalian makan dengan santai saja."

Semua orang disana sedikit mematung untuk beberapa saat. Terutama untuk mereka yang sudah bisa menilai kondisi dan situasi.

Terutama untuk Azura. Ia masih mengunyah perlahan makannya sambil mendengarkan dengan seksama apa yang akan dikatakan oleh orang yang dihormati seisi rumah ini.

"Nama orang yang baru datang ini adalah Azura. Dan dia, akan menjadi bagian dari keluarga baru kita." sebuah senyum terukir di wajah Vega.

Semua orang disana berhenti mengunyah. Bahkan, tangan mereka berhenti memasukkan makanan lagi. 

Situasi mengejutkan itu tidak berlangsung lama, sebuah senyum dan kegembiraan mulai terpancar lagi di wajah anak-anak itu.

"Selamat datang Kak Azura!"

"Kita dapat Kakak baru!"

Azura yang masih belum mengerti sepenuhnya, hanya bisa melempar senyum pasrah di hadapan anak-anak.

Di samping suasana kegembiraan itu, gadis mungil itu melirik ke salah satu orang yang nampaknya tidak terlalu peduli.

"Hei Arnold. Kau tidak senang kita dapat keluarga baru? Aku tidak menyangka Bu Vega akan mengangkat dia menjadi bagian keluarga kita."

Sambil meneruskan makan, Arnold menjawab pertanyaan gadis di sebelahnya itu. "Tidak terlalu. Hanya saja..." untuk sesaat, Arnold berhenti makan. Entah mengapa, tiba-tiba ia menjadi sangat kesal di dalam lubuk hatinya, meski tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi. "Lupakan saja ucapanku barusan..." ia pun kembali melanjutkan makannya.

"Eh kenapa... Beritahu aku dong..."

Arnold menghiraukan Riri dengan fokus makan.

Gadis itu menjadi kesal akibat ucapannya yang di acuhkan oleh Arnold. Terlihat dari alisnya yang mengerut dan kedua pipi yang ia gembungkan itu.

Suasana yang cukup menggembirakan itu akhirnya berakhir ketika semua mangkuk makanan disana sudah mulai habis. 

Sebagian dari mereka ada yang sudah mulai menguap akibat kekenyangan, sedangkan yang lain masih terlihat bersemangat.

"Sekarang, cuci muka dan bersihkan diri kalian. Setelah itu pergi tidur ya."

"Baik, Bu."

Matahari memang belum terlalu lama tenggelam. Tapi Vega sudah mulai menyuruh anak-anak untuk segera tidur. 

Tidak ada penolakan. Semua anak disana menerimanya, kecuali Riri dan Azura.

"Aku, mau membantu Kak Nein dulu."

Gadis mungil itu beranjak dari posisinya dan pergi ke ruangan lain.

Tersisa Azura dan Vega yang masih berada di posisinya. Suasana hening sempat tercipta untuk beberapa saat, hingga Vega mulai mencairkan suasana.

"Azura. Soal keputusan sepihak tadi, kau boleh menolaknya jika mau."

"Soal keluarga?"

Vega mengangguk pelan. "Tidak usah khawatir. Meskipun kau menolaknya, aku tidak akan mengusirmu kok."

"Keluarga…" 

Tangan kanan Azura mulai ia tempelkan ke bagian kepalanya. Sambil menahan rasa sakit di kepalanya, ia mencoba mengingat kembali apa yang dimaksud dengan "keluarga" ini.

Ingatan samar-samar. Terlihat buram tapi ia masih bisa mengingat sesuatu. Sesuatu yang selalu berada disisinya. Kemudian lenyap menjadi ingatan kosong yang tak membekas.

"Keluarga itu, apa?"

"Umumnya, keluarga adalah sebutan bagi suami, istri serta anak mereka yang tinggal bersama. Tapi, kau juga mengartikannya sebagai orang-orang yang saling mencintai dan tinggal bersama."

"Apa aku harus mencintai semua orang di rumah ini agar bisa menjadi 'keluarga'?"

"Cinta itu tidak bisa dipaksa. Dia akan tumbuh perlahan di dalam hatimu."

Azura termenung. Ia mencoba mengingat kembali hal yang berkaitan tentang "keluarga" ini. Tapi, sama sekali tidak ada yang keluar.

Instingnya mulai bekerja. Menafsir dari ucapan Vega, ia sadar jika ia menerima keputusan itu, ia akan mendapat tempat tinggal yang nyaman. Tapi, jika ia menolak, bisa saja ia mendapat sesuatu yang buruk meskipun Vega berucap tidak akan mengusirnya. 

"Jika kalian tidak keberatan, aku mau menjadi bagian 'keluarga' itu."

Vega menarik ujung bibirnya. Melempar sebuah senyum ke arah Azura.

"Anak pintar. Riri…"

"Iya Bu?" 

Baru saja namanya disebut, gadis itu

segera datang menemui Vega.

"Tolong antar Azura ke kamar paling ujung."

"Eh?"

Gadis itu sempat kebingungan. Ia sampai memegangi dagu dan merenung memikirkan jawaban, atau malah melontarkan pertanyaan lain.

"Bukannya kamar diujung belum dibersihkan? Apa tidak masalah menyuruhnya tidur di tempat kotor?"

"Jangan khawatir. Nein sudah membersihkannya."

Gadis itu sedikit terkejut mendengar perkataan Vega. Tapi ia tak mau memusingkannya dan segera mengantar Azura ke kamar tujuan.

Mereka berdua mulai melangkah menaiki anak tangga menuju lantai atas.

"Jadi ini tujuan Nyonya memintaku membersihkan kamar itu?"

Dari balik kain sekat, Nein menampakkan diri dan berjalan mendekati Vega, hingga ia berada tepat di sampingnya.

"Tidak. Hanya kebetulan saja aku memintamu membersihkan kamar itu."

"Kebetulan... ya?"

Vega sedikit tersenyum mendengar perkataan pelayannya.

"Menurutmu, bagaimana pandanganmu soal anak itu?"

"Bukannya aku tidak mempercayai keputusan Nyonya. Tapi, apa Nyonya yakin ingin menampungnya disini?"

"Kenapa? Kau takut?"

"Ketakutan adalah insting alamiah untuk bertahan hidup. Terlebih, seharusnya Nyonya sadar kalau anak itu bukan anak sembarangan. Ditambah baju yang ia kenakan saat datang, Nyonya jauh lebih paham daripada aku soal baju itu."

Vega mulai meminggirkan cangkir teh kosong yang ada di hadapannya ke arah Nein.

Ia yang melihat cangkir kosong di hadapannya langsung paham. Nein mengambil teko berisi teh hangat dan menuangkannya di dalam cangkir tersebut. Kemudian ia arahkan balik ke hadapan Vega.

"Terimakasih." Vega mengambil cangkir tersebut dan mulai menyeruput teh yang ada di dalamnya. Cukup menyeruput, Vega meletakkan kembali cangkir teh itu. "Apa kau ingat pesan wasiat mendingan Kaisar?"

Nein menyipitkan mata dan melirik tajam ke arah Vega.

"Nyonya percaya pada pesan itu? Kita bahkan tidak tahu siapa yang dimaksud di dalamnya. Jangan bilang, Nyonya yakin kalau anak itu adalah orang yang dimaksud dalam pesan wasiat tersebut?"

"Tidak ada salahnya untuk menebak 'kan? Kalaupun salah, kita juga tidak rugi."

Nein hanya bisa menghela nafas panjang mendengar perkataan majikannya.

"Ngomong-ngomong, aku punya tugas lain untukmu…"

Mereka berdua terus melanjutkan percakapan mereka disana. Tak didengar dan dimengerti oleh orang selain mereka.

Lain halnya dengan Azura dan Riri yang kini berada di lantai dua. Setelah melewati beberapa ruang kamar yang berjejer, akhirnya mereka sampai di depan ruang kamar yang akan dipakai oleh Azura.

Riri mulai membuka pintu. Suasana dingin dan gelap mulai terasa.

Gadis itu kemudian menepukkan kedua tangannya sebanyak dua kali. Membuat sebuah lampu yang tergantung di tengah langit-langit kamar mulai menyala.

Tak seperti penerangan lain, lampu yang digunakan di kamar dan sebagian besar lampu di tempat ini, merupakan bongkahan batu sihir. Sebuah batu yang memuat energi mana yang cukup untuk membuat penerangan dan menciptakan suasana hangat.

Selepas lampu mulai menerangi seisi kamar, mereka berdua kembali melangkah masuk.

Sebuah kamar yang cukup luas untuk satu orang. Lengkap dengan tempat tidur, lemari, serta satu pasang meja dan kursi yang diletakkan di sudut ruangan.

Tidak banyak benda yang ada di dalam kamar ini. Mengingat kamar ini sudah tak dihuni begitu lama.

"Bagaimana, apa kau suka?"

Azura tak menunjukkan ekspresi apapun melihat isi dari ruangan tersebut.

Ia kemudian menatap gadis mungil itu, memberikan sebuah senyuman dan mengangguk.

"Terimakasih."

Riri membalas senyuman itu dengan balik tersenyum ke arah Azura. 

"Kalau begitu, aku pergi dulu."

Gadis itu melangkah keluar kamar. Ia menarik gagang pintu kamar dan mulai menutupnya secara perlahan.

Sebelum pintu kamar tertutup sepenuhnya, ia kembali membuka sedikit pintu itu. Membiarkan kepalanya terlihat sambil meninggalkan sebuah pesan ke arah Azura.

"Jika kau ingin mematikan lampunya, tepuk saja tanganmu dua kali seperti aku tadi. Kalau begitu, selamat malam."

Akhirnya, pintu kamar tertutup sepenuhnya dan sosok gadis itu mulai menghilang dari pandangan Azura.

Berada sendirian di kamar yang cukup sepi, membuat Azura tak punya banyak pilihan selain membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.

Suara decitan kayu yang menopang tempat tidur itu, terdengar lirih ketika tubuhnya ia baringkan. 

Di dalam lamunannya yang tak berujung, ia mengangkat tangan kanannya tinggi ke arah langit-langit.

Sebenarnya aku ini… siapa?

Ia menurunkan lengannya yang kini ia arahkan untuk menutupi kedua matanya.

Perlahan… perlahan… ia mulai terlelap meski malam belum sepenuhnya larut.

Hembusan angin, suara kicauan burung yang samar, serta sensasi kasar yang menyentuh kulit membuatnya membuka kembali matanya.

Dengan pandangan yang masih buram, ia melihat ke arah sekitar. Setelah beberapa saat mencerna, ia tersadar. 

Ia terkejut bukan main dan langsung berdiri. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi kebingungan dan ketakutan.

Bagaimana tidak, ia saat ini berada di sebuah padang savana, padahal beberapa waktu yang lalu ia masih berada di sebuah ruang kamar. Sejauh mata memandang, hanya ada lapangan rumput dan beberapa bongkah batu besar serta pohon yang tumbuh.

Ia terus menyapukan pandangannya ke segala penjuru. Mencari jawaban dari hal yang ia alami saat ini.

Bukan ilusi atau fatamorgana, semua yang Azura rasakan saat ini terasa sangat nyata.

"Mencari jalan keluar?"

Suara perempuan menusuk masuk ke gendang telinganya.

Ia memutar tubuhnya ke belakang. Tidak ada siapapun.

"Di sini."

Lagi. Suara yang muncul entah dari mana. Ketika Azura menoleh ke sumber suara, tidak ada siapapun yang berdiri di sana. 

"Fiuh…"

Azura bergidik ketakutan. Ia langsung melompat menjauh ketika ada seseorang yang meniup telinga kirinya. Keringat dinginnya mulai menetes keluar.

Ia kini bisa melihatnya. Seorang sosok perempuan—atau mungkin gadis jika dilihat dari postur tubuhnya. Gadis itu mengenakan gaun putih yang menutupi bahu sampai lutut. Rambut hitamnya itu memanjang hingga punggung dan terlihat indah ketika diterpa angin.

Hanya saja, Azura tak bisa melihat jelas bagian wajah gadis itu. Memang ada poni panjang yang menutupi sebagian wajahnya. Tapi itu tak mengubah kenyataan jika wajahnya tetap terlihat buram di mata Azura.

"Siapa?"

Mendengar pertanyaan Azura, gadis misterius itu hanya memiringkan kepalanya sambil menempelkan jari telunjuk pada pipinya.

"Aku jadi sedih lho kalau kau tidak mengingatku. Ah, sebelum itu kurasa harus sedikit ku kembalikan emosi dan bahasamu." gadis itu mulai menjentikkan jarinya. Namun tidak ada hal yang terjadi.

Gadis misterius di tempat misterius. Semua hal ini sangat aneh, tapi insting Azura sama sekali tidak mendeteksi hawa mengancam dari gadis di hadapannya. Malah, ucapan gadis itu terdengar seolah ia kenal dengan Azura. 

Kesal karena kebuntuan informasi. Azura menggertakkan giginya dengan kuat.

"Maaf, tapi aku tidak ingat siapa dirimu. Lalu, tempat apa ini?"

"Yah, aku tidak akan terkejut mendengarnya. Justru itu menunjukkan sihirnya benar-benar bekerja."

"Sihir?"

"Benar…" ia menghilang dalam sekejap. Di detik selanjutnya, ia sudah berada tepat di belakang Azura sambil mencoba membisikkan sesuatu. "Sihir yang menghilangkan seluruh memori ingatanmu." 

Azura membalikkan badannya sambil mencoba menepis gadis itu. Hanya saja, gadis itu sudah berteleportasi—menjauh dari Azura hanya dalam sepersekian detik.

"Menghapus ingatan? Kh—" 

Rasa sakit yang teramat parah kini Azura rasakan di kepalanya. Kedua tangannya bahkan harus membantu menahan rasa sakit tersebut. Kemudian, rasa sakit itu perlahan hilang. Diikuti dengan insting Azura yang mulai paham kondisi yang terjadi.

"Kau… apa kau yang menghapus seluruh ingatanku?"

Gadis itu tersenyum lebar. "Imutnya. Ekspresimu itu, tunjukkan lagi kepadaku!"

"Bedebah…"

Wajah gadis itu mulai memerah dan nafasnya mulai terengah-engah. Seolah ia benar-benar menikmati dan dimabukkan oleh orang di hadapannya. Bahkan, air liurnya sempat menetes.

Azura mulai mengepalkan tangannya sambil mengambil sebuah kuda-kuda. Ia sudah bersiap menyerang gadis itu meskipun instingnya berkata kalau dia tidak berbahaya.

"Ah, maaf. Kau melihat hal buruk…" setelah puas menikmatinya, gadis itu mulai menyeka liurnya dan ia mulai menenangkan diri. "Aku akan memberimu sedikit petunjuk. Jadi dengarkan baik-baik."

Mendengarnya, Azura melemaskan kepalan tangannya dan mulai merilekskan tubuhnya. Ia juga mulai memfokuskan indra pendengaran agar tak melewatkan informasi sekecil apapun.

"Pertama, aku bukan orang yang menghapus ingatanmu. Aku hanyalah ciptaan yang diciptakan orang "itu" untuk mengawasimu."

"Siapa orang yang kau maksud?"

Gadis itu hanya melempar senyum kecil ke arah Azura sebelum kembali melanjutkan kalimatnya.

"Entahlah, kau harus mencari tahu sendiri."

"Jika aku bisa menemukannya, apa ingatanku bisa kembali?"

"Mungkin."

"Mungkin?"

"Seperti yang aku bilang sebelumnya 'kan. Aku hanyalah sebuah ciptaan yang ditugaskan untuk mengawasimu. Tidak lebih dari itu. Meski aku punya beberapa kuasa sih, meski tidak seberapa, pengetahuanku juga terbatas. Jadi rasanya percuma saja kau menanyakan hal tersebut."

Gadis itu kemudian berjalan mendekat ke arah Azura.

"Lalu, petunjuk yang kedua sekaligus sebuah peringatan keras untukmu…" gadis itu kemudian berjalan mengelilingi Azura yang diam di tempat. "Sebaiknya jangan mencari orang yang menghapus ingatanmu dan jati dirimu. Bagaimanapun, ini demi kebaikanmu sendiri…" ia berhenti tepat di hadapan Azura. Ia mengarahkan jari telunjuknya ke arah jantung laki-laki itu. "Jika kau masih bersikeras ingin mencarinya, jalan hidupmu akan terus dipenuhi oleh darah."

Mendengarnya, Azura menelan liurnya sendiri. Keringat dingin kembali menetes dari pelipisnya.

"Kau pasti hanya membual."

Gadis itu berjalan mundur. 

"Terserah kau ingin percaya atau tidak, semua itu kembali lagi kepadamu."

Angin kencang mulai menerpa area di sekitar sana. 

Perlahan, tubuh gadis itu mulai memudar. Seolah tubuhnya terbuat dari debu dan ikut berterbangan bersama angin.

"Ah, satu lagi. Tempat ini adalah alam bawah sadarmu. Jadi kau tidak perlu khawatir. Sampai jumpa…" 

Bersamaan dengan lenyapnya gadis misterius itu, angin kencang yang menerpa Azura membuat penglihatannya menjadi buram. Ketika ia membuka matanya kembali, ia sudah berada di sebuah ruang kamar. 

Ia mulai mengangkat tubuhnya ke posisi duduk. Tangannya menggigil gemetar dengan keringat dingin yang masih keluar dari sebagian wajahnya.

Mimpi? Di dalam hatinya Azura berpikir demikian. Tapi, ia langsung menepis pemikiran itu. Semuanya terlalu nyata dan kebetulan untuk disebut sebuah "mimpi" semata.

Ia mengarahkan salah satu tangannya untuk menutup sebagian wajah. Sambil merenung, ia terus memikirkan perkataan gadis di mimpinya itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!