CH. 2 [Bab I : Desa Harapan]

Selama perjalanan ini, Azura terus memperhatikan area di sekelilingnya. Semua hal yang ia lihat kini terasa baru dan langsung membekas di ingatannya yang kosong itu. 

Bahkan ia tak sadar kalau perutnya kini mengeluarkan suara aneh.

"Kau lapar? Tahan sebentar, kita hampir sampai kok.

Sambil memegangi perutnya yang keroncongan, Azura berpikir sejenak.

"Apa kau, tidak takut padaku?"

"Kalau kau sendiri bagaimana?"

Azura kini dibuat tidak bisa berucap dengan balasan dari gadis mungil itu. Belasan—bahkan ratusan jawaban yang tersisa di ingatannya tak bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan itu. Hanya ada satu hal yang bisa ia ucapkan.

"Aku, tidak tahu." 

Sambil mengalihkan sedikit pandangan, Azura mengusap pelan pelipisnya.

Gadis itu kini berhenti berjalan dan mengalihkan posisinya, berhadapan dengan Azura.

"Yah, daripada disebut takut, aku justru lebih merasa cemas dengan keadaanmu. Meski aku sedikit tidak yakin soal dirimu yang hilang ingatan itu. Akan tetapi, aku seperti di tuntun untuk menolongmu saat itu. Seolah, ini merupakan sebuah takdir yang sudah ditentukan. Lagipula, bukannya kau yang harusnya merasa takut. Bagaimana kalau aku berbohong telah menyelamatkanmu?"

Azura semakin dibuat tak bisa berucap. 

Dengan kedua tangan yang ia kepalkan kuat. Ia mulai menjawab pertanyaan itu dengan ragu.

"Insting—perasaanku saja yang mengatakan tidak masalah mengikutimu. Terlebih, kalimatmu tadi, tulus dari hati."

Azura tahu kalau jawabannya bukan jawaban pasti yang diinginkan gadis itu. Tapi ia tidak bisa memikirkan hal lain. Karena memang ia hanya bisa mengikuti instingnya untuk saat ini.

"Pffft—... hahaha…" gadis itu tertawa kecil mendengar jawaban Azura. "Nah, kalau begitu, tidak ada masalah kan kalau aku juga mengikuti perasaanku? Bagaimana? Apa kau puas?" 

Riri melempar sebuah senyum yang seolah mengejek Azura. 

Azura tahu, senyuman itu bukan bermaksud untuk merendahkannya. Tapi mengingatkannya kembali kalau gadis ini memang berniat tulus menolongnya.

Sebuah perasaan aneh ia rasakan untuk pertama kali di dalam dadanya. Rasa sesak yang mengganggu diikuti dengan sedikit rasa gelisah. Terutama ketika ia terus memandangi wajah manis gadis yang ada di hadapannya.

"Maaf."

"Tidak masalah. Aku sudah sering mendapat pertanyaan aneh setiap harinya." 

Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan mereka. Pohon demi pohon mereka lewati, ditemani dengan semilir angin dan beberapa cuitan burung di hutan.

Dari jauh, pelupuk mata mereka melihat seseorang tengah bersandar di sebuah pohon di depan jalur mereka.

Gadis ini justru semakin mempercepat laju kakinya ketika melihat seseorang di depan yang seolah menunggu kedatangan mereka.

Tapi, berbeda dengan orang yang ada di belakang Riri. Azura justru merasakan sesuatu yang sangat tidak nyaman ketika melihatnya. Terutama, aura yang dipancarkan orang itu.

Semakin mendekat, mereka semakin bisa melihat sosok orang itu.

Seorang anak laki-laki yang mungkin tingginya setara Azura—atau lebih. Ia memiliki sebuah telinga hewan—mirip seperti ras kucing atau lebih tepat mirip seperti serigala perak dengan ekor yang lebat pula. Warna rambut putih perak yang sama dengan warna mata yang menatap tajam ke arah dua orang yang berjalan menghampirinya.

Anak itu berjalan mendekat sambil mengambil sesuatu dari balik punggungnya.

"Arnold! Aku bawakan tanaman obat—..."

Sesuatu melintas cepat di dekat gadis itu. Sebuah proyektil yang dilempar. Tapi, gadis itu tak merasa ada sesuatu yang berbahaya di dekatnya. Kecuali proyektil itu sengaja dilempar menuju seseorang.

Benar saja, proyektil itu—yang merupakan sebuah belati menancap tepat di depan kaki Azura. Hal itu pula yang membuatnya terkejut dan mengambil langkah mundur. Sayangnya, kakinya tersandung akar pohon dan membuatnya terjatuh."

Sebuah sensasi dingin dari batang besi menempel pada leher Azura. Entah sejak kapan, Arnold kini berada di belakang Azura sambil memegang pisau belati tersebut.

"Jadi, ada keperluan apa seorang kesatria sihir kekaisaran datang ke tempat seperti ini?"

Dengan pikiran yang masih belum mencerna situasi, Azura justru menanggapi pertanyaan itu dengan santai meski sedikit kebingungan.

"Um... Aku tidak paham maksudmu..."

Sebelum keadaan menjadi semakin buruk, gadis mungil itu langsung menghentikannya.

"Arnold! Bisa tidak jangan lakukan hal berbahaya seperti itu!?"

"Aku hanya mencoba melindungi keluargaku."

"Yang kau lakukan justru sebaliknya tahu!" gadis itu sedikit memasang wajah kesal dengan tingkah laku Arnold.

Anak serigala itu menghela nafas. Menyarungkan kembali belatinya dan berdiri. Ia pun kini mengulurkan tangan kanannya ke arah Azura, bermaksud untuk membantunya berdiri.

"Maaf ya."

Meski tidak terlalu paham, Azura menjabat tangan Arnold yang membantunya untuk berdiri kembali.

Arnold lalu mendekat ke arah Riri dengan cepat. Kini, mereka berdua terlihat seperti sedang berbisik satu sama lain.

"Riri, bisa jelaskan padaku secara singkat?"

"Aku menemukannya hanyut di sungai, jadi ku coba untuk ku tolong. Tapi sepertinya, kepalanya sedikit bermasalah. Dia akan sakit kepala jika disuruh mengingat sesuatu yang ia tidak ketahui. Singkatnya, hilang ingatan."

"Jadi kau bermaksud membawanya ke rumah?"

"Memangnya tidak boleh? Bu Vega kan tidak melarangnya."

Arnold menghela nafas panjang. "Aku akan pulang duluan untuk memberitahu Bu Vega dan Kak Nein soal ini. Meski aku bertaruh mereka sudah menyadarinya duluan. Kalau begitu..."

"Eh... Main pergi saja. Ini bawa..." Riri menyerahkan sebakul penuh tanaman obat yang ia petik tadi kepada Arnold. "Tolong ya..."

Dengan ekspresi yang sedikit masam, Arnold menerima permintaan tersebut. "Satu hal lagi, meski aku tidak merasakan hawa mengancam darinya. Aku merasa sedikit tidak nyaman di dekatnya. Seperti... Membawa kenangan buruk... Kalau begitu, aku pergi duluan." Arnold dengan cepat pergi menjauh dari mereka berdua.

Riri lalu menghampiri Azura yang sedari tadi terlihat kebingungan.

"Aduh, maaf ya membuatmu menunggu. Dan tolong maafkan sikap kasarnya tadi. Sikapnya memang tempramental jika menyangkut masalah keluarga."

Azura hanya bisa mengangguk karena tidak terlalu paham.

"Kalau begitu, ayo kita lanjutkan..." gadis itu dengan cepat menggenggam tangan Azura dan memaksanya untuk berjalan mengikuti tempo kakinya yang semakin cepat.

Setelah berjalan beberapa saat, kedua pelupuk mata mereka melihat sebuah bangunan di balik rimbunnya pepohonan.

Mencapai pintu masuk di bagian belakang bangunan, Riri segera membuka pintu kayu tersebut.

Begitu Azura melangkah masuk, ia sedikit tertegun melihat bagian dalam bangunan. Kenangan nostalgia—atau hal semacam itu yang kini merasuk di dalam kepalanya.

"Kau lama sekali Riri. Aku sampai disuruh membantu Kak Nein mengurus pekerjaan dapur."

Di sana, sudah ada Arnold bersama seorang wanita yang berpakaian seperti pelayan yang menunggu kedatangan mereka berdua.

"Bukannya kau sendiri yang malah pulang duluan ya?" gadis mungil itu melempar sebuah senyum mengejek kepada Arnold.

"Riri, apa anak ini yang dimaksud?" ucap pelayan wanita tersebut. Rambut wanita ini berwarna merah menyala sama seperti warna kedua bola matanya. Penampilannya layaknya wanita dewasa yang begitu anggun meski mengenakan pakaian pelayan.

"Aku tidak terlalu paham maksud Kak Nein. Tapi, Azura ini adalah orang yang ku selamatkan di dalam hutan sana. Untuk lebih detailnya akan ku jelaskan nanti. Yang terpenting... Dia boleh tinggal di sini kan?"

"Aku tidak bisa menjamin. Jika satu malam kurasa tidak masalah. Tetapi, jika dia ingin tinggal lebih lama, kurasa kita perlu menunggu persetujuan Nyonya soal ini."

"Begitu ya..." entah mengapa, raut wajah Riri sedikit merasa khawatir.

"Untuk sekarang, Azura... Bisa tolong ganti baju dulu? Aku sudah menyiapkan baju ganti untukmu. Meski aku tidak yakin soal ukurannya, seharusnya mirip seperti Arnold."

Azura menerima baju pemberian pelayan yang bernama Nein tersebut. Baju itu terlihat seperti baju orang pedesaan pada umumnya dengan warna dominan hitam.

Azura lagi-lagi hanya mengangguk.

Ia mulai melepas satu persatu kancing bajunya saat ini. Saat bajunya sudah hampir terlepas, gadis mungil di dekatnya itu langsung tersadar.

"Hei, hei! Tunggu dulu! Kenapa kau melepas bajumu disini!?"

Azura sedikit memiringkan kepalanya. "Tidak boleh?"

"Tidak boleh! Ganti baju di kamar mandi sana!" jari telunjuknya menunjuk sebuah ruangan lain di dekat sana.

"Um... Baiklah..." Azura dengan kebingungan berjalan menuju ruangan yang dimaksud oleh Riri.

Di dalam kamar mandi, Azura mulai mengganti pakaiannya. Tidak butuh waktu lama baginya untuk berganti pakaian. Ia juga menyempatkan diri untuk membasuh wajahnya dengan air yang ada di dalam gentong.

Menghadap ke sebuah cermin di dalam sana, ia memperhatikan dirinya sendiri. Mata berwarna hitam yang sama seperti rambutnya itu menatap ke arah bayangan dirinya dengan sangat dalam. Seberapapun ia bersikeras untuk mengingat siapa dirinya ini, tidak ada yang bisa ia ingat selain namanya.

Menyudahi berkelahi dengan pikirannya, ia akhirnya keluar dari kamar mandi.

Begitu ia keluar, ia sudah disambut oleh seseorang.

Seorang wanita dewasa dari ras Wild Beast—sebuah ras dengan ciri khas berupa telinga hewan dan sebuah ekor itu berdiri di dekat sana. Rambut kepala dan ekor yang berwarna emas, serta sebuah setelan baju yang dominan berwarna orange dengan selingan warna putih itu menatap ke arah Azura—meski begitu, matanya selalu tertutup.

"Hmmm... Jadi kau anak yang dimaksud itu ya? Heee... Menarik. Perkenalkan, namaku Vega. Aku adalah pemilik sekaligus pengurus rumah panti asuhan ini. Jika tidak keberatan, mau kah ananda Azura mau makan malam bersama kami?"

Kembali, Azura hanya mengangguk.

"Kalau begitu, pakaian itu... Bisa kau berikan padaku? Tenang saja, akan ku simpan dengan baik kok." Vega menunjuk pakaian yang kini ada di dekapan Azura—baju lama miliknya.

Lagi-lagi mengangguk. Azura memberikan pakaian lamanya secara percuma. Lagipula, Azura juga berpikiran pakaian itu tidak penting—setidaknya untuk sekarang. Jadi biarlah pakaian itu disimpan oleh orang yang lebih paham.

"Anak pintar... Nein, bisa ke sini sebentar?"

Begitu dipanggil, Nein segera datang menghampiri Vega.

"Tolong, simpankan baju ini."

"Dapat dimengerti, Nyonya." sambil membawa baju lama Azura, Nein melangkah pergi.

"Kalau begitu, mari, kita makan bersama..."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!