Rise Again As A Rich Man

Rise Again As A Rich Man

Rise 1 - Rumah baru

Isotown City, Sciencetopia.

2002

Mobil yang mereka tumpangi itu berhenti tepat di depan sebuah rumah tua yang tampak cukup besar. Walaupun terlihat besar, tapi letaknya cukup jauh berada di sebuah desa terpencil di sisi barat bagian Sciencetopia.

Sisi yang terkenal akan tempat pembuangan bagi orang-orang yang tak memiliki arti dan nilai bagi orang-orang kalangan kelas atas. Atau lebih tepat di sebut sebagai tempat bagi rakyat miskin yang terasingkan dari negara mereka sendiri.

Beberapa orang melangkah keluar dari dalam mobil yang mereka tumpangi.

Dua orang dewasa berdiri dengan seorang anak laki-laki berusia lima tahun. Fokus pandangan mereka tertuju pada bangunan tua yang tak lain selanjutnya akan menjadi rumah mereka.

"Nah, ini adalah rumah baru kita. Apakah kau menyukainya, sayang?" Lucas Hamilton menatap putranya yang diam seribu bahasa.

Ada raut wajah kecewa yang tampak dari ekspresi anak laki-laki yang menjadi putra semata wayangnya itu.

"Kenapa kita harus tinggal di sini, pa? Aku tidak ingin tinggal di sini. Aku ingin tinggal di rumah lama kita. Kenapa kita harus pindah? Aku ingin pulang." Anak itu mulai merengek, meminta sang ayah untuk kembali ke rumah lama mereka di ibukota—Future City.

Lucas menghela napas pelan lalu berjongkok tepat di hadapan putranya. Memang butuh waktu untuk menjelaskan kondisi keluarganya saat ini pada Hendry. Apalagi anak itu sejak lahir memang terbiasa dengan hidup mewah bergelimang harta. Butuh waktu juga untuknya beradaptasi dengan lingkungan baru seperti sekarang ini.

Bukan hanya Hendry, itu juga berlaku untuk Trixie, wanita yang menjadi istrinya.

"Dengar sayang. Papa benar-benar minta maaf, tapi untuk sekarang ini kita tidak bisa kembali ke rumah lama kita," ujarnya lembut.

"Tapi kenapa? Kenapa kita tidak bisa? Bukannya papa punya banyak uang? Lalu kenapa kita tidak bisa kembali ke rumah lama?" Kedua mata anak itu mulai berkaca-kaca. Ia sungguh benci dengan tempat baru. Apalagi mengingat tempat baru yang akan menjadi rumahnya adalah bangunan lusuh tua yang terletak di desa terpencil yang bahkan tidak pernah ia tahu ada di peta negaranya.

"Papa bangkrut dan kita terpaksa harus tinggal di sini untuk memulihkan kondisi keuangan keluarga kita hingga kembali stabil."

"Bangkrut itu apa?" Anak itu menatap kedua orangtuanya dengan raut wajah bingung.

Trixie yang menyadari suaminya kesulitan segera berusaha membantunya membuat putra mereka mengerti. Ia ikut berjongkok disisinya.

"Dengar, sayang. Suatu saat kau akan mengerti arti kata itu, dan suatu saat kau juga akan mengerti kenapa kita harus pindah ke sini," tuturnya lembut.

"Aku tidak mau tahu. Pokoknya aku ingin pulang!"

"Hendry, akan sulit untuk papa bangkit lagi. Apalagi dalam kondisi negara kita yang seperti ini. Yang tengah menghadapi revolusi besar-besaran. Dalam kondisi seperti ini, kita tidak bisa asal bertindak. Karena salah langkah sekali saja, maka kita akan berakhir dalam posisi yang tidak kita inginkan…"

"…Mungkin sekarang kita hanya jatuh miskin dan pindah ke rumah di desa terpencil ini. Tapi kalau papa terus berusaha bertahan di tengah revolusi besar-besaran ini, apalagi dalam kondisi kita yang sudah jatuh, maka kita akan berakhir dengan kondisi yang lebih buruk dari ini. Bisa saja kita berakhir tanpa memiliki tempat tinggal dan mengalami kesulitan bahkan untuk menghidupi diri masing-masing."

Lucas meraih tangan Hendry dan menggenggamnya. "Papa mengambil keputusan ini demi mempertahankan keluarga kita akan tidak jatuh ke posisi yang lebih buruk lagi. Yang bisa kita lakukan sekarang hanya berusaha untuk bertahan."

Anak itu terdiam tanpa kata, ia menatap ayahnya dengan bingung bercampur kecewa karena setiap kalimat Lucas sama sekali tak bisa ia mengerti.

"Kau ingin kembali ke rumah lama kita di ibukota 'kan? Kita bisa kembali ke rumah itu. Tapi kalau kau bisa bertahan di sini sampai papa bisa memulihkan kembali keuangan kita. Setelah itu kita bisa kembali, mengerti?"

Lucas memeluk tubuh putranya dengan Trixie yang ikut berpelukan dengan mereka.

...*...

Future City, Sciencetopia, beberapa tahun kemudian.

2009

Perhatian dua anak laki-laki itu seketika beralih pada suara yang mereka dengar. Keduanya menoleh serentak dan mendapati sosok pria tua berwajah garang yang berdiri diambang pintu dengan pakaian teramat rapi seperti biasanya.

"Kakek!" seru anak laki-laki termuda sambil beranjak dari kursinya dan berlari menghampiri pria itu dengan wajah ceria. Seolah wajah garangnya sama sekali tidak membuatnya takut.

"Isaac, cucu kakek!" Ekspresi tegas pria itu berubah dengan kelembutan. Ia tersenyum sambil memeluk tubuh cucunya.

"Aku senang kakek datang."

"Tentu saja kakek juga senang bisa datang kemari dan menemui mu. Kakek dengar, kau mendapatkan ranking satu di kelas lagi? Anak pintar. Kau memang selalu menjadi cucu kebanggaan kakek!"

"Ya, aku mendapatkan rangking pertama lagi."

"Kau memang hebat, beda sekali dengan kakakmu yang bodoh itu." Gerson Constantine melirik pada anak laki-laki yang sejak tadi hanya diam ditempatnya tanpa berniat menghampirinya. Kepala anak itu dalam posisi tertunduk. "Lihat! Selain bodoh, dia bahkan tidak memiliki sopan santun sepertimu. Kakeknya datang, dia malah diam saja tanpa berniat memberi salam."

Isaac yang mendengar kakaknya direndahkan seperti itu tak bisa tinggal diam. Ia segera berusaha membuat fokus kakeknya beralih pada hal lain.

"Kakek jangan berkata seperti itu! George juga pintar, dia mendapatkan ranking kedua di kelasnya. Selain itu, kakinya sedang sakit dan dokter bilang dia tidak boleh terlalu banyak bergerak. Maka dari itu, mohon kakek mengerti."

"Hanya ranking kedua. Apa bagusnya? Dengan ranking itu, dia bahkan tidak akan bisa menduduki posisi apapun di perusahaan kakek. Kau bilang kakinya sakit? Itu pasti karena dia terlalu nakal dan selalu berbuat ulah seperti biasanya 'kan? Dasar anak nakal!" Pria itu hanya bisa mencibir tanpa pernah memikirkan ucapannya.

"Kakek, berhenti memarahinya seperti itu! Aku tidak suka kakek seperti itu padanya. Bagaimanapun, dia adalah kakakku."

"Baiklah karena kakek tidak ingin merusak mood hari ini. Bagaimana kalau kita pergi keluar saja? Untuk merayakan kerja kerasmu yang sudah berhasil mendapatkan ranking pertama."

"Benarkah? Kalau begitu, ayo pergi!"

"Ayo!"

Isaac menoleh pada George yang sejak tadi duduk di sana.

"George, ayo pergi bersama!" ajaknya.

"Tidak boleh! Dia tidak boleh ikut!"

"Eh? Kenapa kek?"

"Dia tidak perlu ikut, kakek hanya ingin bersamamu saja."

"Tapi—"

"Sudahlah ayo pergi!" potong Gerson sambil menarik tangan Isaac keluar kamar. Anak laki-laki itu berusaha keras untuk menghentikan kakeknya dan memintanya untuk mengajak George. Tapi usahanya benar-benar gagal.

...***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!