Rise 5 - Meja makan

Isaac terdiam dengan wajah melongo begitu melihat kalender yang tergantung di dinding kamarnya menunjukkan tahun dua ribu dua. Tepat dua puluh tahun lalu.

Rasanya seperti mimpi melihat angka itu berderet di kertas kalender di kamarnya.

"Ada apa? Kau masih tidak percaya dengan yang kau lihat?" tanya anak laki-laki yang kini menghampirinya dan berdiri tepat disisinya.

George menatap kalender yang sedang dia pandangi.

Ini… sungguhan?

Jadi ini bukan mimpi?

Aku kembali ke tahun dua ribu dua?

Itu artinya, aku kembali ke masa lalu?

Tapi kenapa aku bisa ada dalam tubuh Isaac?

Anak itu beralih fokus ke sisi lain dimana terdapat lemari berpintu cermin besar yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat mereka berdiri.

Bagaimana bisa aku ada tubuh ini? Rasanya sungguh tidak masuk akal. Tapi ini benar-benar terjadi padaku.

"Apa kau benar-benar tidak ingat denganku?" tanya George yang dalam sekejap kembali menyita perhatian Isaac.

Lagi-lagi ia hanya diam tanpa kata. Menatap George yang tampak mulai jengkel.

George menghela napas pelan. Dengan wajah sedikit kesal ia berkata, "baiklah biar aku ulangi. Namaku George Constantine, dan aku adalah kakakmu, mengerti? Dan kalau kau masih bingung dengan siapa dirimu, kau adalah Isaac Constantine, adikku!"

"Aku mengerti," lirihnya pelan.

"Kau harus mengingatnya, okay?"

"Hm…" Isaac mengangguk pelan.

Entah kenapa, tapi kalau diperhatikan lagi, pak—maksudku George si brengsek ini ternyata dulunya adalah kakak yang baik, ya?

Tapi apa yang membuatnya tumbuh jadi orang berhati dingin seperti itu? Bahkan dia bisa-bisanya sampai membunuh adiknya sendiri, lalu membunuhku setelah menjebakku.

Ah tidak! Aku tidak boleh luluh. Dia adalah orang yang licik.

Bisa saja kebaikannya ini hanya topeng yang dia gunakan. Sama seperti ketika aku di terima di kantor pusat. Dia sangat bersikap baik padaku di awal, tapi yang dia lakukan selanjutnya adalah menyuruhku melakukan tugas-tugas office boy.

Menyebalkan! Aku tidak bisa memaafkan perbuatannya itu. Apalagi setelah ia menjebakku untuk membunuh adiknya sendiri.

...*...

"Jadi apa yang sebenarnya terjadi, dok? Apakah anak kami baik-baik saja?" tanya Donna pada dokter Helio dengan wajah cemas.

"Dari pemeriksaan yang saya lakukan, memang tidak ada luka fisik yang serius. Tapi, kita butuh pemeriksaan lebih lanjut. Besok, kalau bisa saya ingin bertemu dengan tuan Isaac di rumah sakit."

"Kami akan mengantarkannya," jawab Gerald cepat.

"Baik, kalau begitu akan saya buatkan jadwal temu pukul delapan pagi besok."

"Baik, terima kasih, dok."

"Kalau begitu saya permisi."

Helio beranjak dari sana. Berjalan menghampiri mobil yang sejak tadi sudah terparkir di depan rumah mereka dengan sang supir yang telah menunggu di dalam sana.

"Semoga saja hasilnya besok bagus," gumam Donna dengan wajah cemas.

"Semuanya pasti akan baik-baik saja. Isaac adalah anak yang kuat." Gerald berusaha menenangkan istrinya. Ia merangkul pundaknya lalu mengusapnya pelan.

...*...

Isaac terdiam memandangi tangannya yang kini terangkat di udara.

Apakah ini sungguhan? Rasanya masih sulit untuk dipercaya olehku.

Aku benar-benar masih hidup? Tapi bagaimana bisa aku ada dalam tubuh Isaac?

Apakah ini sebenarnya mimpi? Atau justru sebaliknya?

Apa yang aku alami mengenai kematianku adalah mimpi?

Mana yang benar?

Anak laki-laki itu diam seribu bahasa. Berbagai pertanyaan terus bermunculan dalam benaknya. Tapi tak ada satupun di antara pertanyaan itu terjawab.

"Huft~ benar-benar membingungkan," gumam Isaac sambil menghela napas pelan.

"Isaac!" George tiba-tiba saja datang dan mengagetkannya. Membuat anak laki-laki itu spontan bangun dari tempat pembaringannya.

"Ada apa?"

"Ayo makan malam bersama. Papa dan mama sudah menunggu di ruang makan."

"Baiklah." Isaac beranjak dari tempatnya, melangkah keluar kamar dengan George.

Tiba di ruang makan, Donna dan Gerald sudah menunggunya sejak tadi.

George menarik satu kursi lalu duduk di sana. Selesai duduk, anak itu menepuk-nepuk satu kursi kosong lain yang ada di sampingnya.

"Duduk di sini," katanya sambil tersenyum.

Isaac hanya bisa mengikuti permintaannya dan duduk di sana. Begitu mendaratkan bokong di atas kursi, ia langsung bisa melihat makanan enak apa saja yang tersaji dihadapannya.

Glup!

Isaac menelan saliva-nya tanpa sadar. Semua namakan dihadapannya itu tampak sangat lezat, dan sungguh menggugah selera makannya.

Ini semua terlihat sangat lezat. Perutku jadi keroncongan.

Isaac mengusap bibirnya. Nyaris saja air liurnya menetes.

"Kenapa kau hanya menatapnya begitu, apakah kau tidak ingin ikut makan?" Donna membuyarkan lamunannya.

"Aku mau," katanya cepat.

"Biar mama ambilkan, kau ingin apa?" Perempuan itu meraih piring di hadapan Isaac lalu mengambilkannya beberapa hidangan lezat yang ada di atas meja.

Setelah mengambil makanan untuk masing-masing, selanjutnya mereka makan bersama.

Tak ada sepatah kata pun yang terlontar dari bibir masing-masing selama mereka menyantap hidangan makan malam. Hanya suara denting sendok dan garpu yang menghiasi meja makan mereka.

Aku tidak salah. Makanan ini memang sangat lezat. Rasanya aku tidak bisa berhenti mengunyahnya.

Isaac mengunyah makanannya dengan lahap.

"Oh ya, ada yang ingin mama dan papa sampaikan padamu," kata Gerald. Membuat atensi kedua anaknya itu beralih pada sosok ayahnya yang duduk di ujung meja.

"Besok Isaac tidak perlu berangkat ke sekolah."

"Eh? Kenapa begitu?" George menyambar dengan wajah tertegun.

"Papa dan mama akan membawa adikmu ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan," jawab Donna.

"Tapi, bukankah dia sudah diperiksa tadi? Kenapa besok harus di periksa lagi?"

"Dokter bilang adikmu harus di periksa lagi untuk memastikan apakah ada luka serius di dalam tubuhnya atau tidak yang menyebabkan dia tidak bisa ingat apa-apa."

"Huft~ ini semua pasti gara-gara aku, coba saja kalau aku mendengarkan ucapan mama dan papa agar tidak bermain terlalu jauh, mungkin Isaac tidak akan jadi seperti ini." George menundukkan kepalanya dengan wajah tidak enak.

Isaac melirik pada anak laki-laki di sampingnya itu.

Hebat. Aku bahkan tidak bisa membedakan mana ucapannya yang benar dan yang tidak. Sepertinya dia sangat hebat dalam bermain peran. Suatu saat dia akan menjadi aktor yang hebat, pikirnya.

Tapi tunggu. Aku punya ide yang bagus.

Kalau dia melakukan ini hanya untuk mendapatkan pujian, maka ideku ini pasti akan berhasil. Isaac mengangkat sebelah sudut bibirnya membentuk smirk.

"Kau tidak perlu merasa bersalah. Ini semua adalah salahku karena bermain terlalu bersemangat sampai-sampai aku terluka," gumam Isaac pelan.

Air muka George seketika berubah kaget. Ia menoleh padanya cepat.

"Jangan terus menyalahkan dirimu sendiri, itu membuatku kurang nyaman." Isaac melirik George.

...***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!