NovelToon NovelToon

Rise Again As A Rich Man

Rise 1 - Rumah baru

Isotown City, Sciencetopia.

2002

Mobil yang mereka tumpangi itu berhenti tepat di depan sebuah rumah tua yang tampak cukup besar. Walaupun terlihat besar, tapi letaknya cukup jauh berada di sebuah desa terpencil di sisi barat bagian Sciencetopia.

Sisi yang terkenal akan tempat pembuangan bagi orang-orang yang tak memiliki arti dan nilai bagi orang-orang kalangan kelas atas. Atau lebih tepat di sebut sebagai tempat bagi rakyat miskin yang terasingkan dari negara mereka sendiri.

Beberapa orang melangkah keluar dari dalam mobil yang mereka tumpangi.

Dua orang dewasa berdiri dengan seorang anak laki-laki berusia lima tahun. Fokus pandangan mereka tertuju pada bangunan tua yang tak lain selanjutnya akan menjadi rumah mereka.

"Nah, ini adalah rumah baru kita. Apakah kau menyukainya, sayang?" Lucas Hamilton menatap putranya yang diam seribu bahasa.

Ada raut wajah kecewa yang tampak dari ekspresi anak laki-laki yang menjadi putra semata wayangnya itu.

"Kenapa kita harus tinggal di sini, pa? Aku tidak ingin tinggal di sini. Aku ingin tinggal di rumah lama kita. Kenapa kita harus pindah? Aku ingin pulang." Anak itu mulai merengek, meminta sang ayah untuk kembali ke rumah lama mereka di ibukota—Future City.

Lucas menghela napas pelan lalu berjongkok tepat di hadapan putranya. Memang butuh waktu untuk menjelaskan kondisi keluarganya saat ini pada Hendry. Apalagi anak itu sejak lahir memang terbiasa dengan hidup mewah bergelimang harta. Butuh waktu juga untuknya beradaptasi dengan lingkungan baru seperti sekarang ini.

Bukan hanya Hendry, itu juga berlaku untuk Trixie, wanita yang menjadi istrinya.

"Dengar sayang. Papa benar-benar minta maaf, tapi untuk sekarang ini kita tidak bisa kembali ke rumah lama kita," ujarnya lembut.

"Tapi kenapa? Kenapa kita tidak bisa? Bukannya papa punya banyak uang? Lalu kenapa kita tidak bisa kembali ke rumah lama?" Kedua mata anak itu mulai berkaca-kaca. Ia sungguh benci dengan tempat baru. Apalagi mengingat tempat baru yang akan menjadi rumahnya adalah bangunan lusuh tua yang terletak di desa terpencil yang bahkan tidak pernah ia tahu ada di peta negaranya.

"Papa bangkrut dan kita terpaksa harus tinggal di sini untuk memulihkan kondisi keuangan keluarga kita hingga kembali stabil."

"Bangkrut itu apa?" Anak itu menatap kedua orangtuanya dengan raut wajah bingung.

Trixie yang menyadari suaminya kesulitan segera berusaha membantunya membuat putra mereka mengerti. Ia ikut berjongkok disisinya.

"Dengar, sayang. Suatu saat kau akan mengerti arti kata itu, dan suatu saat kau juga akan mengerti kenapa kita harus pindah ke sini," tuturnya lembut.

"Aku tidak mau tahu. Pokoknya aku ingin pulang!"

"Hendry, akan sulit untuk papa bangkit lagi. Apalagi dalam kondisi negara kita yang seperti ini. Yang tengah menghadapi revolusi besar-besaran. Dalam kondisi seperti ini, kita tidak bisa asal bertindak. Karena salah langkah sekali saja, maka kita akan berakhir dalam posisi yang tidak kita inginkan…"

"…Mungkin sekarang kita hanya jatuh miskin dan pindah ke rumah di desa terpencil ini. Tapi kalau papa terus berusaha bertahan di tengah revolusi besar-besaran ini, apalagi dalam kondisi kita yang sudah jatuh, maka kita akan berakhir dengan kondisi yang lebih buruk dari ini. Bisa saja kita berakhir tanpa memiliki tempat tinggal dan mengalami kesulitan bahkan untuk menghidupi diri masing-masing."

Lucas meraih tangan Hendry dan menggenggamnya. "Papa mengambil keputusan ini demi mempertahankan keluarga kita akan tidak jatuh ke posisi yang lebih buruk lagi. Yang bisa kita lakukan sekarang hanya berusaha untuk bertahan."

Anak itu terdiam tanpa kata, ia menatap ayahnya dengan bingung bercampur kecewa karena setiap kalimat Lucas sama sekali tak bisa ia mengerti.

"Kau ingin kembali ke rumah lama kita di ibukota 'kan? Kita bisa kembali ke rumah itu. Tapi kalau kau bisa bertahan di sini sampai papa bisa memulihkan kembali keuangan kita. Setelah itu kita bisa kembali, mengerti?"

Lucas memeluk tubuh putranya dengan Trixie yang ikut berpelukan dengan mereka.

...*...

Future City, Sciencetopia, beberapa tahun kemudian.

2009

Perhatian dua anak laki-laki itu seketika beralih pada suara yang mereka dengar. Keduanya menoleh serentak dan mendapati sosok pria tua berwajah garang yang berdiri diambang pintu dengan pakaian teramat rapi seperti biasanya.

"Kakek!" seru anak laki-laki termuda sambil beranjak dari kursinya dan berlari menghampiri pria itu dengan wajah ceria. Seolah wajah garangnya sama sekali tidak membuatnya takut.

"Isaac, cucu kakek!" Ekspresi tegas pria itu berubah dengan kelembutan. Ia tersenyum sambil memeluk tubuh cucunya.

"Aku senang kakek datang."

"Tentu saja kakek juga senang bisa datang kemari dan menemui mu. Kakek dengar, kau mendapatkan ranking satu di kelas lagi? Anak pintar. Kau memang selalu menjadi cucu kebanggaan kakek!"

"Ya, aku mendapatkan rangking pertama lagi."

"Kau memang hebat, beda sekali dengan kakakmu yang bodoh itu." Gerson Constantine melirik pada anak laki-laki yang sejak tadi hanya diam ditempatnya tanpa berniat menghampirinya. Kepala anak itu dalam posisi tertunduk. "Lihat! Selain bodoh, dia bahkan tidak memiliki sopan santun sepertimu. Kakeknya datang, dia malah diam saja tanpa berniat memberi salam."

Isaac yang mendengar kakaknya direndahkan seperti itu tak bisa tinggal diam. Ia segera berusaha membuat fokus kakeknya beralih pada hal lain.

"Kakek jangan berkata seperti itu! George juga pintar, dia mendapatkan ranking kedua di kelasnya. Selain itu, kakinya sedang sakit dan dokter bilang dia tidak boleh terlalu banyak bergerak. Maka dari itu, mohon kakek mengerti."

"Hanya ranking kedua. Apa bagusnya? Dengan ranking itu, dia bahkan tidak akan bisa menduduki posisi apapun di perusahaan kakek. Kau bilang kakinya sakit? Itu pasti karena dia terlalu nakal dan selalu berbuat ulah seperti biasanya 'kan? Dasar anak nakal!" Pria itu hanya bisa mencibir tanpa pernah memikirkan ucapannya.

"Kakek, berhenti memarahinya seperti itu! Aku tidak suka kakek seperti itu padanya. Bagaimanapun, dia adalah kakakku."

"Baiklah karena kakek tidak ingin merusak mood hari ini. Bagaimana kalau kita pergi keluar saja? Untuk merayakan kerja kerasmu yang sudah berhasil mendapatkan ranking pertama."

"Benarkah? Kalau begitu, ayo pergi!"

"Ayo!"

Isaac menoleh pada George yang sejak tadi duduk di sana.

"George, ayo pergi bersama!" ajaknya.

"Tidak boleh! Dia tidak boleh ikut!"

"Eh? Kenapa kek?"

"Dia tidak perlu ikut, kakek hanya ingin bersamamu saja."

"Tapi—"

"Sudahlah ayo pergi!" potong Gerson sambil menarik tangan Isaac keluar kamar. Anak laki-laki itu berusaha keras untuk menghentikan kakeknya dan memintanya untuk mengajak George. Tapi usahanya benar-benar gagal.

...***...

Rise 2 - Perusahaan impian

Anak itu mendorong pintu ruang kerja ayahnya perlahan. Niatnya yang hendak menemui kedua orangtuanya seketika ia urungkan begitu secara tak sengaja melihat kedua orangtuanya terduduk di sofa sambil berbincang dengan suara pelan.

"Maaf karena sudah membawamu sejauh ini. Coba saja kalau dulu aku mendengarkan ucapan kedua orangtuamu ketika aku jatuh bangkrut. Mungkin kau dan Hendry tidak akan mengalami kesulitan ini kalau kita bercerai." Lucas menatap sendu Trixie dihadapannya.

"Jangan bicara seperti itu! Aku tidak menyukainya. Bagaimanapun, aku yang sudah membuat keputusan untuk ikut denganmu. Lagipula, aku menyukaimu bukan karena harta yang kau miliki. Tapi karena aku mencintaimu apa adanya. Jadi mau kau kaya atau miskin, itu tak masalah bagiku selama kau selalu ada disisiku dan Hendry."

"Terima kasih karena kau sudah mau menerimaku yang serba kekurangan ini dengan apa adanya."

"Aku justru yang seharusnya berterima kasih padamu karena kau selalu berjuang untuk keluarga kecil kita." Trixie memeluk suaminya.

"Aku sudah berjuang keras. Tapi sampai saat ini, aku tidak berhasil untuk mengembalikan kondisi keuangan kita. Harapan kita satu-satunya sekarang hanyalah Hendry. Kalau dia bisa terus mendapatkan prestasi di sekolahnya, maka dia akan bisa membantu keadaan kita, dan mengubah keadaan menjadi lebih baik. Tapi aku tidak ingin terlalu memaksanya. Sekarang mungkin sudah saatnya kita untuk lebih fokus pada hal lain dan berhenti mengejar apa yang mungkin tidak akan pernah kita dapatkan lagi. Maafkan aku sayang…"

"Kau tidak perlu meminta maaf. Bagiku selama kita tetap bersama, tak peduli bagaimanapun situasinya sudah lebih dari cukup."

Hendry diam tanpa kata. Ia barusan mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh ayahnya.

Akan sulit untuk memulihkan keadaan kita seperti dulu? Dan satu-satunya harapan mereka adalah aku?

Anak laki-laki itu terdiam. Pandangannya tertuju pada kertas berisi laporan nilai belajarnya selama setahun terakhir.

Jika dengan prestasi aku bisa mengembalikan keluargaku seperti semula, maka aku akan terus berusaha untuk menjadi nomor satu.

...*...

Enam tahun kemudian.

2015

Pria itu berlari dengan wajah girang dengan secarik kertas ditangannya berisi hasil laporan dari tes yang diikutinya untuk masuk universitas.

Ia segera berlari masuk ke dalam ruang kerja ayahnya dimana Lucas dan Trixie berada.

"Pa! Ma! Lihat ini!" serunya sambil membuka pintu. Membuat keduanya terkejut dan spontan menoleh ke arah datangnya suara.

"Kau membuat kami kaget saja! Ada apa?"

Hendry berlari menghampiri ibunya dan duduk di samping wanita itu. "Aku di terima di Future University!" katanya dengan wajah girang.

"Apa?"

"Benarkah?"

Trixie meraih kertas tersebut. Lucas pun bergegas beranjak dari kursinya guna melihat kertas itu.

"Hebat! Kau mendapatkan nilai yang sempurna."

"Tentu saja, ini adalah hasil dari kerja kerasku selama ini. Tidak sia-sia aku belajar sampai larut malam setiap hari haha…"

"Papa bangga padamu."

"Mama juga bangga padamu. Sulit dipercaya rasanya kau bisa mendapatkan nilai sempurna seperti ini."

"Kalau aku di terima di Future University, itu artinya kita akan pindah lagi ke ibukota 'kan? Aku sudah tidak sabar untuk tinggal di ibukota lagi." Hendry tersenyum senang.

"Hm, mengenai itu…" Lucas bergumam pelan membuat mimik wajah Hendry seketika berubah.

"Ada apa dengan itu?"

"Sepertinya mama dan papa tidak bisa ikut denganmu," kata Trixie.

"Apa? Kenapa?"

"Pekerjaan mama dan papa di sini sekarang mulai berjalan lebih maju lagi, dan kalau kami pergi denganmu, itu artinya usaha kami selama ini sia-sia. Maka dari itu, mama dan papa harus tinggal di sini untuk mengelola itu semua."

"Benar apa yang mama bilang. Maka dari itu, kau bisa tinggal sendiri 'kan?"

"Tapi… aku tidak mungkin pergi tanpa kalian. Aku ingin tinggal dengan kalian," katanya dengan wajah murung. Rasanya sulit dipercaya karena kedua orangtuanya tiba-tiba saja menolak untuk kembali bersamanya tinggal di ibukota.

"Mama dan papa minta maaf mengenai hal ini. Tapi mama pikir, mungkin sudah saatnya kau berusaha untuk hidup mandiri. Dengan kau tinggal terpisah dengan kami, kau akan bisa belajar lebih dewasa lagi."

"Kalau kalian tidak ikut, aku juga tidak akan pergi saja." Hendry menjatuhkan dirinya di sofa yang ada. Duduk terhenyak dengan wajah cemberut. Ia benar-benar kecewa

"Jangan seperti itu. Kau sudah berusaha keras agar bisa mendapatkan nilai tinggi di setiap mata pelajaran guna memenuhi kriteria masuk ke universitas yang kau inginkan. Jangan membuat semuanya sia-sia hanya karena kami," ucap Lucas.

"Tapi tanpa kalian…"

"Begini saja, biarkan papa dan mama tinggal di sini sedikit lebih lama lagi. Setidaknya sampai keuangan keluarga kita benar-benar stabil. Setelah itu, kami akan menyusul mu ke ibukota. Bagaimana?" potongnya cepat, memberikan solusi sebelum putranya semakin menolak untuk mengambil beasiswa yang dia dapatkan.

"Ide bagus. Mama setuju dengan ide papa. Bagaimana menurutmu?" Trixie menimpali. Putra semata wayangnya itu tampak diam sejenak, menimbang-nimbang ucapan ayahnya sebelum akhirnya berkata, "baiklah." Disertai helaan napas pelan.

...*...

Waktu terus berlalu. Semenjak di terima di Future University, Hendry lantas pergi ke ibukota dan tinggal di sana guna menuntut ilmu. Beberapa tahun berikutnya, Lucas dan Trixie ikut menyusul putra mereka dengan menyandang gelar sebagai pengusaha baru yang bergerak dalam pangan. Mereka mendistribusikan gandum dan sayur sebagai usaha baru mereka.

Namun kepindahan mereka ke ibukota tentunya bukanlah hal yang baik. Karena setelah itu, usaha mereka tidak terlalu banyak mengalami perubahan akibat persaingan di ibukota yang terlampau ketat.

Cukup sulit bagi mereka untuk bersaing di tengah banyaknya perusahaan besar yang menjadi pesaing mereka. Berulangkali usaha mereka nyaris bangkrut, tapi Lucas yang sudah memiliki pengalaman lebih, berhasil mengatasi itu semua.

Setelah melewati berbagai musim, dan kisah panjang serta lika-liku kehidupan kampus, Hendry akhirnya lulus sebagai salah satu sarjana dengan nilai terbaik di universitas nya.

Begitu lulus dari Future University, Hendry memutuskan untuk langsung turun ke dunia kerja. Ia memasukkan beberapa lamaran ke beberapa perusahaan ternama yang di kenal dengan reputasi baiknya.

Tapi dari semua lamaran yang dia kirimkan, ia paling berharap pada satu perusahaan yang selama ini digadang-gadang menjadi tempat kerja impian di seluruh dunia.

Demi Corp. Perusahaan besar yang bergerak dalam berbagai bidang mulai dari pangan, pakaian, elektronik, properti, hiburan, dan beberapa usaha lain yang bahkan setiap bidangnya telah memiliki lebih dari belasan anak cabang yang tersebar di seluruh penjuru negeri.

Hal yang tak pernah ia duga sebelumnya, Hendry benar-benar di terima di perusahaan yang ia impikan itu.

"Sulit dipercaya!"

...***...

Rise 3 - Jebakan

Demi Corp, Future City, Sciencetopia, satu tahun kemudian.

2022

Pria itu melangkah menyusuri koridor dengan wajah berseri. Pakaiannya tampak sangat amat rapi, terlihat jelas bahwa dirinya siap untuk menghadapi apapun yang akan terjadi hari ini.

Sepanjang jalan, ia bertemu dengan beberapa rekannya. Beberapa di antara mereka menyapanya sambil tersenyum. Hendry hanya bisa membalas mereka dengan ramah seperti biasanya.

Ia terus melangkah hingga akhirnya tiba di divisinya. Di sana seperti biasanya telah ada dua orang rekan kerjanya yang telah sibuk mempersiapkan berkas guna meeting yang akan mereka hadiri pagi ini sebagai perwakilan dari divisi mereka. Selain mereka, sisanya belum ada yang datang selain dirinya.

"Selamat pagi," sapanya. Membuat atensi mereka beralih padanya.

"Pagi, pak!" sapa Aurora sambil tersenyum padanya.

"Anda terlihat berseri-seri hari ini, apakah karena anda tahu akan dipromosikan?" Mosha menggodanya.

"Apakah terlihat dengan jelas?"

"Tentu saja. Anda terlihat lebih bersinar dari biasanya."

"Haha, terima kasih. Tapi aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan kegembiraanku ini, setelah setahun bekerja di sini, akhirnya aku bisa dipromosikan untuk bekerja di kantor pusat. Sungguh sesuatu yang terjadi diluar dugaanku."

"Saya juga tidak menyangka bapak akan dipromosikan secepat ini. Saya salut dan merasa bangga menjadi rekan kerja bapak." Aurora ikut senang. Mosha mengangguk membenarkan kalimat wanita itu.

"Kalau bapak sudah menjadi bagian dari orang-orang penting di kantor pusat, jangan melupakan kami. Saya tidak ingin hubungan kita sampai renggang hanya karena bapak sudah bekerja di kantor pusat," pesan Mosha.

"Jangan lupakan saya juga."

"Aku tidak akan melupakan kalian semua. Karena bagaimanapun, kalian adalah orang yang telah menemaniku hingga berada di titik sekarang ini."

...*...

"Berita apa yang kau bawa?"

"Saya dengar akan ada pegawai baru yang bergabung dengan kantor pusat, dan dia akan ditempatkan di bawah pemerintahan anda, pak."

"Kau sudah cek latar belakangnya?"

"Sudah. Dari informasi yang saya dapat, dia adalah salah satu anak yang berhasil masuk Future University dan mendapat peringkat pertama di angkatannya."

"Apa? Bagaimana dengan latar belakang keluarganya?"

"Keluarganya dulu adalah seorang pengusaha yang cukup sukses di Future City, tapi pada masa revolusi kedua, posisinya dari dunia bisnis terdepak hingga mengharuskannya pindah ke Isotown City, di bagian barat Sciencetopia."

Pria itu mengepalkan tangannya erat. Emosinya langsung bergolak begitu mendengar setiap informasi yang didapatkannya.

"Siapa yang sudah merekomendasikan dia untuk berada dalam pengawasanku."

"Adik anda pak, pak Isaac."

Dia semakin berani mengejekku secara terang-terangan. Bahkan dia merekomendasikan orang-orang rendahan seperti mereka untuk berada di bawah pengawasanku. Dia, mencoba membuat kakek terus terkesan padanya hingga hari pemilihan tiba.

Aku tidak bisa membiarkan ini. Aku tidak akan tinggal diam.

Aku harus merebut posisi yang seharusnya menjadi milikku.

...*...

Tadinya kupikir akan menyenangkan bekerja di kantor pusat. Tapi ternyata benar-benar jauh berbeda dari yang aku bayangkan.

Hendry menghela napas pelan, pria itu duduk di salah satu kursi yang ada. Sedang beristirahat setelah menyelesaikan pekerjaan yang ia dapatkan dari atasannya.

Sejak kedatangannya di kantor pusat, Hendry benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan perlakukan seperti ini.

Tugasnya benar-benar jauh berbeda dari yang ia bayangkan. Begitu tiba, ia langsung diminta untuk membantu para office boy, dan melakukan berbagai pekerjaan yang sama seperti mereka. Setelah melakukan protes berulang kali, mereka bilang itu hanya bagian dari pelatihan awal sebelum masuk ke pekerjaan utamanya.

Sudah lebih dari tiga bulan dirinya di sana, dan masih belum ada titik terang sama sekali kalau mereka akan benar-benar menempatkan Hendry di posisi yang telah dijanjikan.

Aku benar-benar merasa telah di tipu, batinnya sambil meremas botol minuman dalam genggamannya.

"Hendry! Bisakah kau ikut denganku? Pak direktur ingin bertemu denganmu," kata Gerry. Pria yang tak lain adalah sekretaris atasannya.

"Benarkah? Tentu, ayo pergi." Wajah pria itu berubah sumringah. Ia segera berjalan mengikutinya dari arah belakang.

...*...

Sepertinya ini adalah tempat latihan tembak jitu, pikirnya sambil terus melangkah. Tak ada banyak orang yang ditemuinya, bahkan nyaris tidak ada sama sekali selain dirinya dan Gerry yang terus melangkah hingga akhirnya melihat pria yang katanya ingin bertemu dengannya.

"Akhirnya kau datang." George tersenyum melihatnya. Pria itu langsung memintanya untuk mendekat lalu menyodorkan sebuah pistol padanya.

"Apa ini pak?"

"Tugasmu adalah menembak sasaran itu." George menunjuk seorang pria dalam keadaan terikat. Kepalanya ditutupi dengan sebuah kain hitam.

"Tapi…"

"Tidak perlu takut, ini hanya pistol palsu. Jadi dia tidak akan terluka. Anggap saja ini sebagai ujian terakhirmu. Setelah itu kau akan mendapatkan jabatan yang kau inginkan."

"Baiklah, akan saya lakukan," lirihnya dengan ragu.

Hendry mengangkat pistol ditangannya, menodongkan benda itu ke arah target yang harus ditembaknya.

"Cukup tembak tiga sampai lima kali, tidak perlu sampai isi pelurunya habis, mengerti?" George menjelaskan. Hendry hanya mengangguk lalu dengan ragu ia menekan pelatuk pada pistolnya.

Dorr! Dorr! Dorr!

Tiga tembakan beruntun, dan ketiganya tepat mengenai tubuh pria itu. Diluar dugaan, ada bercak merah yang keluar setelah pelurunya mengenai sasaran.

Hendry spontan menghentikan aksinya. Dengan tubuh gemetar, ia menoleh pada George yang berdiri di sana. Menyaksikan apa yang baru saja ia lakukan.

"Oh astaga, ini buruk. Sepertinya aku memberikan pistol yang salah padamu."

"A-apa?" Wajah pria itu seketika berubah pucat pasi. Ia menoleh pada sasaran yang dilihatnya.

Tanpa pikir panjang, Hendry melemparkan pistol ditangannya dan berlari menuju arah pria yang terikat dalam kondisi tubuh bersimbah darah. Pria yang baru saja dibunuhnya.

"T-tidak! Tidak mungkin." Hendry dengan gemetar segera melepaskan penutup kepalanya. Wajahnya kian pucat begitu melihat siapa yang baru saja dibunuhnya.

"P-pak Isaac…"

Brukk!

Tubuhnya jatuh di rerumputan. Kedua mata Hendry seketika berkaca-kaca. Ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang telah dilakukannya.

"Isaac!!" Seorang pria mendadak berteriak dari kejauhan.

"Keparat! Apa yang sudah kau lakukan!" Hendry tersentak begitu suara Gerson di dengarnya. Saat menoleh, pria itu sudah tiba dihadapannya dengan wajah murka. Kedatangannya sama sekali tak disadarinya.

"Berani sekali kau melakukan ini pada cucuku! Kau harus mati! Akan ku bunuh kau!" teriaknya sambil menarik paksa pistol di pinggang salah satu anak buahnya.

George dengan cepat menahannya. "Biar aku yang lakukan, kek. Biarkan aku yang membalaskan dendam atas kematian adikku," katanya cepat sambil menarik pistol ditangannya.

George melangkah menghampiri Hendry. Beradu tatap dengan pria itu dalam waktu yang lama.

Apa ini? Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?

Aku dijebak?

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!