“Coba kamu ngomong baik-baik sama Bassta,” kata Nayla mencoba memberikan usul, usul yang bagi Larisa sama saja dengan bunuh diri.
“Aku nggak bisa menuntut Bassta begini begitu.” Larisa menunduk sedih.
Nayla langsung memegang kedua bahu sahabatnya itu erat.
“Dia berani menikahi kamu berarti dia tahu kalau dia harus bertanggung-jawab atas kehidupan kamu secara penuh, Larisa.”
Nayla berbicara dengan penuh penekanan, Larisa menggeleng, melepaskan tangan Nayla.
“Aku cukup sadar diri dan aku nggak mau memancing amarah Bassta. Aku pusing kena marah terus tiap hari, perkara telat bangunin dia tidur aja jadi ribet,” ucap Larisa, suaranya serak di ujung.
Nayla mengernyit, menatap baik-baik, Larisa hampir menangis.
“Apa yang Bassta perbuat sama kamu? Dia main tangan?” selidik Nayla.
Larisa membantah dengan menggeleng kepala.
“Kamu juga udah tahu kalau Bassta banyak berubah setelah menikah. Apa yang aku lakuin salah terus, ini salah, itu salah. Dia bawaannya emosi terus kalau ngelihat aku, dia nikahin aku terpaksa, karena salah paham. Kamu kira aku berani buat nuntut dia supaya jadi suami yang baik?”
Larisa tercekat, suaranya berubah parau, disusul dengan buliran bening jatuh mengaliri pipi cabiknya.
“Dia menikahi aku karena takut aku lagi-lagi nekat mau bunuh diri. Bukan karena dia mau bertanggung jawab, Nay.” Suara Larisa berat.
Nayla tersengal mendengarnya, hanya pelukan yang sekarang bisa dia berikan pada sahabatnya itu. Keduanya menangis di dalam toilet. Meninggalkan Nenden sendirian.
“Udah, cukup nangisnya...” Kalimat Nayla menggantung karena ada yang masuk. Mereka menatap dan Nayla menarik Larisa ke sudut dinding.
“Aku capek, Nay. Sumpah aku capek ngadepin sikap Bassta, dia itu kerjaannya marah-marah, teriak-teriak, maki-maki. Apa aku pergi aja, Nay?”
Nayla langsung menggeleng keras.
“Kamu mau pergi ke mana? Jangan aneh-aneh, kamu lagi hamil dan orang hamil itu gampang stres, itu harus kamu waspadai. Dan jangan gegabah mengambil keputusan, aku yakin nanti Bassta bakalan berubah. Dia baik hanya saja keadaan yang bikin dia kayak begitu.” Nayla berusaha menguatkan, kemudian melanjutkan. “Bassta juga menghadapi situasi yang nggak mudah. Pasti akan ada masanya kalian bisa berhubungan dengan baik-baik, sabar dulu jangan buru-buru mengambil keputusan. Pikirin bayi kamu.” Nayla menyentuh perut besar Larisa.
Tangis Larisa semakin pecah, ikut menyentuh perutnya. Entah berapa kali ia sudah menangis hari ini, setiap hari, selalu seperti itu.
Senyap, Nayla tidak berbicara lagi karena Larisa terus menangis.
Yang diperlukan Larisa adalah pelukan sekarang, Nayla memberikannya sembari menahan tangis, takut terlalu terbawa suasana.
Setelah Larisa tenang, Nayla mengajaknya pergi. Kini, keduanya berjalan bersama dengan santai untuk kembali pada Nenden.
“Nay.” Tiba-tiba Larisa memanggil dan Nayla menoleh.
“Kenapa?” Nayla menatap jeli.
“Gimana kabar keluarga aku?” tanya Larisa serak. “Ayah aku sehat, kan? Ibu, Mas Ganta dan Nurani. Gimana kabar mereka semua?”
Nayla mengangguk-angguk pelan lalu menjawab, “Semuanya baik. Ayah kamu sudah baikkan, mas Ganta sudah bekerja, dan Nurani menjalani aktivitasnya seperti biasa.”
Larisa tersenyum, ia merasa lega.
Sementara Nayla, ia langsung menunduk karena teringat dengan makian yang dilontarkan ibunya waktu itu.
“Ya udah ayo,” ajak Larisa untuk kembali melanjutkan perjalanan dan Nayla mengangguk kikuk.
***
Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, Bassta tak kunjung pulang dan membuat Larisa cemas. Larisa sempat ingin menelepon Sultan, tetapi saat ia ingat bagaimana perangai pria itu, ia langsung menangguhkan niatnya.
“Kamu ke mana, sih, Bass?” gemas Larisa sambil terus mondar-mandir dan sesekali menatap pintu.
Larisa menoleh saat Asih datang, untuk ke sekian kalinya.
“Tidur, Mbak. Biar Bibi yang ngurus mas Bassta nanti, mungkin pulangnya masih lama. Wanita hamil harus banyak istirahat.”
Asih menatap jeri, sementara Larisa menggeleng kepala sambil tersenyum manis.
“Bibi aja yang istirahat. Pekerjaan Bibi kan banyak pasti capek.”
Asih menggeleng, tak sepakat tapi Larisa terus mendesak sembari mendorong lemah kedua bahu wanita paruh baya itu agar lekas ke kamarnya.
Asih sempat menoleh, tak tega tapi ia juga terus menguap, tak kuasa lagi menahan rasa kantuknya.
Waktu berlalu, pukul satu dini hari akhirnya Bassta pulang.
Larisa yang sedang membaca sebuah buku novel untuk menghilangkan rasa jenuh terperanjat melihat kondisi Bassta.
Rambut yang biasanya tersisir rapi itu begitu berantakan, juga dengan kemeja dan dasinya sudah terkulai menggantung di bahu kirinya yang loyo. Wajah Bassta merah, bibirnya terus berbicara tidak jelas, ia mabuk dan pemandangan tersebut sudah biasa bagi Larisa setelah ia tinggal bersama pria itu sejak dua bulan lalu.
“Mabuk lagi....dan kamu nyetir sendiri? Kalau kamu kenapa-kenapa gimana? Aku udah bilang alkohol itu nggak baik, Bass.” Laila berbicara sembari menarik tangan kanan Bassta, dia gantungkan di bahu kecilnya.
Berat, keduanya sama-sama sempoyongan.
“Minggir!” jerit Bassta saat menoleh dan tak sengaja bersitatap dengan Larisa.
Larisa mengernyit saat mencium aroma dari mulut suaminya itu.
“Kamu nggak bisa jalan sendiri, Bass.” Laila bersikeras dan Bassta terus menepis tangannya.
“Biar saya saja, Larisa.” Seru seorang pria yang tak lain adalah Hanung. Larisa sedikit kaget dan akhirnya ia menjauh, sadar diri tak kuasa menopang berat tubuh Bassta yang tinggi besar itu.
Larisa diam, memerhatikan kedua pria di hadapannya. Bassta sudah duduk sekarang, bersandar lemah kemudian Hanung melayangkan tatapan pada Larisa.
“Mas Hanung, terima kasih karena udah mau nganterin Bassta.” Larisa terlihat gugup.
“Nggak masalah. Temannya Bassta yang nelepon saya tadi.” Hanung tersenyum tipis dan Larisa membalasnya.
Tak lama Larisa undur diri untuk membuatkan minuman, sementara Hanung memapah Bassta ke lantai dua, ke kamarnya. Larisa tidak akan sanggup mengurus Bassta dalam keadaan seperti itu, dan Hanung tidak mau Larisa mendapatkan kesulitan.
Sesampainya di kamar Bassta, Hanung mengerutkan kening ketika melihat hanya ada satu buah bantal dan bantal guling di atas kasur. Batinnya menyeruak penuh tanya, apakah Larisa dan Bassta tidak tidur satu kamar?
“Mas,” tegur Larisa pelan, membuat lamunan Hanung seketika ambyar.
Pria itu menoleh, bersitatap dengan Larisa kemudian Larisa memberikan segelas teh manis hangat dan Hanung menerimanya dengan senang hati.
“Jadi bikin repot Mas Hanung,” kata Larisa sambil menatapi Bassta di tempat tidurnya.
“Nggak masalah, biarin dia istirahat.”
Larisa mengangguk, perlahan ia selimuti tubuh suaminya kemudian meninggalkan kamar bersama Hanung.
“Mas Hanung kalau mau menginap biar aku siapin kamar tamu, ya. Ini juga udah malam,” kata Larisa lemah lembut.
Hanung menggeleng, menolak.
“Saya harus pulang. Ibu saya pasti nungguin di rumah.”
“Oh,” singkat Larisa kemudian menganggukkan kepala. “Tapi habisin dulu, ya, Mas minumannya.”
Hanung mengangguk, tersenyum.
Keduanya turun ke lantai satu, Larisa tidak mungkin meninggalkan Hanung begitu saja. Ia harus menunggu sampai pria itu benar-benar pergi meninggalkan rumah.
Sebetulnya Hanung sangat ingin bertanya perihal apa yang dia lihat tadi. Terasa aneh tetapi juga ia merasa tidak sopan jika lancang mengemukakan tanya perihal tempat tidur.
Setelah teh manisnya habis, Hanung akhirnya pamit pulang. Ia dan Larisa hanya saling diam, tidak mengobrol karena sama-sama gugup.
Setelah itu, Larisa kembali ke kamar Bassta. Ia duduk di tepi tempat tidur dan memerhatikan wajah letih suaminya.
“Kapan kamu berhenti, Bass? Kenapa kamu jadi begini, sih?” ucap Larisa serak, merasa dirinyalah penyebab Bassta seperti itu. “Jangan begini terus, aku khawatir—“ Larisa tercekat, air matanya luruh sementara pria yang dia tangisi sibuk dengan tidurnya.
“Maafin aku, ya, Bass. Maaf...”
“Aku benalu, aku beban buat hidup kamu.”
Larisa terus menangis terisak, namun tendangan halus yang ia rasakan di perutnya membuatnya seketika terdiam. Wajahnya tampak kaget, ia langsung menyentuh perutnya. Tendangan dari bayi di dalam sana semakin terasa, semakin sering dan Larisa sekarang tersenyum sembari terus mengelus perutnya.
Semakin lama Larisa berdiam diri di kamar Bassta, rasa kantuk juga menjalar menghinggapinya. Tubuh Larisa perlahan rebah, di sebelah Bassta yang terus mendengkur. Larisa terus menatap Bassta, berat, matanya semakin berat sampai akhirnya ia hanyut dalam buaian mimpi.
Pertama kalinya, keduanya tidur di atas alas yang sama. Entah ini adalah permulaan yang baik atau akan menjadi pemicu masalah baru.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
🔥⃞⃟ˢᶠᶻ🦂⃟ᴘɪᷤᴘᷤɪᷫᴛR⃟️𝕸y💞hiat
sepertimya akan memicu masalah baru
2023-01-16
0
k⃟K⃠ B⃟ƈ ɳυɾ 👏🥀⃞༄𝑓𝑠𝑝⍟𝓜§
udah si Larissa kamu pergi ajah 😓😓😓😓😓
emang berat masalah yang kamu hadapi , tapi jngan putus asa begitu doank bangkit tunjukan kamu bisa 💪💪💪💪💪
siapa si lelaki berengsek yang udah bikin hidup kamu hancur 🤔🤔🤔🤔
2022-12-26
1
¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻
Bassta pasti mumet mikirin gimana klo Jema balik? gimana dg Larisa? gimana kabar ibunya? beban pikiran yg terlalu berat akhirnya alkohol sebagai pelampiasan... gimana tuh klo bgitu bangun ada Larisa di ranjangnya...apa dia akan murka atau malah terpesona?
2022-12-24
0