Cinta Mas Sepupu

Cinta Mas Sepupu

Larisa Bassta

“Jadi cewek jangan keluyuran nanti hamil duluan. Bukan cuman kamu yang nanggung beban malunya tapi orang tua!”

Teriak Seruni, ibu dari Nayla. Ia sengaja berbicara dengan keras untuk menyindir tetangganya yaitu Fitria yang sedang mengatur ulang letak pot bunga di halaman rumahnya.

Fitria bungkam, hanya bisa mengelus dada.

Nayla yang tak tega melihat wajah sedih ibu sahabatnya itu pun langsung melontarkan peringatan, “Bu, cukup! Nggak baik Ibu ngomong kayak begitu. Itu urusan mereka, kita nggak berhak menghakimi.”

Nayla berbicara dengan suara lemah.

Seruni mendelik sebal dan bersuara keras lagi, “Belain terus! Kamu sama Larisa  sahabatan dan mulai sekarang Ibu nggak mau itu berlanjut! Nanti kamu ketularan nakal kayak si Larisa.”

Seruni melotot, mencubit lengan Nayla yang sudah membuka mulut untuk menyahut. Nayla sekarang menunduk, ia takut dan hanya bisa melirik Fitria sebatas ekor matanya saja.

“Larisa, Larisa, nggak nyangka ya itu anak... kelihatan polos tapi ternyata liaaaaaarrr!” jerit Seruni begitu puasnya memaki.

Nayla lagi-lagi hanya bisa diam, sementara Fitria di seberang sudah tak tahan dan memutuskan masuk ke dalam rumah. Fitria duduk termenung di atas sofa, air matanya berlinang jatuh ke pangkuan. Bukan kali ini saja ia mendapatkan celaan, sudah berminggu-minggu lamanya caci maki dan hinaan menjadi santapan hangat pagi dan setiap waktu. Entah kapan berakhir atau memang tidak akan pernah berakhir. Apa yang dilakukan anaknya Larisa, benar-benar membuat keluarganya malu.

Perlahan, Fitria menoleh ke sebelah kiri, dia tatap foto anak keduanya di atas meja. Begitu tampak polos dan lugu. Fitria masih tak menyangka bahwa anak yang selalu ia banggakan bisa melakukan hal serendah itu.

Tangan Fitria terulur, ia peluk foto anaknya yang sudah tak ia lihat sejak anaknya diboyong oleh menantunya, Bassta. Entah bagaimana kabar Larisa, jangankan untuk menemuinya, untuk sekadar mendengar suaranya saja Fitria perlu izin dari suaminya Sadi. Dan entah izin itu akan dia dapatkan kapan, suaminya masih murka, kecewa dan tak mau mendengar hal apa pun yang menyangkut tentang Larisa.

***

Larisa, ia sedang sibuk mempersiapkan sarapan untuk suaminya. Meskipun masakannya sering kali ditolak, Larisa tidak akan berhenti untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang istri—mungkin tidak untuk kebutuhan biologis.

“Rajinnya Mbak Larisa, pagi-pagi sudah siapin sarapan buat Mas Bassta.” Asisten rumah tangga, Asih, bersuara dengan ramah.

Larisa menoleh, ia tersenyum.

“Ini sudah menjadi kewajiban seorang istri, kan, Bi?” kata Larisa begitu sopan dan Asih manggut-manggut.

Larisa melirik ke arah tangga, Bassta tak kunjung turun padahal sudah pukul enam. Biasanya, lelaki itu sudah turun sejak subuh untuk minta dibuatkan teh manis hangat oleh Bi Asih tapi kali ini, ia sepertinya terlambat bangun.

“Larisa mau bangunin mas Bassta dulu, ya, Bi,” kata Larisa izin pamit.

“Iya, Mbak. Silakan, biar sisanya Bibi yang beresin.” Asih tersenyum lebar.

“Makasih, Bi.” Larisa mengusap bahu Asih kemudian beranjak pergi meninggalkan dapur.

Diam-diam Asih memerhatikan kepergian Larisa. Ia memekik karena setelah kehadiran istri dari Bassta itu, ada sesuatu yang mengganjal tapi sulit untuk dia lontarkan sebagai sebuah pertanyaan.

Asih takut dipecat jika dia lancang menanyakan hal yang mengganjal itu kepada Bassta ataupun kepada Larisa. Hanya saja Bassta berpesan bahwa setelah Larisa datang, apa pun yang ia lihat, jangan banyak tanya atau berani sesumbar ke para tetangga jika tidak mau menanggung risiko.

Asih hanya bisa menurut karena bekerja di rumah tersebut jauh lebih penting ketimbang jiwa keponya..

***

Di kamar, Larisa masuk perlahan dan melihat Bassta masih berkelung di dalam selimut. Mata tajam pria itu terpejam, wajahnya memperlihatkan betapa nyenyaknya ia tidur karena kelelahan lembur.

“Apa mas Sultan membuat masalah lagi sampai dia kecapean begini?” gumam Larisa, ia merasa tidak tega untuk membangunkan Bassta.

Tanpa berpikir panjang, Larisa meninggalkan kamar tersebut, mungkin mendiamkan Bassta tidur tiga puluh menit lagi tidak masalah, itu yang Larisa pikirkan.

Larisa kembali ke dapur, menunggu sampai waktu tiga puluh menit itu. Namun ternyata dua puluh menit kemudian Bassta turun, rahangnya mengeras, matanya menyorot tajam ke arah istrinya yang terus saja dengan polos mengembangkan senyuman manis.

Asih yang melihat aura akan muncratnya kemarahan Bassta merasa panik sendiri dan memilih pergi ke belakang, dia diam, menguping. Lebih takut lagi jikalau Bassta kelepasan menyakiti istrinya yang sedang hamil lima bulan itu.

“Tololll!” teriak Bassta, seketika bibir Larisa mengatup panik.

“Kenapa, Bass?” Larisa tercekat.

“Bego! Kamu buta, ya? Nggak bisa melihat jam? Kenapa kamu nggak bangunin aku, Larisa. Nggak guna!”

Bassta membentak-bentak sambil mengisi gelas dengan air putih.

Bibir Larisa yang seawalnya terhiasi senyuman merekah kini tampak bergetar, menahan tangis.

“Bass, kamu bisa, kan ngomong baik-baik?” Suara Larisa berat, air mata menggenang, ia tahan sekuat tenaga dengan memejamkan matanya tapi ternyata hal itu malah membuat air matanya jatuh mengaliri pipi. “Maaf, Bass...aku cuman nggak tega—” Kalimatnya menggantung, Bassta menyela.

“Alesan! Sengaja kan kamu biar aku kena omel si Sultan! Dia seenaknya setelah papah jadiin dia direktur di perusahaan, dan aku...aku turun jadi sekretaris Sultan, sekretaris yang terus disuruh ini dan itu kayak babu!”

Bassta terus berteriak, dadanya kembang-kempis memperlihatkan betapa memuncak amarahnya. Laila hanya bisa mengerutkan bahu, takut dan tidak memiliki kesempatan untuk menjelaskan bahwa niatannya baik, tidak ada maksud tertentu yang merugikan suaminya itu.

“Hidup kamu cuma bisa jadi biang masalah ya, Larisa? Benalu? Itu arti hidup kamu, hah!” bentak Bassta lagi, kemudian ia duduk dan menatapi makanan di atas meja.

“Buang-buang duit! Buat apa masak sebanyak ini, percuma! Aku nggak doyan masakan murahan ala kamu,” katanya dengan suara merendah tapi tetap saja kata-katanya hanya terisi dengan makian.

Larisa terus menangis, meremas jemari kuat-kuat, mempersiapkan diri untuk menjelaskan.

“Aku...” Baru sepatah kata Larisa berucap, ia sudah terhenti karena Bassta melirik begitu tajam ke arahnya.

“Awas kamu kalau begini lagi! Disuruh bangunin doang aja nggak becus!” Sentak Bassta lagi dan Larisa mengusap pipinya yang basah.

“Maaf, Bass.” Larisa tercekat. “Aku nggak bakalan begini lagi tapi apa kamu bisa ngomong baik-baik? Tegur aku dengan pelan kalau aku salah,” pintanya dengan lemah lembut.

Bassta terkekeh, mengejek.

“Udah untung kamu ini aku tampung. Jadi, nggak usah banyak nawar. Kamu cuman perlu nurut, toh semua kebutuhan kamu aku penuhi, kan? Berhenti sok-sokan bersikap seperti seorang istri yang baik atau Solehah, nggak penting!”

Larisa mengatupkan bibirnya rapat-rapat, enggan menimpali yang malah akan membuat Bassta semakin menjadi-jadi mencelanya.

“Iya aku salah,” gumam Larisa dalam hati, menyesal dan juga sakit hati atas semua makian suaminya.

Bukan kali ini, bukan hanya itu saja, sejak awal keduanya tinggal bersama, Larisa sudah sering dihina dan terus dimarahi walaupun hanya karena masalah sepele dan tidak sengaja.

Asih di belakang hanya bisa mengurut dada, merasa kasihan tapi tak sanggup melakukan apa-apa.

Larisa sekarang diam, menunggu perintah Bassta sesuai kemauannya, ia takut bertindak dan salah lagi. Tetapi Bassta langsung pergi setelah meneguk air minumnya dengan kasar, ia terburu-buru dan Larisa mengekor di belakangnya untuk mengantar sampai ke depan pintu.

“Enggak perlu! Pergi! Muak aku lihat muka kamu itu,” kata Bassta dengan sesekali menoleh tapi Larisa membandel mengikutinya.

Bassta yang tidak memiliki waktu lagi untuk mencela dan memaki akhirnya membiarkan Larisa.

“Ingat-ingat, Bass. Takutnya ada yang ketinggalan,” kata Larisa mengingatkan tapi Bassta mengabaikannya.

Pria itu langsung memasuki mobil, Larisa diam menatapi kepergian suaminya dengan mata yang merah.

Tak lama, Larisa kembali ke dalam rumah. Ia duduk termenung di ruang tamu.

Semua kata-kata yang menyakitinya itu memang sangat menyiksa tetapi Larisa juga merasa pantas mendapatkannya. Ia sudah menjerumuskan pria yang sebetulnya tidak bersalah.

Terpopuler

Comments

AGUSTINA

AGUSTINA

kasar bgt astaga Basta
njerumusin apa sih

2022-12-27

3

k⃟K⃠ B⃟ƈ ɳυɾ 👏🥀⃞༄𝑓𝑠𝑝⍟𝓜§

k⃟K⃠ B⃟ƈ ɳυɾ 👏🥀⃞༄𝑓𝑠𝑝⍟𝓜§

apa yang terjadi sebenarnya 🤔🤔🤔
Larisa emang punya salah apa sampe bassta benci begitu 🤔🤔🤔🤔🤔

2022-12-26

3

🌟æ⃝᷍𝖒ᵐᵉN^W^NH^Ti᭄💫

🌟æ⃝᷍𝖒ᵐᵉN^W^NH^Ti᭄💫

aku mampir Thor bawa like👍

2022-12-24

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!