“Minum dulu, Mbak. Jangan melamun.” Asih sudah mendekat, membawa segelas teh manis hangat, ia berharap itu bisa membuat Larisa tenang.
Larisa yang sedang menangis terkesiap, ia usap air matanya gelagapan kemudian menerima dengan senyuman yang dipaksa.
“Terima kasih, Bi.” Suaranya berat.
Asih mengangguk, hendak pergi tetapi Larisa meraih tangannya.
Asih menoleh, keduanya bersitatap dengan tegang.
“Apa bisa Bibi janji sama aku?” kata Larisa dan alis Asih mengerut, tak paham.
“Kenapa, Mbak?”
Larisa menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan.
“Tolong, apa pun yang Bi Asih lihat dan dengar antara aku sama mas Bassta jangan sampai orang di luar tahu. Tolong, ya, Bi,” ucap Larisa memohon.
Asih merasa tak tega, melihat wajah sembab Larisa juga sorot matanya yang memprihatinkan. Lekas ia mengangguk kemudian membalas genggaman tangan erat Larisa.
“Bibi janji,” kata Asih dan Larisa pun tersenyum setengah lega.
***
Di tempat lain, di rumah keluarga Bassta, mewah nan megah. Seorang wanita berdiri dengan wajah pucat di dekat jendela kamarnya, wajah itu bukan hanya pucat tetapi juga tersaput kesedihan. Bagaimana ia tak sedih ketika mengetahui anaknya menghamili anak dari adiknya. Pernikahan antara sepupu, Larisa dan Bassta.
Wanita itu Novia, kakak dari Fitria ibunya Larisa. Dari segi ekonomi, kedua keluarga ini jelas jauh berbeda. Keluarga Larisa adalah keluarga yang sangat sederhana sementara keluarga Bassta, terpandang kaya raya.
Pernikahan besar yang diidam-idamkan Novia sirna, Larisa bukanlah sosok perempuan yang dia ingini sebagai menantu. Ia ingin menantu yang setara, setakhta agar tidak menurunkan standar tinggi kehidupannya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, takdir membolak-balikkan kehidupan juga keinginannya. Sosok menantu yang diidamkan Novia yaitu Jema hanya menjadi mimpi belaka.
“Bu, ada tamu.”
Suara seorang pelayan membuat Novia melirik sedikit, ia tak suka diganggu, ia ingin sendirian untuk waktu yang lama. Bahkan ia juga melarang siapa pun memadukan Bassta apalagi Larisa ke dalam rumahnya.
“Saya tidak mau diganggu,” kata Novia dengan tenang.
“Tapi, Bu...”Kalimatnya tersendat.
Novia berbalik, gelas sudah dia genggam, tak lama melayang dan menghantam lantai.
Brakkkkkkkk......Byaaaar...
Suara pecahan kaca berhamburan, beberapanya nyaris mengenai kaki sang pelayan. Wanita itu lekas mundur, menunduk, takut dan Novia terus menatapnya dengan emosi.
“Apa kamu tuli? Saya tidak mau dan tidak suka diganggu. Siapapun yang datang, biarkan mereka pergi!” teriaknya jengkel dan pelayan itu mengangguk patah-patah.
Di bibir pintu, Arif, suaminya itu sedang menatap dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana.
“Adikmu yang datang, Novia. Bagaimana pun juga sekarang dia adalah besan kita,” seru Arif dan bahu Novia merosot loyo.
Arif melirik pelayan, melayangkan tatapan agar wanita itu pergi. Sekarang, tertinggal suami-istri tersebut dan Arif merasa perlu menenangkan istrinya lebih dulu sebelum dipertemukan dengan Novia.
“Aku nggak mau ketemu sama Fitria, Mas,” kata Novia dan Arif menggeleng, tak setuju.
“Itu akan membuat Sadi semakin bebas menghina kita. Setelah apa yang dilakukan Bassta kepada Larisa, lalu ditambah dengan sikapmu, bisa kamu bayangkan akan seperti apa mulutnya berbusa? Aku malas mendengar hinaan lagi, cukup, dan temui adik kamu itu.”
Novia menghela napas, sesaat berusaha membujuk tetapi Arif tetap menggeleng tidak sepakat.
“Baik, aku butuh beberapa menit untuk bersiap,” kata Novia dan Arif pun tersenyum.
***
Di ruang tamu, Fitria meremas genggaman tangan kirinya. Tangan berkeringat, memperlihatkan betapa gugupnya ia akan bertemu dengan Novia. Tetapi bukan hanya gugup melainkan juga takut karena ia tidak izin terlebih dahulu kepada suaminya untuk datang ke rumah tersebut. Jika suaminya tahu, mungkin ia akan dimarahi juga didiamkan untuk waktu yang lama.
Fitria menoleh saat mendengar suara langkah kaki, ia langsung bangkit dan sedikit menurunkan bahunya.
“Mas,” sapanya kepada Arif.
“Duduk, Novia sebentar lagi turun.” Arif tersenyum, Novia membalas dengan senyuman kaku.
“Bi, bereskan pecahan kaca di kamar saya. Secepatnya,” seru Novia di atas tangga, lalu bergerak turun dan pelayan yang ia minta langsung bergegas pergi.
Kening Fitria terlipat, pecahan kaca? Benaknya membatin penuh tanya.
“Mbak nggak kenapa-kenapa, kan?” tanya Fitria dan Novia mendelik, duduk, dan Fitria menelan ludah.
“Ada apa kamu datang ke sini, Fitri?” balas Novia, mengabaikan pertanyaan tadi.
Fitria mengulum bibirnya, menelan saliva, ia sadar bahwa kedatangannya tidak diinginkan siapapun di rumah tersebut.
“Novia, tanyakan kabar adikmu ini. Santai saja,” tegur Arif dan Novia menoleh sinis. Kini, Arif menatap Fitria. “Santai saja, Fitri.”
“Aku ke sini kebetulan habis belanja, jadi ke pikiran buat mampir. Aku mendengar kabar kalau Mbak Novia sakit, jadi aku ke sini.”
Fitria berbicara dengan tenang, tetapi tanggapan Novia sangat tidak baik, ia berdecak sinis.
“Aku baik, Fitri.” Ketus Novia.
Fitria tersenyum samar kemudian berkata, “Syukurlah. Apa yang terjadi di keluarga kita memang nggak mudah buat diterima, tapi mau bagaimana lagi sekarang, sebagai orang tua... Kita hanya perlu mendoakan anak-anak.”
Novia mendelik sebal mendengarnya.
“Iya kamu benar, Fitri. Ngomong-ngomong gimana kabar Sadi?” sahut Arif ramah.
“Baik, Mas.”
“Ganta, aku dengar sekarang anak pertamamu itu sudah bekerja.” Arif tersenyum.
Fitria mengangguk pelan, “Iya Alhamdulillah.”
“Sudah pernah aku tawari buat kerja di perusahaan tapi anak itu nggak mau. Mandiri banget dia,” puji Arif dan Fitria tersenyum senang sambil mengangguk.
“Itu bagus, nambah aja beban keluarga kita kalau Ganta masuk di perusahaan. Nusuk mata, bikin iri mereka yang mati-matian ngajuin diri dengan formulir ini itu kalau anak itu masuk dengan mudahnya karena ikatan kekeluargaan,” balas Novia sarkasme.
Fitria meringis mendengarnya.
Arif langsung menyenggol sikut Novia tetapi Novia tidak peduli.
“Alhamdulillahnya Ganta enggak, kan, Mbak?” kata Fitria dengan suara sedikit sumbang.
Novia tidak membalas, senyuman sinisnya yang mewakili.
Novia dan Fitria saling menatap dalam sengit, keduanya memang tidak akur sejak dulu, nasib dan takdir yang begitu berbeda. Takdir dan nasib juga yang menentukan perilaku penikmatnya. Novia semakin berubah angkuh setelah dipersunting Arif yang berasal dari keluarga kaya raya, dan sebetulnya, yang diinginkan Arif dahulu adalah Fitria tetapi Fitria jauh lebih memilih Sadi.
Kisah cinta memang membuat segalanya rumit dan mumet.
“Sudah, sudah, kamu mau minum apa?” kata Arif memecah ketegangan.
Arif bangkit, berseru memanggil pelayan tapi tak ada satupun yang datang sampai ia harus pergi meninggalkan ruang tamu menuju dapur.
Di saat inilah Novia merasa leluasa untuk mengintrogasi Fitria, apa niat dan maksud kedatangan adiknya itu yang sesungguhnya.
“Nggak usah basa-basi lagi, Fitria. Apa yang kamu mau sekarang? Bassta sudah rela menurunkan harkat dan martabatnya dengan menikahi anak kamu. Apa itu belum cukup?” sinis Novia dan Fitria menggeleng kepala tak menyangka bahwa Novia bisa Setega itu berbicara.
“Yang salah dan hina bukan hanya anakku saja, Mbak. Tapi juga Bassta! Dia yang bikin Larisa hamil, apa itu hanya kesalahan Larisa?” tegas Fitria jengkel, mulai tak kuasa menahan emosi.
Bagi Novia, hanya Larisa yang salah dan Bassta hanya terjerumus rayuan dan ilusi yang diciptakan oleh anak dari adiknya itu.
Manusia memang selalu pandai melihat keburukan orang lain dan selalu buta dengan kesalahannya sendiri meskipun di pelupuk mata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
yanti auliamom
Sepupu yang anak dari saudara permpuan boleh memang menikah.
Uang dan sukses itu tidak mengubah seseorang... mereka hanya mempertegas /memperkuat apa yang sudah ada dalam diri.
2023-01-14
1
🌟æ⃝᷍𝖒ᵐᵉN^W^NH^Ti᭄💫
astaga Novia bikin esmoni, bnr2 ga ad akhlak
2022-12-27
1
k⃟K⃠ B⃟ƈ ɳυɾ 👏🥀⃞༄𝑓𝑠𝑝⍟𝓜§
inget Novia harta itu bisa hilang kalo kuasa sudah berkehendak , jadi jngan lah diri mu songong 😁😁😁😁😁
2022-12-26
2