Saat Arif kembali, ia terkejut karena melihat Novia sedang mencengkeram kuat pergelangan tangan Fitria sampai Fitria meringis.
“Berhenti menyalahkan anakku, Fitri. Bassta nggak salah, tapi Larisa yang menjebaknya!” Novia melotot dan Fitria berusaha melepaskan diri tetapi tenaga kakaknya itu tak bisa ia kalahkan.
“Menjebak apanya, Mbak? Anak kita berdua yang salah. Cukup menyalahkan Larisa terus,” geram Fitria dan keduanya menengadah saat tangan Arif mendedah cengkeram tangan Novia sampai terlepas.
“Mas!” bentak Novia tidak terima.
Arif melotot, tak suka Novia menaikkan suaranya di hadapan orang lain padanya. Itu adalah sebuah penghinaan baginya.
Novia menunduk, sadar dia salah dan akan fatal akibatnya jika dia bersikeras dengan emosinya.
Fitria meringis, pergelangan tangannya sakit.
“Apa-apaan kalian ini?” tegas Arif, keduanya diam dan Fitria meraih tasnya, menunjukkan bahwa ia akan lekas pergi. “Novia,” tegur Arif sambil memegang siku istrinya dan Novia tidak mau berbicara.
“Maaf, Mas. Aku nggak bisa lama, maaf juga karena sudah mengganggu,” ucap Fitria sambil mengaitkan tali tas ke bahu kirinya.
Arif menggeleng, menunjuk sofa, meminta agar duduk kembali tapi Fitria sudah malas berlama-lama di rumah tersebut.
“Baik, ayo biar aku minta sopir supaya mengantar kamu sampai rumah,” kata Arif setelah mendelik kepada Novia.
Fitria berlalu pergi dan Arif menuntunnya. Novia yang jengkel juga cemburu pun akhirnya memilih kembali ke dalam kamar, mengurung diri sambil mengacak-ngacak meja riasnya seperti orang gila.
Di luar rumah, Fitria menolak saat sopir membukakan pintu dan membuat Arif urung untuk meninggalkannya.
“Ada apa, Fitria? Sikap kamu seolah ada yang tertinggal,” kata Arif dan Fitria mengangguk.
“Sebenarnya aku ke sini mau minta alamat rumahnya Bassta. Aku kepingin ketemu saja Larisa, Mas, aku pengin tahu gimana keadaan Bassta dan Larisa. Mas mau kan kasih alamat tempat tinggalnya Bassta?” ujar Fitria dan Arif terdiam sejenak. “Tolong, Mas.” Fitria memohon.
“Dengar, Fitri. Kalau suamimu tahu pasti akan jadi masalah, usahakan temui Bassta dan Larisa atas seizin Sadi. Aku sama Novia nggak mau kebawa-bawa lagi ke dalam masalah, akan aku kirimkan alamatnya sama kamu.”
Fitria tersenyum, merasa lega, Arif bersikeras agar ia menerima untuk diantarkan oleh sopir tapi lagi-lagi Fitria menolak. Alamat Bassta sudah sangat cukup baginya.
***
“Kamu udah bosan kerja, ya, Bass?” singgung Sultan, pria tukang mencari gara-gara.
Bassta yang sedang sibuk dengan laptopnya pun menoleh sinis.
“Kamu kesiangan karena sibuk semalaman sama si Larisa? Aku kira dia hamil karena kamu dijebak, ternyata karena kamu emang doyan sama modelan begituan, ya?” kata Sultan lagi dan Bassta menggeram kesal.
“Diem, nggak, lu!” bentak Bassta dan Sultan malah cengar-cengir.
“Harusnya happy dong? Atau emang kamu nyesel ya karena udah khilaf bikin hamil si Larisa? Punya istri boleh tapi nggak ada yang bisa melarang kalau kamu mau main-main sama cewek lain di luar sana, Bass. Itung-itung menghilangkan penat,” kata Sultan begitu enteng. “Mau aku rekomendasiin, nggak?”
Braaaaakkkkkk.....
Bassta menggebrak meja, Sultan cengengesan, senang karena sudah berhasil memancing amarah adiknya.
Sultan tersenyum, menunduk menatap tangan Bassta yang kini sudah meremas kerah kemeja putihnya. Bassta sudah mengepal tangan, siap menuju bibir Sultan yang selalu sembarangan berbicara itu. Saat bibirnya terbuka untuk memberikan peringatan, pintu ruangan tersebut juga terbuka dan Hanung masuk.
“Maaf, ada Pak Arif menuju ke sini.” Hanung menatap keduanya intens, Bassta langsung melepaskan baju Sultan dan Sultan gelagapan merapikan diri juga meja kerjanya.
“Kenapa juga Papah datang mendadak,” gerutu Sultan dan Bassta mengusap tengkuknya, dia sudah jengkel sejak pagi karena telat bangun dan sekarang ditambahi dengan ocehan Sultan.
Arif masuk, disusul dua orang yang langsung dia minta berjaga di luar. Hanung juga keluar, meninggalkan ayah dan kedua anaknya.
“Pah,” sapa Sultan ramah.
Bassta diam, duduk dengan wajah tertekuk. Ia masih jengkel karena posisi direktur dialihkan kepada Sultan perkara dia dan Larisa.
“Gimana pekerjaan kamu, Sultan?” tanya Arif tapi matanya fokus pada Bassta yang bersikap acuh tak acuh.
“Lancar, Pah. Tenang.” Sultan membanggakan diri padahal Bassta yang mati-matian mengurus segalanya.
“Dan kamu, Bassta?” seru Arif dengan tubuh berputar menghadap kepada anaknya. Bassta diam, malas menjawab.
Arif menggeleng lalu dia duduk berseberangan dengan Bassta.
Dia tatap wajah anaknya yang begitu murung itu. Ia tahu Bassta marah tapi ia juga kecewa atas apa yang dilakukan Bassta dan Larisa. Sebuah kesalahan yang mencoreng nama keluarga.
“Sultan, bisa tinggalkan Papah dengan adikmu sebentar?” pinta Arif dan Sultan terdiam, tak suka.
“Baik, Pah.” Sultan mengalah dan dia terus memandangi Bassta yang hanya diam saja.
Setelah Sultan pergi, Arif berpindah tempat duduk ke sebelah Bassta dan barulah Bassta bersuara.
“Apa yang mau Papah bicarakan sekarang?”
Arif tersenyum samar.
“Bagaimana kabar istri kamu?” tanya Arif dan Bassta menoleh cepat, menahan napas atau entah menahan rasa jengkel mendengar kenyataan bahwa sekarang Larisa adalah istrinya.
“Dia baik,” singkat Bassta dengan nada yang malas.
“Dia sedang hamil, jaga dia dan calon bayimu itu. Bayi itu nggak salah, Papah harap kamu bisa jauh lebih dewasa karena peran sebagai seorang suami dan ayah itu nggak mudah.”
“Tanpa perlu Papah ingatkan, aku tahu apa yang harus aku lakukan.”
Arif menyungging senyum sinis.
“Jangan sombong, Bass. Terakhir kali kamu bilang begitu, kamu membuat kekeliruan. Dan kamu sekarang itu buah dari apa yang kamu lakukan. Papah tahu kamu nggak suka Sultan menggantikan kamu, tapi Papah harap kamu bisa belajar dari semua hal yang sepatutnya tidak pernah kamu lakukan,” tegas Arif sambil menepuk bahu anaknya itu berulang kali.
Bassta terbungkam, tapi rasa angkuh dalam dirinya tak semudah itu untuk padam.
Lagi, Bassta mengabaikan peringatan yang diberikan Arif.
****
Setelah Arif pergi meninggalkan perusahaan, Sultan yang penasaran pun mendekati Bassta untuk menyelidiki apa yang sebetulnya terjadi di dalam ruangan selama tiga puluh menit tersebut.
“Bass,” seru Sultan saat melihat adiknya melangkah di lorong sendirian.
Bassta diam, menunggu Sultan sampai padanya.
“Apa yang kamu bicarakan sama Papah? Kamu berusaha menghasut Papah supaya kamu kembali dipercaya memimpin perusahaan, kamu mau melengserkan kedudukan kakakmu, Bass?” tegas Sultan dengan sorot mata mengancam.
Bassta terkekeh-kekeh melihat ekspresi takut di wajah Sultan.
“Nggak percaya sama kemampuan diri sendiri, ya, sampai takut tersaingi adik sendiri?” balas Bassta dengan senyuman kemenangan karena sudah berhasil membuat Sultan memerah murka wajahnya.
“Aku lebih baik dari kamu, Bass. Hanya saja Papah telat menyadarinya,” kata Sultan dengan angkuh.
“Kita pastikan saja itu nanti,” ketus Bassta kemudian pergi, Sultan berdecak murka dan terus menatapi kepergian adiknya.
Bassta yang merasa penat pergi menemui Hanung di ruangannya. Keduanya adalah kawan lama, saat Bassta menjabat sebagai direktur, Hanung adalah sekretarisnya.
Perubahan kedudukan yang disandang Bassta saat ini juga mempengaruhi posisi Hanung yang juga tidak disukai oleh Sultan. Hanung tidak mudah disogok, menjunjung tinggi ikatan persahabatannya dengan Bassta.
“Kamu harus lebih sabar menghadapi Sultan, Bass,” kata Hanung penuh peringat.
Bassta yang sedang mengisap rokok sambil memangku satu kakinya pun menoleh.
“Ngomong tinggal ngomong, menjalaninya yang susah.”
Hanung tersenyum mendengarnya.
“Aku yakin pak Arif juga menyesal karena sudah salah memberikan perusahaan kepada Sultan. Papahmu hanya sedang emosi waktu itu, dan para karyawan pun masih membahas hal ini dan bertanya-tanya apa penyebabnya posisimu diganti.”
Bassta kini terpancing untuk menatap Hanung baik-baik.
“Jangan kamu bilang kalau mereka semua tahu bahwa aku sudah menikah apalagi dengan Larisa,” ucap Bassta panik.
Hanung menggeleng, menepuk bahu Bassta, menenangkan.
“Pernikahan kalian ditutup-tutupi hanya saja entah akan sampai kapan bisa selalu tertutup rapat. Mungkin sebentar lagi semua orang akan tahu. Oh, ya, gimana kabar Larisa?”
Mata Hanung berbinar tatkala menyebut nama Larisa.
“Aku berharap semuanya tetap dalam kendali sampai aku dan Larisa bisa berpisah,” lirih Bassta dan kening Hanung mengerut. “Hmmm, ya, dia baik. Sangat baik karena kerjaannya cuman bikin masalah, aku yang nggak baik-baik aja setelah nikah sama dia.” Bassta melanjutkan dengan air muka yang malas.
“Tidak baik meniatkan perceraian. Ini bukan hubungan berpacaran, bosan putus sesukamu tapi ini ikatan suci pernikahan.”
Hanung menyahut dengan sangat serius.
Bassta tersenyum miring, tidak mengindahkan ucapan Hanung. Sekarang, ia malah membuka ponselnya yang tiba-tiba berdering dan menampilkan panggilan masuk dari sebuah nomor yang ia beri nama dengan emoticon ‘Love’ tiga biji.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Rose_Ni
dikit tiga biji,gak sepuluh
2023-02-18
1
wong buemen
liat dari cara sultan bicara bisa jadi Sultan lh ayah sebenarnya. dari anak yg larisa kandung
2023-01-21
1
🔥⃞⃟ˢᶠᶻ🦂⃟ᴘɪᷤᴘᷤɪᷫᴛR⃟️𝕸y💞hiat
emot lope2
2023-01-08
1