Larisa menunduk sedih, tangannya menyentuh halus perut besarnya. Ia duduk menyendiri, tersaput sepi juga rasa iri ketika melihat di sekeliling ibu hamil yang lain ditemani para suami mereka, sementara dirinya sendirian di pojokan.
Memimpikan bisa ditemani oleh Bassta rasanya sangat kurang ajar, Larisa menepis dan menghindar dari sebuah angan-angan memalukan tersebut. Benar dengan apa yang dikatakan Bassta, dia seharusnya sudah bersyukur karena sudah ditampung. Dan perubahan sikap Bassta saat ini adalah buah dari jerat masalah yang ia lakukan.
“Pria bajingan itu ...aku do’akan semoga hidupmu terbelenggu kesengsaraan sampai akhir hayat!”
Gerutuan yang terlisankan dari bilah bibir tipis Larisa membuat seorang wanita sepuh di sebelahnya menoleh. Sadar bahwa ungkapannya terlalu nyaring, Larisa pun memilih bangkit dan berpindah kursi.
Hanya sosok pria itu yang bisa membuat Larisa emosi. Pria bajingan, brengsek yang membuatnya terbuai sampai rela dibuahi. Sekarang, Larisa harus menanggung beban sendirian. Dibenci oleh Bassta dan keluarganya, dan diasingkan juga oleh keluarganya sendiri.
Bukan sekali dua kali terlintas untuk Larisa pergi ke rumahnya, ia ingin bertemu ayah, ibu, Ganta dan adiknya Nurani. Ia merindukan suasana rumahnya, dan entah ayahnya akan kembali membukakan pintu untuknya.
Ternoda dan terhina, terjungkal ke dalam kubangan dosa yang menyenangkan di awal tetapi menyengsarakan setelahnya.
Larisa hanya bisa menyesali, menghindari tiada guna dan sebelum ini ia sudah sempat berpikiran untuk mengakhiri kehidupan dengan bunuh diri. Namun semua itu gagal, lagi-lagi karena Bassta. Bassta menolong, menampung tetapi juga menyiksa dengan perubahan sikapnya yang sangat jauh dengan dulu.
Memang benar kata orang, manusia akan berubah ketika ditimpa masalah berat. Ada yang bisa rela menerima, ada juga yang gila menjalaninya. Dan untuk menebus apa yang sudah dia bebankan, Larisa janji kepada dirinya sendiri bahwa ia akan menjadi istri yang baik sekalipun Bassta tidak pernah mau menghargai apa pun yang dia lakukan.
“Bu Larisa!” seru petugas Farmasi dan Larisa langsung berdiri, berjalan mendekat, melakukan administrasi kemudian pergi meninggalkan rumah sakit tersebut.
Larisa sudah mengatur temu dengan sahabatnya yaitu Nenden dan juga Nayla di Mal.
***
“Bass, seminggu lagi aku pulang. Kamu udah janji bakalan jemput aku di Bandara, kan? Jangan sampai kamu lupa.”
Jema, suara gemulainya begitu merdu menggelitik gendang telinga Bassta yang kini tengah berdiri di atas balkon.
Rindu itu menggebu, ingin segera bertemu untuk lekas tersalurkan.
“Jelas aku inget, Jema. Nggak mungkin aku lupa mengenai hal tentang kamu,” kata Bassta sambil cengar-cengir.
Hanung dari dalam hanya bisa menggeleng miris, ia memikirkan Larisa. Jika Larisa tahu kelakuan Bassta, pasti ia akan sangat sedih. Hanung menyesal karena ia tak bisa melakukan apa-apa untuk menolong Larisa, sejujurnya, ia juga masih kecewa karena kenapa bisa perempuan polos yang menjadi dambaannya itu bisa merelakan harga diri dan kesuciannya.
Memang Bassta tampan dan juga kaya, tetapi hanya perempuan gila yang mau dengan sukarela melepaskan diri kepada laki-laki di luar pernikahan.
“Syukurlah kalau kamu nggak lupa,” kata Jema begitu riang.
“Kamu pasti rindu suasana tanah air. Kamu udah lama di Amerika, Jema. Aku juga pasti pangling lihat kamu nanti,” kata Bassta dengan lembut.
Jema terkekeh kecil.
“Kita sering melakukan video call. Jangan berlebihan, deh. Kamu bisa aja bikin aku malu,” kata Jema sambil memelankan suaranya di akhir kata.
Bassta tertawa, langsung bisa membayangkan betapa merahnya wajahnya sang kekasih ketika malu-malu seperti itu.
“Mau video call?” tawar Bassta.
“Emmmm.” Jema berpikir keras karena sebentar lagi ia harus menyelesaikan satu pekerjaan lagi.
“Nggak bisa, ya?” Bassta sedikit kecewa.
“Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan, Bass. Nanti malam kamu sibuk?”
“Kita lihat nanti,” kata Bassta terdengar lemah.
“Kamu baik-baik aja, kan, Bass? Gimana kabar Om Arif dan Tante Novia?”
Tercekat, Bassta langsung mengulum bibirnya rapat-rapat.
Ia, bagaimana keadaan ibunya Novia? Bassta lupa menanyakan Novia saat bertemu dengan Arif tadi.
Apakah Ibunya itu masih enggan untuk di temui? Masih menyalahkannya dan akan mencelanya lagi seperti kejadian yang lalu, lalu?
Bassta masih merasa was-was.
“Iya, baik.” Bassta membalas dengan suara pelan. Raut wajahnya mendadak murung. Mendengar perubahan suara Bassta, Jema terdiam sejenak kemudian kembali melontarkan tanya.
“Ada masalah lagi antara kamu dan orang tua kamu? Biasanya gara-gara pekerjaan atau ada masalah lain yang bikin kamu kena marah orang tua kamu kali ini, Bass?”
Bassta langsung memijat keningnya.
“Nggak ada masalah, Jema.”
“Oh, ya?” Jema merasa Bassta menyembunyikan sesuatu. “Jujur sama aku, Bass. Ada apa, sih?”
Bassta bungkam dan bingung memikirkan alasan untuk menjawab pertanyaan Jema.
Tak lama, suara seseorang memanggil Jema, Jema menyahut dengan nada kesal karena ia masih ingin berbincang dengan Bassta.
“Selesaikan pekerjaan kamu, Jem. Aku juga harus balik lagi kerja,” kata Bassta dan Jema berdeham.
“Oke, tapi nanti setelah kita ketemu. Kamu nggak bakalan bisa menghindar dari aku, catat itu!”
Jema terkekeh, riang tetapi itu malah membuat Bassta menciut ketakutan.
Larisa mendadak langsung melintas di hadapannya. Jika Jema tahu tentang Larisa, akan seperti apa?
Membayangkannya saja sudah membuat Bassta merasa mumet.
“Oke,” singkat Bassta dan panggilan pun usai.
Tak lama Bassta meninggalkan balkon, Hanung langsung menatapnya dan Bassta melengos pergi sebelum Hanung melontarkan wejangan-wejangan yang membuatnya pusing.
***
Di Mal, Larisa sedang melihat-lihat pakaian bayi perempuan. Berwarna-warni, berbagai model, jauh lebih bervariasi ketimbang pakaian bayi untuk laki-laki. Melintas keinginan di benaknya, ingin bayi di dalam rahimnya berjenis kelamin perempuan. Larisa sudah diberitahu tentang jenis kelamin bayinya, tetapi hasil USG tidak selamanya benar tentang jenis kelamin bayi.
“Ini lucu, ya?” kata Nenden dan Larisa menoleh, mengangguk.
“Emang udah yakin bayi kamu itu perempuan, Nden?” tanya Nayla.
Nenden tersenyum, mengangguk yakin.
“Siapa tahu hasil USG nya nggak meleset, kan?” balas Nenden dan Nayla tersenyum. Sekarang, Nenden menoleh pada Larisa yang begitu pendiam tidak seperti biasanya. “Larisa, bukannya tadi kamu habis USG? Gimana keadaan bayi kamu?” Nenden begitu bersemangat.
“Sehat, kan?” seru Nayla, ia cemas karena tahu bahwa Larisa memiliki beban pikiran yang bisa saja menimbulkan stres dan mempengaruhi perkembangan kehamilannya.
“Iya, sehat.” Larisa tersenyum samar.
“Kamu sendirian diperiksanya?” tanya Nenden lagi. “Sesibuk apa, sih, si Bassta sampai-sampai nggak sempet nganterin bininya diperiksa. Itu kan bayi kalian bersama, dijaga dan dirawat sama-sama.”
Larisa memekik, ia bingung harus menjelaskan bagaimana.
“Bassta kan orang penting, Nden.” Nayla berusaha membuat situasi menjadi tenang tapi si cerewet Nenden terus berbicara, menuntut, dan bertanya-tanya kenapa Bassta begitu cuek pada kehamilan Larisa.
Larisa dan Nayla sesekali saling melemparkan tatapan, bersemuka dalam diam, mendengarkan keluh kesah Nenden.
Nayla tahu tapi tidak dengan Nenden dan jika Nenden tahu, mungkin ia tidak akan banyak berbicara seperti itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
🔥⃞⃟ˢᶠᶻ🦂⃟ᴘɪᷤᴘᷤɪᷫᴛR⃟️𝕸y💞hiat
jema belum tau ya, Bassta sudah menikah??
2023-01-08
1
k⃟K⃠ B⃟ƈ ɳυɾ 👏🥀⃞༄𝑓𝑠𝑝⍟𝓜§
kejadian malang apa yang terjadi Larissa 🤔🤔🤔🤔
2022-12-26
3
𝐀⃝🥀𝐑𝐚𝐧 ℘ṧ㊍㊍👏
Semoga Bassta menyesal, 😌
2022-12-24
1