...*****...
...“Aku tidak mempunyai hak untuk membenci masa lalumu. Sekelam apa pun itu, masa lalu telah menjadikanmu sebagai sosok wanita yang tangguh. Wanita yang mampu membuatku merasa begitu berarti.”...
...---Sandyakala---...
...*****...
“Bagaimana tadi di sekolah?” Runa mendaratkan tubuhnya di samping Khan yang sedang berkutat dengan pensil warna dan buku gambar. Tangannya mengelus rambut lurus bocah lelaki itu.
“Tadi Khan dapat nilai 100 lagi, Bun.” Khan berceloteh dengan penuh semangat.
“Oya? Pinter, dong. Ini Khan menggambar apa?” Runa melirik lukisan Khan yang membuat hatinya tergelitik.
“Khan menggambar resto. Ini Khan, Ayah, dan Bunda duduk di depan resto,” terang Khan tanpa mengalihkan kesibukkannya menorehkan warna-warni di atas buku gambar.
Sepersekian detik Aruna terperanjat melihat gambar Khan. Untuk anak seusianya, coretan tangan Khan terlalu sempurna. Setiap detail garis yang membentuk bangunan resto membuat gambar itu terlihat nyata. Sedangkan gambar tiga orang yang duduk di depan resto membuat hati Runa sedikit gelisah.
“Gambar Khan bagus sekali.” Runa memuji Khan dan memberi pelukan hangat kepada bocah itu.
“Tadi Bu Guru juga bilang gitu. Malah Ayah kasih hadiah buat Khan, loh.”
“Oya, apa hadiahnya?” tanya Runa mulai penasaran akan cerita Khan.
“Besok Khan mau diajak ke timezone. Hore ….” Khan tertawa ceria sambil mengangkat kedua tangannya.
...*****...
“Apa benar Mas menjanjikan hadiah jalan-jalan ke timezone untuk Khan?” tanya Aruna saat Sandy makan siang di dapur resto.
Sudah menjadi kebiasaan Sandy untuk makan di tempat itu meskipun dia adalah pemilik resto. Yang membuat Sandy merasa istimewa adalah makan di tempat itu dengan dilayani ratu hatinya. Siapa lagi kalau bukan Runa. Wanita cantik, sederhana, dan pekerja keras yang selama beberapa tahun ini selalu mendukung usahanya memperbesar resto.
“Iya benar. Besok Sabtu kita ke Jogya. Aku ada acara seminar usaha pariwisata di sana. Nanti kita nginap semalam dan Minggunya kita ajak Khan ke Timezone,” terang Sandy yang masih menikmati masakan Runa.
“Tapi, Mas. Hari Minggu resto ramai, loh. Sayang, kan, kalau kita libur?”
“Siapa yang bilang libur? Ada Mbak Wati yang bisa gantiin kamu. Lagian aku lihat stok bumbu di kulkas sepertinya cukup untuk kamu tinggal dua hari.” Sandy mencoba meyakinkan Runa bahwa semua akan baik-baik saja.
Runa yang pada awalnya tidak begitu suka dengan urusan dapur, mendadak berubah haluan menjadi koki resto. Dalam waktu sekejap, semua merubah tujuan hidup Runa. Wanita itu belajar dari sebuah keterpurukan hingga akhirnya menemukan jalan hidup yang mampu menjadi pegangan. Pelajaran hidup yang Runa dapatkan bukan hanya berasal dari pendidikan formal di mana dahulu dia dituntut untuk menjadi yang terbaik dalam berbagai mata pelajaran. Namun, pendidikan yang Runa dapatkan adalah dari kehidupannya dalam bermasyarakat. Pengalaman yang membuat wanita itu bertahan dari krisis moral yang sempat membuatnya hampir kehilangan kewarasan. Sandy merupakan salah satu pembimbing yang sempurna untuk Runa.
“Oya, besok Minggu sekalian jemput Nenek di stasiun tugu.”
“Nenek akan datang?” lirih Runa menghentikan aktifitasnya sesaat. Antara rasa terkejut dan rasa tidak nyaman yang tiba-tiba saja menggelayuti perasaannya.
“Hhmm … Kamu nggak papa, kan?” Sandy melontarkan pertanyaan yang sebenarnya sudah ia ketahui jawabannya. “Kamu tenang saja. Aku tidak akan membiarkan Nenek menyakitimu.”
“Iya, Mas. Runa hanya takut saja.” Sesaat mereka diam dan kembali sibuk dengan kegiatan mereka.
...*****...
Matahari belum menampakkan terangnya ketika Sandy membantu Khan naik ke mobil. Tidak lupa Sandy memasang sabuk pengaman untuk lelaki kecil itu dan memastikan kembali posisinya senyaman mungkin.
“Khan bisa bobok lagi. Nanti kalau sudah sampai biar Ayah bangunin.” Sandy menyelimuti Khan agar terhindar dari udara dingin pegunungan.
“Khan, jangan lupa oleh-oleh buat nenek, ya. Nurut sama Ayah Bunda!” pesan Mira sebelum Sandy menutup pintu mobil belakang kemudi.
“Iya, Nek. Khan mau bobok dulu. Masih ngantuk,” jawab Khan singkat.
Sementara Runa memasuki mobil dari sisi kiri setelah memasukkan semua barang bawaannya ke dalam bagasi. Wanita itu duduk di samping Khan yang mulai kembali terlelap.
“Hati-hati, Run. Kamu nggak usah banyak pikiran,” pesan Mira yang selalu membuat hati Runa menghangat. “Pak, pelan-pelan saja. Nggak usah buru-buru. Masih pagi gini pasti jalanan lancar. Titip mereka, ya, Pak!” Kali ini pesan Mira untuk sopir keluarganya.
“Iya, Bu.”
Sandy yang sudah duduk di samping kemudi melambaikan tangannya ke arah wanita yang telah melahirkannya. Perlahan mobil mulai bergerak membelah jalanan yang masih berkabut. Suasana jalan yang masih sepi membuat perjalanan mereka lancar. Pukul enam pagi mobil sudah memasuki kota Yogyakarta. Mereka segera menuju ke homestay yang sudah dipesan beberapa hari yang lalu. Sandy sengaja memilih homestay agar Khan lebih nyaman selama menunggu dirinya menghadiri seminar.
Disamping itu, biaya sewa homestay jauh lebih murah daripada harga sewa kamar hotel. Meskipun untuk itu Sandy harus sedikit berjalan kaki menuju lokasi seminar, tetapi bagi Sandy inilah pilihan terbaik.
Setelah sarapan dengan menu yang tersedia di homestay, Sandy segera berangkat menuju hotel tempat diadakannya seminar. Sementara Runa menemani Khan bermain di samping kolam ikan yang berada di depan tempat mereka menginap.
“Mbak Runa, bapak izin keluar jalan-jalan, ya. Nanti kalau ada apa-apa, Mbak Runa tinggal telpon saja,” pamit Pak Sarto—lelaki paruh baya yang sudah lama bekerja pada keluarga Sandy.
“Injih, Pak. Dinikmati saja, sekalian cari udara segar,” jawab Runa sopan.
...*****...
Sandy tiba di tempat mereka menginap ketika hari beranjak sore. Udara panas kota Yogyakarta yang berbanding terbalik dengan udara Dieng tentu membuat mereka merasa tidak nyaman. Apalagi untuk anak seusia Khan.
Malam harinya, mereka jalan-jalan menyusuri sepanjang jalan Malioboro. Suasana begitu ramai karena akhir pekan. Banyak sekali wisatawan yang berlalu-lalang, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Bahkan pelancong dari luar Indonesia pun sudah terlihat di antara para wisatawan meskipun tidak sebanyak dahulu.
Mereka duduk di bangku beton di titik nol kilometer sembari menyaksikan pertunjukan yang digelar oleh anak muda di lokasi tersebut. Ada beberapa mahasiswa yang menari, ada juga pertunjukan bakat yang digelar untuk menarik perhatian para wisatawan.
Sandy tersenyum melihat Runa dan Khan begitu menikmati suasana malam ini. Apalagi senyum Runa terlihat begitu lepas. Tidak seperti senyumnya beberapa tahun silam ketika pertama kali Sandy bertemu dengan wanita itu.
“Aku tidak tahu seberapa kelam masa lalumu. Aku juga tidak membenci masa lalumu. Justru dengan adanya masa lalu, aku lebih mengenalmu sebagai sosok wanita yang tangguh. Dan hal ini yang membuat aku selalu merasa nyaman berada di sisimu.” Sandy berkata pada hati kecilnya ketika melihat Runa memeluk Khan sambil tertawa bahagia.
...*****...
Pagi harinya, jadwal mereka adalah ke timezome untuk memenuhi janji Sandy pada Khan. Empat jam adalah waktu yang lama untuk mencoba wahana yang ada. Meskipun tidak semua wahana yang Khan nikmati, tetapi bocah lelaki itu merasa sangat puas. Mereka kemudian kembali ke homestay dan siap-siap untuk chek out. Setelah semuanya beres, mereka segera menuju stasiun Tugu untuk menjemput sang nenek.
Selama perjalanan pulang, suasana di dalam mobil terasa sedikit canggung. Runa dan Khan tidak banyak bicara. Hanya Nenek Sandy saja yang mendominasi percakapan di dalamnya. Kurang lebih 5 jam perjalanan mereka lalui. Jalanan begitu padat hingga mereka tiba di rumah ketika hari sudah larut malam.
...***** ...
“Nenek lihat hubunganmu sama perempuan itu semakin dekat saja, Sandy,” kata Nenek di teras rumah keluarga Sandy.
“Runa, Nek. Perempuan itu namanya Runa,” ralat Sandy yang merasa tidak suka dengan sebutan itu.
“Terserahlah. Mau Runa, mau Muna atau apalah …. Sudah sejauh apa hubungan kalian?” selidik Nenek dengan muka ketus.
“Sebentar lagi Sandy akan menghalalkan Runa, Nek.”
“Apa nggak ada perempuan lain yang lebih sempurna dari dia? Nenek rasa banyak wanita yang bersedia kamu nikahi selain perempuan itu,” tegas Nenek.
“Menurut Nenek, kesempurnaan seorang wanita itu dilihat dari mana? Runa adalah wanita yang baik, sopan, cerdas. Dia juga bisa cepat berbaur dengan lingkungan sekitarnya. Mama saja sayang sama Runa. Terus yang membuat Nenek tidak suka pada Runa itu apa?” Sandy mencoba menahan emosi, karena setiap kali mereka bertemu hanya masalah Runa yang dibahas oleh neneknya.
“Dia tidak pantas untuk kamu, Sandy. Kamu cucu kesayangan nenek. Nenek ingin kamu mendapatkan seorang istri pilihan.” Nenek masih saja dengan pendapatnya.
“Pilihan Nenek, maksudnya? Yang mau nikah itu Sandy, Nek. Bukan Nenek. Jadi Sandy yang lebih tahu siapa yang paling pantas untuk mendampingi Sandy.” Sandy bangkit dan berlalu menuju resto. Meninggalkan neneknya sendirian yang masih menikmati teh panas khas Wonosobo.
...*****...
...To be continued...
...Jangan lupa tinggalkan jejak, readers baik hati dan suka kasih gift 😅...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Sufisa ~ IG : Sufisa88
Nenek jangan menilai orang dari luarnya aja 🙄
2022-12-19
0
erenn_na
Bismillah, Sandy
2022-12-17
0
Yusma Aryandi
Si nenek kenapa ya? kok sewot banget
2022-12-16
0