02

...****...

...~ Jika kamu adalah kenangan, kamu adalah kenangan terindah yang mewarnai hidupku. Namun aku berharap, semoga kamu bukan hanya menjadi kenangan, tetapi sebuah harapan yang kelak mampu aku halalkan. ~...

...Byakta Kalingga...

...****...

Ata masih setia mendekap sang pujaan hati. Ia biarkan Runa meluapkan kesedihan. Mungkin, ini terakhir kalinya ia menjadi tempat bersandar bagi Runa. Ia pun ingin menikmati moment ini.

Tidak ada umpatan yang ke luar dari bibir manis itu. Bibir yang senantiasa menjadi candu untuk Ata. Bibir yang selalu mengatakan cinta dengan penuh kasih. Ata membelai lembut surai milik Runa. Sebutir bening itu juga lolos dari sudut matanya, tetapi segera ia seka.

“Jika saat aku kembali dan telah menggapai cita-citaku kamu masih sendiri, aku berjanji akan memperjuangkan kamu, Run. Akan kujadikan kamu istriku, ibu dari anak-anakku.” Sebuah janji yang hanya mampu Ata utarakan dalam hatinya.

“Kamu boleh maki-maki aku, Run. Keluarin semua kekecewaanmu. Jangan cuma nangis kayak gini. Hatiku semakin sakit lihat kamu kayak gini,” pinta Ata.

Hanya ada suara isak yang ke luar dari bibir mungil itu. Runa sendiri kesulitan untuk meluapkan segala emosi yang mendera di dalam dada. Rasanya teramat sakit, hingga Runa tak mampu menjabarkan.

Marah, kecewa, putus asa, semua bergumul menjadi satu. Menghantam dengan keras hatinya yang rapuh. Hanya ada secuil harapan yang tersisa. Runa berharap, Ata merubah keputusannya.

Setelah puas menangis, Runa melepaskan diri dari Ata. Manik mereka bertemu. Menyelami luka masing-masing lewat sorot sendu yang membayang.

“Ata,” lirih Runa.

“Ya, Run.” Ata menghapus sisa air mata di pipi Runa.

“Tidak adakah harapan untuk hubungan kita?”

Ata termangu. Ia menggeleng lemah. “Maafkan aku, Run.”

“Pikirkan sekali lagi, Ta. Empat tahun kita selalu bersama. Sekarang tiba-tiba kita harus berpisah, menjalani kehidupan masing-masing. Apa menurut kamu, kita bisa melewatinya? Kalau seandainya kamu bisa, apa kamu nggak mau mikirin aku? Apa aku bisa tanpa kamu?” Runa mengiba. Menatap Ata dengan memelas.

Ata menangkup pipi Runa dengan kedua telapak tangannya. Ia kecup kening itu begitu lama. “Sekali lagi maafkan aku, Run. Aku nggak bisa. Kita tetap harus mengakhiri hubungan kita.”

Lagi, butiran bening itu kembali menganak sungai. Mata yang sembab juga pipi yang basah adalah bukti kesakitan yang Runa alami. “Sungguh semuanya tidak berarti?” racau Runa. Pertanyaan itu ia tujukan pada dirinya sendiri, tetapi Ata ikut menanggapi.

“Bukan seperti itu, Run. Kamu sangat berarti buat aku.”

“Bohong!” sanggah Runa, “jika aku berarti buat kamu, kamu nggak akan seenaknya untuk mengakhiri hubungan kita.”

Hening. Ata tidak sanggup lagi menyangkal. Runa hempaskan tangan Ata yang masih setia melingkupi pipinya. Kembali Runa menghapus kasar air mata yang setia mengalir.

Runa dan Ata sama-sama tertunduk. Menatap rumput hijau yang berayun mengikuti arah sang bayu. Rumput yang selalu setia tanpa pernah bertanya ke mana arah sang bayu menerpa. Seakan mengejek mereka berdua yang tengah dirundung duka.

Sekarang Runa tidak akan mengiba lagi. Sudah cukup ia tahu arti dirinya bagi Ata. Dirinya tidak lebih penting bagi ambisi Ata sendiri.

“Baik, jika memang itu yang kamu inginkan.”

Ata mengangkat kepala, menoleh ke arah Runa yang masih setia melihat rumput.

“Aku melepaskan kamu. Pergilah! Aku bukan siapa-siapa kamu lagi. Anggap saja apa yang telah kita lewati bersama kemarin hanya sebuah permainan yang tak berarti.”

“Run?” Kalimat pedas yang diucapkan Runa mampu menggetarkan sudut hati Ata. Bagai belati yang mengiris hingga membuatnya meringis.

“Mulai sekarang hapuslah nama Runa dalam hati, pikiran, dan lisanmu, agar tidak membebani langkahmu. Semoga kamu sukses meraih cita-citamu.” Runa bangkit dari duduk tanpa berniat melihat wajah Ata untuk terakhir kalinya. “Selamat tinggal, Byakta Kalingga.”

Dengan langkah mantap, Runa pergi meninggalkan Ata yang termangu. Sebutir kristal kembali jatuh dari sudut mata Ata. Rasa sesak menghimpit hati, hingga rasanya Ata tidak sanggup melalui. Ata menatap punggung kecil Runa yang semakin menjauh hingga hilang dari pandangan.

“Maafkan aku, Run. Sungguh maafkan aku,” lirihnya dalam sejuta sesal. Ia menangkup wajahnya sendiri untuk menyembunyikan air mata yang masih setia menetes.

“Kamu adalah kenangan terindah yang pernah singgah di hidupku. Kamu adalah warna yang mampu menghadirkan cerita dalam langkahku. Aku pun tak tahu seandainya aku tanpamu apa jadinya aku, karena kamu adalah detak dalam nadiku. Aku akan sangat merindukanmu, Run. Tunggu aku kembali.”

...***...

“Sayang, kenapa lama sekali?” Suara itu menyapa indera pendengaran Runa setelah ia menghampiri anggota keluarganya.

“Maaf, Ma.”

“Mbak Runa habis nangis?” tanya Runi setelah menelisik mata Rina yang sembab.

Ayah serta mamanya turut memicing memperhatikan Runa. “Ada yang tidak beres, Nak?”

“Enggak ada, Yah. Tadi sedih karena perpisahan sama temen-temen aja,” kilah Runa, “banyak banget makanannya, Ma?” Runa mencoba mengalihkan perhatian. Ia tak mau keluarganya semakin curiga akan keadaannya. Senyum manis ia hadirkan untuk menutupi kekalutan.

“Sengaja mama pesen banyak, biar kamu gendutan dikit.”

“Emangnya aku kurang gendut?” Runa mengambil sesendok cumi asam manis kesukaannya untuk ia letakkan di piringnya.

“Kamu kelihatan kurus banget, loh, Mbak. Beda sama adek kamu yang terlihat lebih berisi,” papar sang mama.

“Runi gendut, ya, Ma?” Runi yang dikatakan berisi oleh sang mama turut memperhatikan tubuhnya hingga mengundang senyum sang ayah.

“Kamu nggak gendut tapi bohay, Dek,” ejek Runa.

“Ish ... Mbak Runa. Biarin Runi bohay, daripada Mbak Runa kurus kerempeng. Sekali banting langsung patah semua, tuh, tulangnya.”

Saling mengejek antara adik dan kakak itu terus berlanjut hingga acara makan siang itu selesai. Mereka semua terlihat bahagia. Orang lain sudah pasti bisa menebak jika mereka adalah keluarga yang harmonis. Lina dan Lukman begitu bangga memiliki putri-putri cantik dan pintar seperti Runa dan Runi.

...***...

“Semuanya sudah disiapkan, Nak?” Maya menghampiri sang putra yang tengah berkemas.

“Sudah, Ma.”

Tanpa terasa hari ini adalah hari keberangkatannya. Ingin sekali Ata menemui Runa untuk terakhir kalinya, tetapi sayang, sejak pertemuan terakhirnya di kampus, Runa tidak bisa lagi dihubungi. Ata sudah mencoba menghubungi teman terdekat Runa, tetapi nihil karena Ayu –teman dekat Runa –sudah pulang ke kota asalnya setelah wisuda dan tidak mengetahui perihal Runa.

“Ayo berangkat!” ajak Hasan.

Ata menghela napas panjang. Pupus sudah harapannya bertemu Runa. Semua tinggal kenangan yang tidak bisa terlupakan. Ata hanya berharap, kelak ia bisa bertemu Runa kembali untuk memulai semuanya kembali dari awal.

Mobil Inova hitam yang dikendarai Ata dan keluarganya tiba di Bandara Juanda tepat waktu. Hasan dan Maya melepas putra semata wayangnya dengan haru. Seorang gadis kecil yang turut ada di sana pun ikut terharu.

“Tante dan Om titip Ata, ya, Al.” Maya mengusap lembut pundak seorang gadis yang dipanggilnya Al.

Gadis itu tersenyum manis, “Tante sama Om tenang aja. Al akan jagain Mas Ata dengan baik selama Al di sana.”

“Berapa lama liburan di sana, Al?” tanya Hasan.

“Sebulan, Om. Sambil nunggu masuk kuliah.”

“Salam buat oma kamu, ya.”

“Baik, Om. Nanti Al sampaikan sama oma."

Ata hanya diam menyaksikan interaksi kedua orang tuanya dengan gadis yang ia ketahui namanya Alea. Seorang gadis kecil yang ikut membersamainya dalam perjalanan menuju negeri Ratu Elizabeth.

Baru sebulan yang lalu Ata mengenal gadis itu melalui budenya saat diminta sang bude mengantar ke acara dinas. Bagi Ata, Alea adalah gadis yang menyenangkan. Kelembutannya membuat Ata mengagumi sosok Alea. Tutur katanya, cantik parasnya, body-nya yang aduhai merupakan paket komplit yang bisa menarik simpati kaum adam tanpa bersusah payah.

...***...

Setelah seminggu menenangkan diri, Runa mencoba bangkit dari keterpurukan. Sekali lagi ia akan mencoba untuk mencegah kepergian Ata dari hidupnya. Ia tidak yakin mampu melewati harinya tanpa Ata.

Berkali-kali Runa mencoba menghubungi nomor Ata, tetapi tak sekalipun terhubung hingga ia menghubungi David –sahabat Ata. Runa bersimpuh saat mendengar kabar dari David. Satu kata yang ia sesali. Terlambat. Ata-nya telah pergi.

...****...

...To be Continued .... ...

...Jangan lupa tinggalkan jejaknya. 🤗...

Terpopuler

Comments

Fitri_hn28

Fitri_hn28

lah .. Ata baru ditinggal Runa bentar udah mulai melirik yang lain🤔🤔🤔

2022-12-15

0

Fitri_hn28

Fitri_hn28

egois☹️

2022-12-15

0

Fitri_hn28

Fitri_hn28

😌😌😌😌Halah....janji palsu

2022-12-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!