...****...
...~ Seperti senja yang hadirnya hanya sesaat tapi mampu mengalihkan waktu. Seperti itu pula hadirku yang mampu mengalihkan duniamu. Akan tetapi, aku berharap hadirku tidak seperti senja. Aku ingin terus menetap seperti Langit yang selalu setia menemani bumi. ~...
...Sandyakala...
...****...
“Kamu sudah makan?” Pertanyaan dari seberang sana membuat Runa tersenyum. Segala perhatian yang ia dapatkan dari pemilik suara itu mampu memicu semangatnya kembali saat ia terpuruk.
“Mas sudah makan?” tanyanya balik.
“Kebiasaan, ya, kamu itu. Setiap kali ditanya pasti nanya balik.” Suara yang terdengar sedikit kesal itu justru membuat Runa terkikik geli. “Jangan ketawa kamu. Buruan makan!”
“Iya- iya. Habis ini Runa makan. Mas juga jangan telat makannya.”
“Awas kalau kamu lupa makan. Kalau pingsan aku nggak mau bopong kamu lagi.”
“Ck! Siapa juga yang mau dibopong sama Mas?”
“Eh, sudah berani ngeledek, ya, sama orang yang lebih tua.”
Runa semakin tertawa mendengar kekesalan orang di seberang sana. Bahagia—satu kata yang menggambarkan kehidupannya saat ini. Setelah ia mampu melewati semua cobaan dalam hidup. Tiba-tiba ingatannya kembali berputar ke masa lalu.
Tujuh tahun yang lalu, ia terseok meniti tangga kehidupan setelah ditinggalkan orang yang dicintai. Bahkan ia lebih sering merasakan perih dan sakit karena terjatuh. Runa muda bahkan sempat mati rasa saat menelan pil pahit kehidupan.
Benar apa kata orang, hidup itu berputar seperti roda. Kadang di bawah, kadang juga di atas. Setelah 22 tahun hidup di dunia yang terasa begitu sempurna bagi Runa, tepat setelah kepergian Ata, hidup Runa dijungkir balikkan oleh ujian.
Runa berjalan sendirian. Tidak ada lagi tawa yang biasa ia dengar. Tidak ada lagi celoteh Runi yang biasanya ia ajak bertengkar. Juga tidak ada lagi omelan kedua orang tuanya yang selalu menginginkannya menjadi sempurna.
Di balik duka yang mendekapnya, Runa bersyukur bertemu dengan seseorang yang memberikan bahunya untuk ia jadikan tempat bersandar. Ya, bahu seseorang yang tengah kesal di ujung sana.
“Mas,” panggilnya setelah tersadar dari lamunan panjang.
“Ya, Run.”
“Makasih banyak untuk semuanya.” Suara Runa terdengar lirih di seberang sana.
“Kenapa tiba-tiba jadi mellow? Terjadi sesuatu?”
“Kenapa berpikir begitu?”
“Runa!” erangnya kesal saat lagi-lagi Runa balik bertanya padanya. Sedangkan Runa tertawa terbahak setelah mematikan sambungan teleponnya.
...****...
“Khan! Jangan lari-lari, awas jatuh!” ucap seorang wanita paruh baya yang baru saja menjemput dari sekolah.
Khan berhenti setelah mendengar peringatan dari neneknya. Keduanya baru saja turun dari mobil yang berhenti tepat di depan warung makan.
“Khan ingin ketemu sama ayah, Nek. Bukannya Nenek bilang tadi di sekolah, kalau sampai rumah, Khan perlihatkan ini sama ayah?” ujar anak kecil laki-laki berusia enam tahun seraya menunjukkan hasil gambarnya yang mendapat nilai seratus.
Wanita paruh baya yang berbalut kacamata itu tersenyum mendengar penuturan sang cucu. Ia pun berjongkok di depan Khan, seraya mengelus rambut anak yang berbalut seragam sekolah putih merah.
“Iya, Sayang. Tetapi tidak dengan berlarian seperti tadi. Kalau kamu nanti jatuh gimana? Nenek, kan, jadi sedih.”
“Maafin, Khan, ya, Nek. Khan janji tidak akan nakal dan buat Nenek sedih lagi,” tutur Khan sambil menunduk.
Bu Mira tersenyum dan memeluk Khan. “Iya, Sayang. Nah, sekarang ayo kita masuk ke rumah, ayah sepertinya belum ke resto.”
Sementara itu, Sandy masih duduk di depan meja kerja mengecek laporan pemasukan bulanan restoran yang dikelolanya sejak lima tahun terakhir. Dengan konsep tradisional berpadu modern.
Sandy membuka restoran di kawasan wisata Dieng yang hampir tiap hari ramai di kunjungi wisatawan. Restoran yang ia bangun bersambung langsung dengan rumah tempat tinggalnya. Area parkir untuk pengunjung luas dan tidak memakai bahu jalan, karena sebelumnya Sandy membeli lahan di samping rumahnya sebagai tempat parkir bagi pengunjung yang datang singgah.
Di tengah keseriusannya berkutat dengan laporan, suara anak kecil mengalihkan konsentrasinya.
“Ayah, Khan boleh masuk nggak?” tanya Khan di balik pintu berbahan jati putih.
“Masuk aja, Khan.”
Setelah mendapat persetujuan dari dalam, anak kecil yang masih berseragam sekolah itu pun masuk dengan membawa hasil gambarnya.
“Ayah, tangkap, Khan.” Khan berlari menuju Sandy yang duduk di kursi kerjanya.
Sandy lekas bangkit dari tempatnya dan menangkap Khan seperti biasa.
“Sepertinya hari ini kamu senang banget, yah! Apa ada hal baru lagi yang membuat Khan ceria?” tanya Sandy penasaran. Sandy yang hafal sikap Khan tentu paham jika anak itu ceria pulang sekolah pasti ada satu hal yang menjadi penyebabnya.
Entah itu Khan juara di kelas mendapatkan nilai bagus, atau bisa juga karena Khan senang mendapatkan teman baru lagi. Ada saja cerita Khan yang ia bawa pulang dan diceritakan kembali pada Sandy.
Anak kecil yang berada di pelukan Sandy mengulurkan tangan memperlihatkan hasil gambarnya yang mendapatkan nilai sempurna.
“Ini, Yah ... Khan dapat nilai seratus lagi dari guru,” terangnya dengan semringah menampilkan lesung di pipi kanannya.
“Wah, Khan pintar. Hebat lagi. Siapa dulu dong? Sayangnya, ayah.” Sandy mengusap dan mencium kepala Khan yang berada dipelukannya.
“Karena Khan, sudah dapat nilai seratus, gimana kalau weekend nanti ayah bawa Khan ke time zone sebagai hadiah karena Khan sudah rajin belajar.”
“Mau, Yah. Khan mau,” ucap anak tersebut dengan riang.
“Kalau gitu, sekarang Khan ganti baju dulu. Habis itu makan dan tidur siang, yah!”
“Oke, Yah!” balas Khan dengan menaikkan ibu jarinya, lalu berlalu keluar.
Sandy tersenyum memandang Khan yang sudah menghilang di balik pintu. Ada kebahagiaan tersendiri bagi Sandy saat sang anak berceloteh padanya.
...****...
Suasana resto ‘Madang’ menjelang makan siang cukup ramai dipadati pengunjung. Berhubung karena akhir pekan, jumlah pengunjung membludak dua kali lipat dibanding hari biasanya.
Seorang wanita muda memakai apron hitam tengah sibuk berkutat di balik dapur menyiapkan pesanan pengunjung. Peluh yang membanjiri dahi dan pelipisnya sesekali ia seka dengan handuk putih yang ia sampirkan di bahu kanannya. Karena bagi seorang juru masak, kebersihan adalah yang utama. Jadi, Ia selalu menjaga keringatnya agar tidak sampai jatuh ke dalam makanan yang dia buat.
“Mbak Runa, pesanan meja nomor empat sudah siap?” tanya salah satu pegawai yang bertugas sebagai pelayan.
“Iya, sudah. Itu ada di meja.” Sahutnya tanpa menoleh karena tengah serius meracik bumbu kari yang akan dituangkan ke dalam masakan.
“Oke. Kalau pesanan meja nomor sepuluh apa juga sudah siap, Mbak?” tanya pelayan perempuan yang usianya lebih muda.
“Sementara diproses!”
Yah, wanita itu adalah Arunika. Wanita yang sibuk berkutat di depan kompor itu memutuskan pindah ke Wonosobo tujuh tahun lalu dan sekarang di sinilah ia melanjutkan kembali kehidupannya setelah pergi dari kota kelahirannya.
Tepat jam lima sore, Runa melepas apron yang melekat di tubuhnya. Ia pun bersiap-siap untuk kembali pulang dan membersihkan diri.
“Mbak Wati, semua bumbu yang diperlukan sudah saya buat dan saya taruh di dalam kulkas, ya!” kata Runa pada wanita paruh baya yang berada di sampingnya, “saya pulang dulu. Nanti habis isya saya kembali.”
“Baik, Mbak.”
Runa bergegas pulang ke rumah yang tak jauh dari resto ‘Madang’ dengan jalan kaki.
“Assalamualaikum,” ucapnya saat memasuki rumah.
“Wa’alaikumsalam.” Terdengar sahutan dari dalam. Runa segera menghampiri pemilik suara.
“Sudah makan, Sayang?” tanya Runa sembari mengecup singkat pipi yang membuat Runa gemas itu.
“Sudah, dong.”
Sekali lagi Runa megecup pipi itu sebelum meninggalkannya menuju kamar.
“Ish ... selalu seperti itu. Nggak ada yang lain apa?” gerutunya setelah kepergian Runa. Runa yang masih bisa mendengar gerutuan itu hanya tertawa renyah.
...****...
...To be continued...
...Jangan lupa tinggalkan jejak 🥰...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Tina Maulana 🍉
masih nyimak
2022-12-16
0
Fitri_hn28
banyak nama Baru tapi dimana Ata?
2022-12-15
1
Fitri_hn28
penasaran siapa Sandyakala
2022-12-15
0