Mili memakai blus dan celana katun untuk hari pertama di perusahaan. Meskipun dengan pakaian sederhana nan murah meriah, Mili tetap tampak manis.
Haras yang ditugasi menjadi perantara Mili oleh direktur utama, muncul. Mili langsung berdiri dan memberi salam dengan hormat dan sopan.
"Bersikaplah biasa. Aku bukan direktur Cahaya. Aku hanya orang yang selalu di perintah olehnya," ucap Haras menepis sikap hormat Mili yang di anggap berlebihan. Karena ia memperlakukan Haras mirip dengan Cahaya kemarin.
"Ma-maafkan saya. Saya terlalu senang karena di terima sebagai karyawan perusahaan Mandala." Mili langsung memperbaiki sikap.
"Ini ID Card kamu. Tidak semua orang tahu kalau kamu adalah teman Banu. Jadi jangan mengatakan apa-apa pada orang yang baru kenal. Selalu waspada dan siaga."
"Baik, Pak."
****
Mili makan siang sendirian di taman perusahaan yang letaknya di atap. Dia makan bekal yang ia bawa. Roh Banu melayang mendekat ke arahnya.
"Kamu makan siang?" tanya Banu seraya duduk.
"Sudah tahu, Bapak masih nanya," ujar Mili membuat Banu menipiskan bibir. Ia melongok ke dalam tempat bekal. Hanya ada sayur 1 porsi dan tempe 2 biji.
"Kenapa makan banyak sekali?" Sebenarnya Banu bukan bertanya soal itu. Dia ingin bertanya kenapa lauk pauknya sedikit sementara nasinya banyak. Namun tidak jadi karena masalah kemanusiaan.
"Aku harus kuat dan sehat karena harus berjuang di perusahaan yang elit ini. Walaupun sebenarnya aku tidak terlalu pintar, tapi akan aku coba untuk bisa." Mili menyendok makanan ke dalam mulutnya. "Bukannya Bapak sudah sudah payah membuat saya masuk dalam jajaran karyawan elit Mandala? Saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang sudah Bapak buat untuk saya."
"Kamu tipe pekerja keras rupanya," puji Banu.
"Tentu saja. Dengan kondisi saya sebagai anak yatim piatu, saya harus selalu berjuang. Karena jika tidak begitu, saya tidak akan bisa berdiri dan menatap ke depan. Karena saya akan terpuruk." Ada nada sedih di sana. Baru merasa menyesal sudah menggiring gadis ini pada rasa sedih.
Saat itu terdengar sebuah suara di pintu masuk ke area taman ini.
"Hei, kamu Mili kan?" tegur sebuah suara dari arah pintu masuk ke atap. Gadis ini menoleh. Deg! Jantungnya berdetak kencang. Itu Hilda. Cewek yang selalu ingin di atas orang lain.
Kenapa harus ada dia di sini?
"Ya," sahut Mili akhirnya. Hilda dan dua temannya mendekat ke arah gadis ini.
"Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Hilda merasa aneh menemukan Mili yang kurang populer di sekolah berada di atap perusahaan Mandala yang populer. "Tidak mungkin kamu juga karyawan perusahaan, kan?" Dari nada bicaranya, Hilda sudah ingin merendahkan Mili.
"Aku karyawan perusahaan Mandala, kok," sahut Mili membuat gadis itu terhenyak kaget.
"Benarkah? Itu kan tidak mungkin," kata Hilda seraya mendengus mencemooh kalimat Mili.
"Benar. Ini Id card-ku." Mili menunjukkan kalung id card yang melingkar di lehernya.
"Apa?!" Tanpa permisi, gadis itu menarik ID Card yang melingkar di leher Mili karena tidak percaya. "Apa ini palsu?" tanya dia tidak ingin mempercayai kalau ID card itu asli. Karena jika begitu, taraf elit yang dia sematkan pada dirinya sendiri terlihat biasa saja. Sebab sekarang ada yang menyainginya. Pun itu adalah Mili. Gadis yatim piatu dan miskin.
"Itu asli." Mereka bergumam sendiri. Lalu Hilda melemparkan ID card itu seenaknya.
"Aku tidak ingin di sini. Sebaiknya kita pergi saja ke tempat lain," keluh Hilda yang ingin menjauh dari gadis ini. Lalu mereka pergi setelah Hilda mendengus ke arahnya karena merasa sudah ada saingan. Mili hanya menipiskan bibir mendapat perlakuan seperti itu. Dia sudah biasa.
"Kenapa kamu diam saja?" tanya Banu yang melihat kejadian barusan.
"Kenapa?"
"Mereka merendahkan mu, Mili."
"Tidak. Tanpa merendahkan aku, statusku du masyarakat memang sudah rendah. Bukankah aku ini yatim piatu dan miskin. Bagaimana pun di mata mereka itu adalah status rendah," jawab Mili santai.
Banu menatap gadis ini. Sepertinya dia gadis yang malang. Namun dia tidak ingin keadaanya terlihat menyedihkan. Jadi dia berusaha tampak kuat dengan apapun yang orang lain katakan.
"Kamu tidak sendirian. Aku juga yatim piatu. Hanya bibi yang aku punya." Banu bercerita. Ini pertama kalinya dia bercerita soal dirinya selain tentang perusahaan.
"Walaupun begitu, kita tidak sama. Mereka merendahkan aku karena aku miskin, tapi mereka tidak akan merendahkan yatim piatu seperti Bapak," kata Mili. Nada bicaranya normal. Dia tidak sedang marah dengan perbedaan mencolok dari masyarakat.
"Aku ini sudah berada pada posisi rendah, Pak. Jadi apapun yang mereka katakan tidak akan merendahkan aku. Karena aku tidak jatuh ke bawah. Aku akan tetap pada posisiku sekarang," pungkas Mili seraya membereskan tempat bekal. Selanjutnya meneguk minuman. Kemudian berdiri dan meregangkan tubuhnya. "Ughhh ... enaknya menegangkan tubuh seperti ini. Sekarang kembali ke ruangan."
Kamu gadis yang kuat. Semoga kedepannya masa depanmu cerah. Banu mendoakan., Kak."
***
Saat kembali ke ruangan, di lorong Mili bertemu dengan direktur utama.
Bibi! teriak Banu di dalam hati. Perempuan inilah yang selalu menjadi penopang hidupnya. Mata Banu berkaca-kaca melihat direktur Cahaya. Ia rindu.
"Selamat siang, Bu." Mili juga menyapa pada Haras yang ada dibelakang beliau.
"Oh, kamu ... " Ujung mata perempuan ini melirik ke arah ID Card yang di pakai Mili. "Kamu sudah resmi menjadi karyawan perusahaan Mandala," kata Cahaya.
"Benar. Ini berkat dukungan ibu. Terima kasih."
"Bukan. Itu karena nama Banu ada di belakang kamu. Aku permisi," kata direktur Cahaya pamit dengan dingin.
"Iya, Bu. Silahkan." Mili membungkuk lagi memberi hormat.
"Bibiku bukan orang jahat. Dia tampak dingin hanya dari luar saja. Sebenarnya dia baik," kata Banu melegakan hati Mili karena kalimat dingin Bibi Cahaya.
Saat itu ada seorang pria. Dia tinggi, tampan dan berwibawa. Kepala Mili mengangguk sopan. Meskipun belum mengenal banyak orang, Mili yakin orang itu adalah orang penting. Melihatnya saja langsung ketahuan.
"Kenapa banyak pria tampan di perusahaan ini?" tanya Mili takjub.
"Dia Dirga. Orang yang menggantikan aku saat aku koma," ujar Banu memberi tahu. "Dia CEO sementara."
"Wahh ... pantas saja auranya terlihat luar biasa." Mili percaya.
"Dan aku juga curiga, dialah yang membuat aku kecelakaan parah," kata Banu dengan dingin.
"Benarkah?" tanya Mili seraya menoleh ke belakang untuk melihat ke arah pria itu lagi. "Dia tampan dan keren, lho."
"Jadi menurutmu kalau tampan itu adalah orang baik?" tanya Banu dengan wajah masam. Dia tidak setuju karena Mili tidak sependapat dengannya.
"Tentu saja."
"Dari mana asal pepatah itu?" dengus Banu. Dia tidak terima jika orang yang dicurigai mencelakainya dikatakan orang baik. Itu menyakitinya.
"Karena Bapak," tunjuk Mili pada Banu sambil tersenyum.
"Aku? Apa maksud kamu?" Kening pria ini membuat kerutan samar.
"Bapak juga tampan dan keren. Karena itu, menurutku seharusnya orang tampan dan keren itu baik hatinya seperti Bapak," ujar Mili membuat Banu ikut menipiskan bibir dan tersenyum juga pada akhirnya.
..._______...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Nunaa Zajalah
karya lady g pernah ad yg gagal sih
2023-11-19
0
Jane
bagus kayaknya nih
2023-10-23
0
Chesta Haydar
jgn2 yg menghina milli itu bersengkokol dgn Dirga untuk mencelakai banu agar dia jdi ceo.
2023-06-21
0