"Mas Rasyid, berhenti dimana?" tanya Pak Agus, supir kepercayaan pak Oman.
"Disini saja pak, sudah dekat kok jalan sedikit ke dalam gang." jawab Rasyid seraya melepaskan safety belt.
"Baiklah mas. Hati hati mas."
"Siap pak. Terimakasih ya pak, saya duluan. Assalamualaikum."
Rasyid keluar dari mobil mewah milik pak Oman, berjalan menuju kontrakan nya yang berjarak 500 meter dari depan jalan besar. Kontrakan keluarga pak Hadi berada di lingkungan padat penduduk di pinggiran ibu kota. Sejak Rasyid lahir mereka sudah menetap di kontrakan tersebut, menjalani hari hari di dalam ruangan sederhana namun selalu hangat oleh suasana kekeluargaan.
Meski ada saja perdebatan kecil yang terjadi keluarga pak Hadi selalu bisa saling memaafkan, tidak berlarut dalam rasa kesal dan amarah yang mendalam. Hal ini yang selalu di ajarkan oleh pak Hadi dan ibu Tuti kepada anak anaknya.
Setelah Rasyid sampai di kontrakan dan mengetuk pintu...
"Bang Rasyid kok baru pulang? Pacaran dulu ya?" tanya Sarah yang kebetulan membukakan pintu karena seisi rumah nya sudah tidur.
"Enak saja. Memangnya kamu! Sudah sana tidur lagi." jawab Rasyid sambil membuka jaket dan menggantungkan tas di belakang pintu kontrakan mereka.
"Bang Rasyid jadi beli motor? Bisa dong nanti Sarah nebeng sampai ke sekolah." tanya Sarah mengukir tawa ringan penuh harap kakak nya mau membonceng Sarah.
"Ya ayo saja tapi sampai depan saja ya kan sekolah kamu sama tempat kerja abang ngga satu arah."
"Ah abang jahat. Bilangin bapak sama ibu loh." Sarah mengancam.
"Terserah kamu lah. Sudah. Abang capek mau tidur."
Keesokan harinya..
"Semalam kamu pulang di antar Miftah nak?" tanya pak Hadi yang sedang menyantap nasi lengkap dengan tempe goreng dan sambal terasi.
"Di antar supir pakde nya Miftah pak karena dia sakit, menginap juga di rumah pakde nya."
"Mif sakit apa nak?" tanya bu Tuti
"Belum tahu bu tapi bilang sama Rasyid sih pusing, terik sekali bu kemarin. Rasyid saja sempat pusing." jawab Rasyid yang juga sedang menikmati sarapan pagi.
"Bang jadi kan antar aku ke sekolah sekarang?" tiba tiba Sarah berbicara.
"Motor nya juga belum abang ambil, ini abang nebeng sama bapak karena mas Miftah ngga masuk kerja. Kamu jalan kaki saja sampai depan, biasanya juga begitu kan?"
"Ya sudah aku sama bang Anton saja."
"Kalau sudah siap ayo sekarang. Abang buru buru pagi ini dapat giliran piket kelas." jawab Anton dari teras kontrakan.
"Aku belum makan bang iiihhh. Ibu suapin."
"Ah kamu, lagian bangun siang banget sih. Sudah ah abang telat ini. Bu, pak, Anton pamit." jawab Anton yang kesal karena lagi lagi sedikit telat karena menanggapi Sarah.
"Iya nak hati hati. Jangan ngebut ya bawa sepeda nya." jawab pak Hadi.
"Bang, gue duluan." Anton berpamitan juga kepada kakak nya.
"Uang jajan lo masih ada?" tanya Rasyid.
"Masih lah kan baru dua hari yang lalu di kasih sama abang, belum gue pakai."
"Ya sudah, di hemat ya ton. Hati hati."
"Iyeee bawel. Assalamualaikum." sepeda Anton berlari kencang mengikuti arah yang di kemudikan pengendara nya. Sementara Sarah..
"Bang, jajan."
"Uang kamu habis?" tanya pak Hadi terheran heran karena baru dua hari yang lalu Rasyid memberi uang jajan sama rata kepada Sarah dan Anton.
"Masih ada lima puluh ribu lagi, soalnya kuota Sarah habis. Harga nya kan enam puluh ribu pak." jawab Sarah berusaha menjelaskan.
"Sisa nya kemana yang empat puluh ribu?" tanya Rasyid geram.
"Ya jajan dong gimana sih abang ini." jawab Sarah sambil menekuk wajah nya dan berpegangan tangan dengan ibu nya, berusaha meminta perlindungan.
"Boros banget sih kamu de. Abang ngga akan kasih. Anton aja masih awet uang nya. Ayo pak pergi sekarang nanti bapak telat." Rasyid mengajak ayah nya pergi bekerja 45 menit lebih awal untuk menghindari kemacetan di jalan, juga menghindari konflik dengan Sarah yang masih pagi sudah memancing emosi Rasyid.
Sebelum pak Hadi dan Rasyid pergi, pak Hadi memberi isyarat kepada istri nya dengan saling berpandangan lalu mengedipkan mata seraya tersenyum tipis. Mereka pun berlalu menuju tempat kerja masing masing.
Akhirnya Sarah di antar oleh ibu nya sampai ke depan jalan raya tempat Sarah biasa menunggu angkutan kota. Sambil berjalan menuju jalan raya ...
"Nak, ini tambahan uang jajan dari ibu dan bapak. Kamu ngga perlu bilang sama kakak kakak mu ya." ucap bu Tuti sambil menyodorkan uang pecahan dua puluh ribu sebanyak satu lembar.
"Kurang dong bu masa cuma dua puluh ribu? Hari ini aku ada kerja kelompok di rumah Nanda, ongkos nya mahal, belum lagi jajan bakso di rumah Nanda, beli kertas folio, beli spidol, tambah lagi ya bu. Baik banget deh ibu."
"Sisa uang mu kan masih ada lima puluh ribu nak. Uang yang ibu pegang sekarang untuk masak. Memang nya sepulang sekolah kamu tidak akan makan?" tanya bu Tuti sambil mengelus kepala Sarah.
"Ah ibu sama saja seperti abang, pelit. Aku ngga mau sekolah kalau bekal nya cuma di tambah segini." Sarah malah mau menangis di pinggir jalan sambil menginjak bumi menggunakan sepatu nya.
"Astagfirullahaladzim nak, ya sudah ini ibu tambah sepuluh ribu. Tapi makan nanti seadanya ya. Tidak boleh protes!"
"Ya ngga apa apa kan yang duluan sampai rumah bang Anton. Aku sih mau makan siang di rumah Nanda, jajan bakso. Biar aja bang Anton makan nasi dengan sambal. Hehehehehe." ia batal menangis karena uang jajan nya sudah di tambah. Ibu Tuti yang kesal hanya bisa menghela nafas panjang menahan amarah.
"Angkot nya sudah datang. Aku pergi ya bu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Hati hati nak." jawab bu Tuti yang masih kesal dengan sikap Sarah. Ia kembali ke tempat tinggal nya dan melanjutkan aktifitas seperti biasa.
*****
"Miftah sakit apa bro?" tanya Sony.
"Pasti nya sih belum tau bang, gue mau ke rumah pakde nya nih sekarang." sahut Rasyid.
"Paketan lo udah kelar semua?"
"Sudah dong bang Sony ganteng. Gue jalan dulu ya."
"Pakai apa? Angkot? Sama gue aja yok sekalian gue pulang biar lo ngga terlalu jauh naik angkot nya."
"Serius bang? Oke deh, gue nebeng ya."
Tidak perlu waktu lama karena sudah ikut Sony, cukup lima menit dari jalur angkutan kota Rasyid sudah sampai di rumah pak Oman. Tujuannya selain menjenguk Miftah tentu ia akan mengambil motor sekaligus membayar cicilan pertama nya.
"Tok tok tok..."
"Assalamualaikum."
Lima menit berlalu belum juga ada yang keluar membuka pintu.
"Assalamualaikum, permisi."
"Waalaikumsalam, teman nya Mif ya? Masuk mas."
Tia membukakan pintu rumah nya yang di ketuk Rasyid sejak tadi. Tia juga mengantar Rasyid ke kamar tempat Miftah beristirahat.
"Silakan mas, ngobrol dulu aja. Ayah sedang mandi. Tia tinggal ya."
"Eh iya mbak. Terimakasih."
Rasyid langsung menghampiri Miftah yang sedang menonton televisi.
"Bro, gimana kondisi lo?" tanya Rasyid.
"Gue sempet demam tadi pagi makanya gue ngga masuk kantor, tapi sekarang udah jauh lebih baik, di kasih obat penurun demam sama Tia. Eh gue panggil pakde dulu ya."
Miftah menuju ruangan lain untuk memberitahu pak Oman jika Rasyid sudah datang.
Mereka langsung melakukan transaksi pembayaran cicilan pertama melalui transfer rekening dan motor pun di bawa Rasyid menuju kontrakan nya.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments