Bab 4

Erlangga pulang dengan wajah kecewa, masuk kedalam rumah seraya melempar sepatu dan jas yang ia kenakan ke sembarang tempat. Di sisi lain istrinya Ratna langsung menyambut pria paruh baya itu dengan senyuman lembut ketika suaminya pulang.

"Ayah sudah makan?" tanya Ratna sepelan mungkin supaya Erlangga tidak kesal.

"Apa kamu pikir aku masih sempat makan dengan kondisi perusahaanku yang sebentar lagi akan bangkrut, Hah? Bodoh!" ketus Erlangga.

Gian mendengkus mendengar suara kesal Ayahnya. Ia berjalan melewati Erlangga menuju dapur tanpa menghiraukan pria yang masih mengenakan stelan jas tersebut, kemudian menuangkan air putih lalu meneguknya tanpa peduli dengan wajah kesal sang ayah dan kembali menuju kamarnya.

"Hei anak kurang ajar!" tegas Erlangga.

Gian tak menoleh, ia tetap melangkah menuju kamar.

"Apa kamu tuli?!" teriak Erlangga sekali lagi.

"Gian, dengar kata Ayahmu!" suruh Ratna.

Terpaksa Gian memutar langkah karena suara Ratna lalu menghampiri Erlangga yang duduk di sofa ruang tengah.

"Apalagi sekarang? Mau memukul aku dan Mama? Atau mau mengusir kami?" Gian berkata dengan wajah malas.

"Saatnya kamu melakukan tugas sebagai putraku." Erlangga menatap tajam wajah Gian.

Gian terlihat kebingungan dengan perkataan ayahnya. "Apa maksud Ayah?"

"Kakek akan membantu perusahaan Ayah asal kamu mau sekolah ke luar negeri." Erlangga berkata dengan mimik wajah berharap.

Ratna menahan nafas, ia berusaha tidak terkejut dengan keinginan mendadak mertuanya itu.

"Ayah dan Kakek ingin mengusir ku? Mengusir ku dari negara ini?" Kesal Gian dengan permintaan kakeknya yang tak pernah menganggap dirinya cucu itu.

"Aku juga tidak mengerti kenapa Kakekmu ingin mengirimmu keluar Negeri, tapi kali ini menurut lah! hanya ini satu-satunya cara supaya perusahaan ku tidak bangkrut. Apa kamu tega melihat orangtuamu hidup miskin dan terlantar dengan menanggung hutang perusahaan yang jumlahnya tidak sedikit?" Erlangga mengerutkan kening, sebenarnya ia tidak ingin putranya itu pergi, tapi jika hanya ini satu-satunya jalan, apa boleh buat.

Lagipula ia sangat yakin ada sesuatu yang di rencanakan Roy Tubagus dengan mengirim Gian ke luar negeri.

Gian masih mematung. Baru saja 6 bulan dia pindah ke sekolah barunya dan memantapkan hatinya pada seorang gadis pujaannya tapi ....

Haruskah ia menuruti keinginan Kakek yang selalu acuh padanya?

Ratna mendekati Gian. Ia mengusap lengan anak lelakinya itu dengan buliran airmata yang perlahan jatuh tanpa permisi.

"Gian akan pikirkan lagi," ucap Gian akhirnya.

.

.

Pagi yang indah menyelimuti hati seorang gadis yang selalu tersenyum akhir-akhir ini. Setiap kali menyambut pagi di hari Senin ia begitu bersemangat.

Siapa lagi kalau bukan Anin yang mulai merasakan debaran menggembirakan di relung hatinya. Bertemu Sang Pemilik hati yang sudah beberapa minggu ini menjemputnya ke sekolah.

Anin berlari dengan riang keluar gerbang rumahnya saat melihat Gian sudah datang menjemputnya dengan seutas senyuman manis yang menyempurnakan ketampanan alami lelaki itu.

Anin segera memakai helm dan naik ke atas motor milik Gian kemudian keduanya menelusuri jalanan padat di pagi hari, tapi tak terasa bosan bagi dua insan yang sudah merasa nyaman satu sama lain itu.

Namun hari ini Gian tidak seperti biasanya. Ia tampak tak bergairah. Hari ini ia harus mengambil keputusan demi keluarganya.

Apa ia sanggup melepas cinta yang belum sempat ia utarakan? Atau ia ungkapkan saja lalu meminta jawaban?

Gian sangat takut. Ia takut semakin terikat dan sulit melepaskan.

Hari ini ia putuskan akan menikmati detik-detik terakhir bersama Si Gadis yang berhasil mengisi kekosongan hatinya. Gadis pertama yang mampu menerobos dinding hatinya yang selalu penuh dengan kekecewaan.

***

Mauren menyenggol lengan Anin yang sedari tadi fokus menatap pintu kelas. Gian belum juga kembali setelah tadi izin ingin ke kantor kepala sekolah.

"Ada apa? Galau amat," sindir Mauren.

"Gian kok belum balik? Bentar lagi waktu istirahat sudah habis. Apa Gian tidak lapar?" Khawatir Anin.

Mauren menepuk jidatnya. "Susah ya kalau sudah bucin. Bawaannya lebay," nyinyir Mauren.

"Bucin? Enak aja, aku cuma khawatir sebagai teman, Muren." Anin mengerucut bibirnya.

"Yakin cuma teman? Aku rasa kalian pura-pura teman tapi cinta, Iya 'kan?" ledek Mauren sambil mengangkat kedua alisnya.

Sebagai teman Anin tentu Mauren sangat tau perasaan kedua remaja itu. Mana mungkin hanya menganggap teman tetapi pandangan keduanya selalu berbeda setiap kali bersama.

Ada ketulusan dan kenyamanan yang terlihat dari kacamata pengalaman cinta Mauren.

Anin mendesis. "Jangan sok tau!" juteknya.

Pelajaran pun di mulai, tapi Gian juga belum kembali, sementara tas pria itu masih ada di bangku.

Anin mencoba mengirim pesan pada Gian, tapi tak ada balasan. Anin mulai khawatir, ia izin kepada gurunya untuk keluar kelas mencari sosok yang sudah membuatnya gelisah.

Namun dia bernafas lega saat melihat Gian baru keluar dari toilet pria. Rambut dan wajah lelaki itu tampak basah.

"Kamu kemana saja? Aku khawatir, aku kira kamu bolos?" tanya Anin.

"Aku malas ke kelas, matematika sangat membosankan. Bolos yuk, sekali-kali?!" ajak Gian penuh semangat lalu tanpa menunggu persetujuan dari Anin, Gian langsung saja menarik tangan gadis itu. Membawa Anin menuju halaman belakang sekolah yang tampak sepi karena semua murid sedang belajar di dalam kelas.

"Ini tidak baik Gian, kita harus ke kelas sekarang, sebentar lagi kita ujian. Tidak baik bila kita bolos pelajaran."

"Hanya satu kali saja, Dya, aku mohon ...." Gian menangkup kedua tangannya sembari memasang wajah memelas.

"Ya sudah, paling kita di hukum sama Bu Melda," pasrah Anin.

"Tidak apa-apa, selama berdua untuk apa takut." Gian tersenyum bahagia, ia menatap dalam mata gadis yang duduk disebelahnya lantas meletakkan tangan kanannya ke dada. Merasakan debaran yang memang sudah ia pastikan milik gadis cantik bernama Anindya.

Sejak awal menjadi murid baru, Gian memang sudah tertarik pada Anindya. Itu sebabnya Gian memilih duduk di belakang bangku Anin yang ternyata kebetulan kosong.

Seandainya ia tidak pergi, mungkin ia sudah mengungkapkan perasaannya pada Anin.

Namun, ia urungkan karena ia sadar bahwa dirinya tidak pantas bersama dengan gadis dari keluarga baik-baik seperti Anindya.

Dia hanyalah anak yang tidak di harapkan berada di keluarga Tubagus. Anak yang menjadi penyebab Radit dan Kinara berpisah dari Ayahnya.

"Hey kenapa?" tanya Anin yang melihat aura kesedihan di wajah tampan Gian lantas spontan Anin memegang kedua pipi Gian sembari menatap khawatir.

"Jangan terlalu dalam masuk, Dya ...." ucap Gian tanpa sadar.

Anin mengerutkan keningnya, ia tidak mengerti dengan perkataan Gian.

"Maksudnya?"

Gian tersadar. "Ah tidak--tidak, tidak apa-apa." Gian memegang kedua tangan Anin. Menurunkan tangan halus gadis itu dari pipinya.

Mereka saling menatap. Menatap semakin dalam seolah hanya ada mereka berdua di tempat itu kemudian

Gian mendekatkan wajahnya ke wajah Anin perlahan hingga menyebabkan jantung keduanya semakin memompa cepat.

Tubuh Anin sedikit menegang saat bibir lelaki itu mulai mendekat dan semakin dekat sampai hembusan nafas keduanya mulai terasa di pipi masing-masing.

.

.

GIAN JANGAN TINGALKAN AKU!!

Teriak Anin keras sampai akhirnya ia terbangun dari mimpi masalalunya. Gadis itu memegang dadanya yang sakit setiap kali bermimpi tentang Gian selama 10 tahun belakangan.

Ia terisak dengan keringat bercucuran.

Bersambung ....

Mohon dukungannya...

Jangan lupa Like n vote😉

Terpopuler

Comments

Emy

Emy

Mulai seruh nihhhh

2020-10-27

2

RyHna PuTry BungSu

RyHna PuTry BungSu

semangat trus kk👍👍

2020-10-13

0

RyHna PuTry BungSu

RyHna PuTry BungSu

ceritanya kak thorr memang bagus👍👍

2020-10-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!