Semakin hari semakin menjadi candu untuk saling mengenal, saling bergarau atau sekedar bertukar sapa. Cinta memang tak pernah salah. Ia hadir tanpa diminta. Perlahan mengisi relung hati yang kosong dan tandus. Menjadi rasa manis yang di sebut bahagia. Bahagia walau hanya melihat sosok istimewa itu dari kejauhan. Seolah semua orang yang berada di sekitarnya hanyalah angin yang bertiup tanpa terlihat.
"Dy ... pinjam catatan!" Gian menarik ujung rambut Anin agar gadis itu menoleh padanya.
"Bisa tidak jangan menarik rambutku Gian?!" kesal Anin, tapi ia tetap menoleh kebelakang.
"Maaf, sudah biasa. Hehe," ucap Gian sembari cengengesan.
Anin mengambil bukunya di atas meja lalu memberikan pada lelaki pemalas yang sukanya tidur di kelas tersebut.
"Lain kali jangan tidur kalau di kelas. Kamu mau, nanti tidak lulus sekolah gara-gara malas belajar," oceh Anin di hadapan Gian yang tetap memasang wajah santai tanpa beban.
"Kalau tidak lulus tinggal sekolah lagi Anin. Lagipula aku bisa jadi apa saja walaupun tidak sekolah," jawab Gian dengan mimik muka tanpa dosa.
"Perusahaan mana yang mau nerima pegawai yang tidak sekolah?" Anin menatap remeh Gian.
"Apa kamu tidak lihat wajahku? Aku bisa saja jadi model atau tidak aktor dengan wajahku yang menjual ini," sombong Gian.
"Ciih ... wajah begitu saja bangga, menjadi seorang lelaki itu bukan hanya mengandalkan wajah Gian. Tanggung jawab kalian lebih besar nantinya bila sudah menjadi seorang Ayah. Kalian akan di tuntut untuk menjadi pemimpin dalam rumah tangga," jelas Anin panjang lebar seolah sudah berpengalaman.
"Berapa umurmu? Apa kamu sudah berencana menikah? Hahahaha, jangan terlalu serius Dya! nikmati saja waktu muda kita dengan santai dan mengalir. Jangan sampai kamu keliatan tua karena pemikiran kamu yang terlalu serius."
Gian tertawa sembari memegang kedua pipi gadis itu lalu menekannya, sehingga wajah Anin tampak lucu dengan bibirnya yang menjadi maju ke depan.
Anin melepaskan tangan Gian dari pipinya. Wajahnya menjadi merah merona mendapat sentuhan dadakan yang di berikan Gian tanpa permisi.
"Kamu lucu sekali Dya."
"Ayo Nin, kita ke kantin! Aku lapar, kalian tidak lapar?" Mauren berdiri dari duduknya, sejak kedekatan Anin dan Gian. Mauren sedikit demi sedikit menghilangkan rasa sukanya pada lelaki itu.
"Ayo," jawab Anin. Ia memasukkan sisa buku di atas meja, lalu beranjak dari duduknya.
"Ikut, aku juga lapar." Gian mengekor kedua gadis itu dari belakang.
.
.
Mereka duduk bertiga di dalam kantin. Sesekali Gian menyedot minuman Anin tanpa sepengetahuan gadis itu.
"Kok minumanku berkurang banyak?" Anin menoleh Gian di sebelahnya, menatap pria yang masih fokus melahap siomay ke mulutnya.
"Gian, kamu minum minuman aku ya?" Curiga Anin pada lelaki dengan wajah tanpa dosa itu.
Gian menggeleng. "Aku juga punya minuman Anin." Memajukan bibir merah alaminya ke arah gelas berisi es jeruk di meja.
Anin menoleh Mauren. Gadis itu sibuk menyantap bakso sembari memainkan gawainya.
Anin mengangkat gelas itu ke atas dan melihat bagian bawah gelas. Siapa tau bocor pikirnya. Tapi tak ada tanda-tanda gelas itu pecah.
"Sudah. Ikhlaskan saja, mungkin ada mahluk tak kasat mata yang sedang haus di sebelah kamu," celetuk Gian.
Seketika Anin merinding mendengar celetukan lelaki yang sebenarnya adalah tersangka dari berkurangnya minuman Anin.
"Jangan bikin aku takut Gian! aku tidak suka sama hantu- hantu-an," gerutu Anin.
"Jangan takut! ada abang Gian yang akan selalu melindungimu." Gian menepuk dadanya, merasa menjadi pahlawan untuk Anin.
"Gombal. Lebih baik lihat hantu daripada mendengar gombalan dari kamu," ketus Anin.
Gian tersenyum. Ia memberikan minumannya yang belum ia minum kepada Anin.
"Kamu minum punyaku! biar aku saja yang minum bekas mahluk tak kasat mata ini," kata Gian sembari menukar gelas minuman mereka.
"Belum kamu kasih racun kan?" Canda Anin.
"Aku kasih pelet bukan racun," sahut Gian tak kalah meracau.
***
Malam yang indah di gelapnya malam yang bertaburan bintang dan sinar bulan yang remang.
Tuk ... tugh ... suara jendela kamar Anin seperti ada yang melempar benda mengenai kacanya. Anin mendekat ke arah jendela, ia membuka jendela itu lalu menoleh ke bawah. Benar, seorang lelaki yang sangat ia kenal berada di halaman rumahnya. Terlihat Gian sedang melambaikan tangan ke arah Anin dari bawah.
Tanpa pikir panjang Anin berlari keluar kamar, ia turun dari lantai dua rumahnya melewati tangga. Membuka pintu utama dan melirik ke kesekitar, tapi tak ada siapa-siapa. Anin merasa merinding. Apa ia sudah berhalusinasi?
"Doorr ...," Gian mengagetkan Anin. Lelaki itu tertawa melihat ekspresi kaget Anin. Gian mencubit gemas pipi gadis yang selalu ia buat salah tingkah karena ulahnya itu.
"Sakit Gian!" Marah Anin. "Kenapa gak ketuk pintu? Malah lempar jendela aku dengan batu! kalau orangtuaku tau bisa gawat!"
"Pak satpam bilang orangtua kamu tidak ada. Makanya aku berani lempar jendela hehehe," sahut Gian.
"Oh iya ... mama sama papa lagi keluar kota. Ayo masuk!"
"Jangan ... kita di luar saja. Bukannya orang tua kamu sedang tidak ada? Nanti kamu khilaf." Gian melipat dua tangannya di dada, seolah ingin melindungi tubuh sucinya dari gadis di hadapannya.
Anin memukul lengan lelaki itu dengan keras. "Bukannya aku yang seharusnya bicara begitu? Walaupun mama sama papa tidak ada, tapi ada bik Tina dan mang Ucup di dalam. Mereka suami istri yang bekerja disini. Biasanya mereka tidur di situ," menunjuk sebuah rumah berukuran sedang di samping rumah Anin. "Tapi karena orangtuaku lagi pergi jadi mereka tidur di rumahku sampai mama, papa pulang," jelas Anin panjang lebar.
"Ya sudah kalau kamu memaksa, aku dengan senang hati masuk ke singgasana Tuan Putri," goda Gian sembari membungkukkan badannya seolah menghormati Anin.
Gombalan receh yang selalu membuat dada Anin menghangat. Anin tidak tau apa yang ia rasakan pada lelaki itu. Anin hanya sangat nyaman berada di sekitar lelaki yang banyak diincar kaum hawa di sekolahnya tersebut.
***
Di perusahaan milik Roy Tubagus. Di dalam ruangan khusus tempat pria tua itu memantau semua pegawai perusahaannya.
Tampak Erlangga masih berlutut di depannya.
Erlangga terus berusaha merebut kembali hati ayahnya. Pria tua yang berkuasa di dalam keluarganya. Semua keputusan ada di tangan pria berusia 65 tahun itu.
Hanya itu satu-satunya jalan agar perusahaan kecil yang ia bangun dengan susah payah bisa kembali bangkit. Mau tak mau ia harus berlutut memohon pengampunan kakek yang memiliki tiga orang cucu itu.
Radit Tubagus anak pertama Erlangga dan Maya.
Kinara Tubagus anak kedua Erlangga dan Maya, serta Gian Saputra cucu yang tidak diinginkan oleh Roy Tubagus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
🤩😘wiexelsvan😘🤩
ceritanya bagus,seru,juga lucu,karena ulah usil gian ke anindya thorrr😁😁😁
2021-03-24
2
zerokelasik
lajut
2020-12-23
0
Emy
ketemu Arka deh nnti 😊😅
2020-10-27
0