Di kediaman Hakeem, Ceyda terus saja menangis tersedu-sedu. Wanita itu merasa tersakiti akan kehadiran Esa yang dia anggap akan merusak kebahagiaan rumah tangganya. Bagaimana tidak? Di hari yang seharusnya menjadi hari paling membahagiakan untuk dia dan Emir sebab mereka akan menyambut buah hati mereka, Esa justru datang membawa seorang anak perempuan. Tidak ada yang tahu siapa anak itu, tapi Ceyda yakin sekali kalau anak kecil itu adalah anak Esa dan Emir.
Tak berhenti di sana saja, hari ini Emir bahkan berkata kalau dia akan lembur dan tidak bisa makan malam bersama. Ceyda yang tidak percaya dengan ucapan Emir langsung saja menghubungi sekretaris Emir untuk menanyakan apakah Emir benar-benar lembur atau tidak. Dan benar saja, hari ini Emir tidak lembur sama sekali. Ceyda curiga jika sang suami pergi menemui Esa.
“Ceyda, sudahlah diam. Mungkin Emir memang lembur tapi sekretarisnya tidak tahu,” ucap Hakeem, lelah mendengar suara tangisan Ceyda.
“Ayah, tidak mungkin sekretaris Emir tidak tahu kalau Emir akan lembur. Emir pasti sekarang pergi menemui wanita itu,” ucapnya kemudian menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
“Ceyda, berhenti bersikap kekanak-kanakan seperti itu. Jangan terlalu mencurigai suamimu,” ucap Hakeem lagi.
“Hakeem, kenapa kau malah menyalahkan Ceyda? Putramu yang sudah membuat Ceyda seperti ini,” timpal Benazir, istri kedua Hakeem. Dia dan putrinya adalah orang-orang yang dulu menghasut Emir supaya Emir dan Esa berpisah. “Wajar saja kalau Ceyda merasa cemburu atau sakit hati. Wanita itu tiba-tiba datang padahal sudah menghilang beberapa tahun,” sambungnya.
Ceyda mengangguk-anggukkan kepalanya. “Benar, Ibu. Dia datang tiba-tiba di saat Emir sudah bahagia bersamaku. Aku yakin sekali kalau dia memang sengaja dan berniat untuk merebut Emir dariku,” balas Ceyda di sela-sela tangisannya.
Zalime, istri pertama Hakeem yang merupakan ibu kandung Emir, kesal karena Benazir memanas-manasi suasana. ‘Perempuan licik itu hobi sekali mengompori masalah orang lain,’ gerutunya dalam hati.
“Benazir, kau tidak perlu ikut campur masalah Ceyda dan Emir. Biarlah mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri,” ucap Zalime. Dia kemudian menoleh pada Ceyda. “Dan kau Ceyda ... belajarlah untuk bersikap dewasa. Bisa saja apa yang dikatakan oleh Emir itu benar.”
“Zalime, apakah kau tidak mendengar tadi kalau Ceyda berkata sekretaris Emir saja bilang kalau Emir tidak lembur,” balas Benazir.
“Dia hanyalah sekretaris Emir, bukan pengasuhnya. Jadi, dia tidak mungkin tahu seratus persen mengenai apa yang Emir lakukan,” jawab Zalime, memutar bola matanya.
“Anakmu itu bisa saja berbohong,” ucap Benazir ketus.
“Anakku tidak pernah aku ajarkan untuk berbohong seperti anakmu, Benazir,” balas Zalime tidak mau kalah.
Mendengar perdebatan Benazir dan Zalime, tangis Ceyda semakin kencang, membuat dua wanita itu terdiam dan menoleh ke arahnya.
“Kenapa jadi kalian yang berdebat? Seharusnya kalian memikirkan aku saat ini,” ucap Ceyda, kesal karena dua mertua wanitanya malah berdebat sendiri dan tidak fokus pada dia.
“Ceyda, tenangkan dirimu. Apakah kau tidak malu kalau ada tetangga yang mendengarnya?” tanya Hakeem sambil memijat pelipisnya.
“Aku tidak peduli. Biar saja semua orang dengar kalau wanita itu ingin merebut Emir dariku,” ucap Ceyda.
“Apa maksud ucapanmu itu? Esa tidak mungkin ingin merebut Emir darimu,” sahut Zalime. “Esa tidak bersalah. Kemungkinan besar dia juga tidak tahu kalau kau dan Emir telah menikah. Nyatanya waktu itu dia berniat pergi setelah melihat kalian berdua, bukan?” tanyanya, membela Esa.
“Ibu, kenapa kau malah membela wanita itu?” tanya Ceyda.
“Aku sangat mengenal bagaimana Esa. Dia bukanlah wanita yang suka menyakiti perasaan orang lain. Percayalah padaku kalau Esa tidak akan merebut Emir darimu,” jawab Zalime.
“Ibu, kenapa ibu tidak memikirkan perasaanku sama sekali? Di sini aku yang disakiti, tapi kenapa ibu terus-menerus membela dia?” tanya Ceyda, semakin menangis kencang.
“Aku tidak bermaksud seperti itu, Ceyda,” ucap Zalime.
“Bilang saja kalau kau masih mengharapkan Esa menjadi menantumu,” timpal Benazir.
Zalime menghela napasnya. Dia merasa disudutkan oleh dua wanita itu sekarang. Meskipun apa yang dia ucapkan benar adanya, tetap saja tidak akan ada yang memercayainya karena Benazir dan Ceyda telah dibutakan oleh kebencian.
Bukan maksud Zalime membela Esa dan tidak memikirkan perasaan Ceyda. Tapi menurutnya, Esa adalah perempuan yang baik hati. Jadi rasanya tuduhan Ceyda dan Benazir sangat tidak berdasar. Zalime tentu akan memebela sesuatu yang dia anggap paling benar.
“Aku berani bertaruh kalau Esa bukanlah wanita licik seperti yang kalian pikirkan,” ucap Zalime.
Di saat suasana di rumah kian memanas, Emir baru saja memarkirkan mobilnya di garasi. Pria itu lantas berjalan santai masuk ke rumah. Dahinya berkerut samar mendapati orang-orang tengah menatap satu sama lain dengan tatapan yang tidak menyenangkan.
“Ada apa ini? Kenapa wajah kalian sangat tegang?” tanya Emir pada orang-orang yang berkumpul di ruang keluarga. Dia semakin bingung karena dia melihat sang istri tengah menangis. “Apa yang sebenarnya terjadi?”
Pria itu bingung setengah mati karena pemandangan pertama yang ia lihat saat memasuki rumah adalah sesuatu yang tidak mengenakkan hati. Dia jadi bertanya-tanya apa yang sedang terjadi di sini.
“Kau tanyakan saja pada istrimu, Emir. Aku lelah dan butuh istirahat,” ucap Hakeem. Pria paruh baya itu berdiri lalu bergegas pergi ke kamarnya. Dia ingin anaknya menyelesaikan permasalahannya sendiri, jadi dia memilih untuk pergi ke kamar.
Mendengar perkataan ayahnya, Emir menoleh pada Ceyda. “Ceyda, kenapa kau menangis?” tanya Emir.
Dia berjalan menghampiri sang istri namun Ceyda malah berdiri dan menghindar darinya. Emir semakin bingung dengan sikap istrinya. Pria itu menoleh pada Zalime dan Benazir. Dua wanita itu justru mengedikkan bahunya, membuat Emir semakin kebingungan.
“Ceyda, ada apa denganmu sebenarnya?” tanya Emir, semakin penasaran dengan apa yang terjadi.
“Kau dari mana saja sebenarnya, Emir?” tanya Ceyda. Dia menghapus air matanya, menatap Emir dengan tatapan menelisik.
Emir mengerutkan keningnya. “Bukankah tadi saat kita bertelepon aku sudah mengatakan kalau aku bekerja lembur?” tanya Emir.
“Kau jangan berbohong, Emir! Aku tahu apa yang kau lakukan di belakangku!” Ceyda berteriak menuduh Emir. Hatinya sangat sakit membayangkan kalau Emir akan memilih Esa dibandingkan dirinya.
“Apa maksudmu, Ceyda?” tanya Emir tidak mengerti. Dalam lubuk hatinya dia bertanya apakah Ceyda tahu kalau dia pergi ke rumah Esa, tapi dia tetap masih belum mau mengakuinya.
“Kau tidak lembur, ‘kan?” tuding Ceyda.
“Aku tadi pergi meninjau proyek, Ceyda. Aku memang tidak lembur di kantor tapi di tempat lain,” kilah Emir, masih belum mau mengakui perbuatannya.
“Emir, aku tahu kau berbohong. Berhentilah membohongiku dan katakan saja apa yang sebenarnya kau lakukan!” seru Ceyda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments