HM 4

Hari ini, Esa dan Elif pergi ke pantai. Kebetulan saat ini sedang musim panas jadi mereka bisa bersenang-senang di pantai tanpa takut hujan akan sewaktu-waktu turun. Mereka berdua bermain air di tepi pantai sambil bersenda gurau.

Hal-hal semacam ini belum pernah mereka lakukan sebelumnya karena Esa yang selalu disibukkan dengan banyak pekerjaan dan satu-satunya hari libur yang ia miliki selalu saja saat natal. Elif merasa sangat bahagia karena dia akhirnya bisa bermain dengan pasir pantai dan membuat sebuah istana pasir. Tak hanya itu saja, udara hangat di Turki tentu terasa berbeda dengan udara di Kanada yang cenderung lembap.

“Mom, bantu aku membuat istana pasir. Dari tadi terkena ombak terus!” gerutu Elif, kesal karena istana pasir buatannya terus-menerus digerus oleh ombak.

“Kita buat di sana saja. Jangan terlalu dekat dengan bibir pantai,” ucap Esa sambil terkekeh kecil. Dia menggandeng Elif menuju ke tempat yang agak jauh dari bibir pantai. Di sana dia membantu Elif membuat istana pasir dengan memanfaatkan ember mini yang dibawa Elif dari rumah.

Selain membuat istana, Elit juga membuat gambar tentang dia dan ibunya di pantai. Di gambar itu mereka bergandengan dan ada simbol hati yang mengelilingi mereka berdua.

“Kenapa hanya ada kau dan mommy. Di mana gambar tentang daddy-mu?” tanya seseorang, membuat Esa dan Elif sontak menoleh ke arahnya.

“Astaga, Emir! Kenapa kau masih saja keras kepala dan menemui kami. Bukankah kemarin aku berkata kalau kau tidak usah menemuiku lagi?” tanya Esa. Wanita itu merasa kesal sebab Emir tak mengacuhkan ucapannya dan justru melakukan apa yang dia larang.

Seakan tuli dan tidak peduli dengan ucapan Esa, Emir mendekati Elif, lalu menggambar seorang pria di samping Elif.

“Keluarga yang lengkap adalah keluarga yang memiliki seorang ayah,” ucap Emir.

Mendengar itu, Elif menghapus gambar Emir. “Selama ini aku hidup dengan mommy. Jadi, aku hanya akan menggambar aku dan mommy,” ucapnya polos.

“Elif, kenapa kau tidak bermain di pantai dulu? Mommy akan bicara dengan dia,” ucap Esa.

“Baik, Mom,” jawab Elif lalu beranjak pergi bermain air di pantai.

Setelah Elif pergi, Emir bertanya sesuatu yang sejak kemarin ingin dia tanyakan kepada Esa.

“Esa, apakah dia anakmu?” tanya Emir.

“Iya, dia anak kita berdua,” jawab Esa sambil mengalihkan pandangannya.

Emir mengerutkan dahinya. Dia tidak tahu kalau Esa tengah hamil ketika dia mengusir Esa. Jadi dia merasa kebingungan.

“Apa maksudmu?” tanya Emir.

“Saat kau mengusirku waktu itu sebenarnya aku sedang mengandung anakmu,” jawab Esa singkat lalu beranjak berdiri dan mengajak Elif pergi meninggalkan pantai dengan alasan matahari semakin terik dan dia takut Elif kepanasan.

Beberapa hari tinggal di Turki, tidak hanya Esa yang betah tinggal di sana. Elif juga sama. Dia sangat senang tinggal di rumah lama kakek dan neneknya. Bagi Elif, tinggal di Turki lebih nyaman daripada tinggal di Kanada. Apalagi tetangga di sini jauh lebih ramah dan akrab.

“Mom, kenapa kita tidak menetap di sini saja? Aku senang tinggal di Turki,” ucap Elif begitu mereka sampai di rumah.

“Benarkah? Kau suka tinggal di sini?” tanya Esa.

Elif mengangguk antusias. “Iya, Mom. Aku suka tinggal di sini,” jawab Elif.

“Elif, bagaimana pendapatmu tentang daddy-mu?” tanya Esa. Tiba-tiba saja dia kepikiran tentang hal tersebut.

Elif terdiam sejenak. Dia semenjak awal ingin pergi ke Turki karena penasaran dengan sosok ayahnya saja. Sekarang dia sudah bertemu dengan ayahnya jadi dia sudah tidak penasaran lagi.

“Aku sudah terbiasa hidup berdua saja dengan mommy dan tanpa kehadiran daddy. Aku tidak peduli aku memiliki daddy atau tidak asalkan aku bisa selalu bersama mommy,” ucap Elif sambil tersenyum lebar.

Esa terharu mendengar jawaban Elif. Dia tidak menyangka putri kecilnya sangat dewasa padahal usianya baru enam tahun. Esa menarik Elif ke dalam pelukannya, lalu mengecup rambut Elif.

“Mommy sayang padamu, Elif,” ucap Esa.

“Aku juga sayang mommy,” jawab Elif.

Sementara itu, di tempat kerjanya Emir tak tenang. Dia terus memikirkan ucapan Esa kalau Elif adalah anaknya. Emir merasa sangat bersalah karena dia dulu mengusir Esa di saat Esa sedang mengandung bayi mereka. Tapi, di sisi lain dia juga bingung sebab kata Ayle saat dia pergi Esa berselingkuh darinya.

Jika memang Elif bukanlah anak Emir, tidak mungkin Esa kembali datang dan mempertemukan mereka kembali. Esa pasti akan menghilang dan tidak akan mau kembali lagi.

Seharian ini, Emir tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya. Dia terus saja memikirkan tentang Esa dan Elif. Emir akui, dia dan Elif memiliki banyak kesamaan bentuk wajah. Dari bentuk alis, bibi, hingga hidungnya. Elif tampak seperti versi perempuan dari diri Emir.

Drrtt ... Drrtt ....

Emir mengambil ponselnya ketika mendengar dering suara ponselnya. Dia dengan malas mengangkat panggilan tersebut karena panggilan itu berasal dari Ceyda, sang istri.

“Halo, Sayang? Malam ini kau pulang jam berapa? Aku akan memasakkan makanan kesukaanmu,” ucap Ceyda.

“Maaf, Ceyda. Malam ini aku akan lembur. Sepertinya kita tidak bisa makan malam bersama hari ini,” ucap Emir, berdusta.

“Apakah kau tidak bisa melanjutkan pekerjaanmu di rumah seperti biasanya?” tanya Ceyda.

“Maaf, Ceyda, aku tidak bisa,” jawab Emir lalu mematikan sambungan teleponnya sebelum Ceyda sempat menjawabnya.

Tidak, malam ini Emir tidak akan lembur. Tapi, dia berniat untuk pergi ke suatu tempat. Hanya saja dia tidak mungkin mengatakan pada Ceyda ke mana dia akan pergi sebab Ceyda pasti akan marah besar.

Usai mengerjakan pekerjaannya, Emir keluar dari kantor dan melajukan mobilnya menuju ke rumah Esa. Tidak, kali ini dia tidak akan menemui Esa dan Elif. Tapi, dia akan memerhatikan dari luar apa yang sedang mereka lakukan di dalam rumah.

Dari jendela, Emir mengintip kegiatan Esa dan Elif. Elif dan Esa tampak sedang bersenda gurau sambil membuat sebuah kue.

“Mommy, aku yang akan mengolesi krim pada kuenya,” ucap Elif terdengar nyaring.

“Ini, Sayang.” Esa memberikan krim kepada Elif. “Kau hias dulu kuenya, mommy akan memasak makan malam untuk kita berdua,” ucap Esa.

“Baik, Mommy,” jawab Elif.

Esa dan Elif tampak sangat bahagia meski tanpa kehadiran seorang ayah di antara mereka berdua. Elif bahkan tak tampak keberatan hanya tinggal berdua saja dengan ibunya.

Hati Emir merasa trenyuh. Dia memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi kalau malam itu dia tidak mengusir Esa dari rumahnya. Mungkin, dia sekarang sudah bisa merasakan kebahagiaan karena memiliki sebuah keluarga yang sempurna.

‘Andai saja saat itu kita tidak berpisah, mungkin kita sudah bahagia bersama,' ucap Emir dalam hati.

Terpopuler

Comments

rain03

rain03

org kaya tapi bodoh

2022-12-18

1

rain03

rain03

akhirnya nemu anak yg gak egois.
elif mang pintar 😁

2022-12-18

0

NIKEN SAYUTI WIDYASTUTI

NIKEN SAYUTI WIDYASTUTI

ikuti alurnya sj 😁

2022-12-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!