Karena lelah menangis aku pun tertidur di kursi ruang tamu. Badanku sakit semua.
Aku bangun kesiangan, kalah cepat sama mas Adzam.
Sepertinya ia masih marah padaku, karena pagi ini ia bangun begitu cepat. Bahkan pagi ini ia tak sedikit pun menyapaku.
Wajahnya tampak keras, tak ada sedikit senyum pun menghiasi wajahnya.
Aku mencoba menyapanya, " Mas, sarapan bubur ayam aja ya pagi ini."
" Aku sarapan di kantor aja."
Tidak biasanya ia menolak tawaranku.
Ia mengambil tas kerjanya. Tanpa pamit ia berlalu bersama suara mobilnya yang menjauh.
Aku menutup pintu setelah ia tak nampak lagi dalam pandangan ku.
Aku masuk kekamar, Kepalaku terasa sakit ditambah perlakuan mas Adzam yang tidak bersahabat.
Hilang sudah rasa lapar ku, Kubaringkan tubuhku diatas ranjang dan menutupnya dengan selimut.
Aku pengen tidur satu harian ini.
Baru saja mata ku terlelap, tiba-tiba aku terkejut karena menyadari ada orang didalam kamarku.
Reflek aku duduk dan akhirnya aku bisa bernapas lega. Karena yang masuk kedalam kamarku adalah mama mertua.
Huft!
" Mama.."
" Kaget ya...?"
Aku mengangguk.
" Kalian lagi berantem ya?" mama menatapku, namun aku tak berani menatap wajah mama.
" Tadi pagi Adzam makan dirumah mama, gak biasanya dia seperti itu kan? Lima tahun menikah kamu mengurus Adzam dengan baik." Jelas mama panjang lebar.
Aku masih bungkam, bingung ingin menjelaskan dari mana.
" Ma..? Panggilku.
" Ceritalah Fi, karena kamu adalah anak mama bukan menantu mama." Bujuk mama.
Itu memang benar nyatanya.
Anak mama ada dua perempuan, namun semua diperlakukan sama oleh mama.
" Ma, bolehkah mas Adzam menikah lagi?" Tanyaku hati-hati.
Mata mama membulat. Kaget dengan permintaanku. Mama memegang keningku.
" Kamu gila Fi?" tanya mama dengan nada yang naik satu oktaf.
" Afi serius ma, mas Adzam harus menikah lagi." Aku berusaha meyakinkan mama.
" Untuk apa? Kasih satu alasan yang masuk akal untuk permintaan gila kamu ini."
Sepertinya mama sama marahnya dengan mas Adzam.
Aku menggenggam tangan mama, " Ma, mas Adzam itu bisa punya anak. Tapi tidak dengan Afi, Afi mandul ma. Mama pengen cucu dari mas Adzam kan?" Dengan sekuat tenaga aku menumpahkan semua unek-unek ku.
" Semua orang tua pasti ingin mempunyai cucu dari anak-anaknya, Tapi mama sadar Afi itu semua sudah ada ketetapan. Ada Allah yang maha pengatur di dalam kehidupan ini. Kalau hanya cucu, mama sudah dapat kan dari Rina. Yang paling penting buat mama kalian itu bisa menjalani pernikahan dengan langgeng sampai kakek nenek."
Aku terharu mendengar ucapan mama. Selama lima tahun pernikahan, tak sekalipun mama menggores hatiku dengan lidahnya.
" Kamu tau Fi, kalau suami kita punya istri dua, bukan hanya waktunya saja yang berkurang untuk mu, kamu juga harus siap jika Adzam harus berbagi selimut dengan wanita lain, kamu juga harus siap berbagi penghasilan Adzam buat wanita lain. Apa kamu siap? Kalau mama sebagai wanita jelas tidak siap." jelas mama panjang lebar.
Aku terdiam, mulutku terasa di kunci.
Ya memang benar apa yang di bilang mama. Jika mas Adzam punya istri dua, aku harus siap dengan situasi yang tidak mengenakkan. Aku harus siap jika suatu saat mataku menangkap mas Adzam sedang berpelukan dengan wanita lain. Atau parahnya lagi aku juga harus siap mas Adzam lebih bahagia dengan istri barunya.
Aku menggeleng, membayangkan saja aku bergidik ngeri.
" Fi.." mama menyenggol bahuku.
" Melamun? Ngeri ya membayangkan Adzam punya wanita lain?"
Ah, kenapa mama bisa menebak pikiranku.
" Pikir baik-baik, jangan menyesal di belakang hari." pesan mama sambil berlalu pergi.
Mama menutup pintu kamarku. Mama mau pulang, karena siang nanti ada pengajian dirumah temannya.
Mama memang seperti itu, kadang datang lalu pergi, karena mama memang memegang kunci duplikat rumah kami.
Aku kembali sibuk dengan pikiranku, Umur mas Adzam sudah kepala 3, kalau aku tetap egois dengan pernikahanku, kapan mas Adzam akan bahagia?
Aku mengusap wajahku, Allah kenapa harus hamba yang mendapat ujian ini?
Aku bangkit dari tempat tidurku. Mengambil album pernikahan kami dan membolak-balik foto pernikahan kami. Lima tahun lalu kami begitu bahagia, bahkan aku tak meneteskan air mata sedikitpun saat ijab kabul. Yang ada aku bahagia.
Rencana kami dulu adalah pengen punya anak dua saja. Yang pertama laki-laki dan yang kedua perempuan. Anak-anak kami akan memanggil ku dengan sebutan Bunda dan memanggil mas Adzam dengan sebutan Ayah.
Bahkan air mataku sampai menetes mengenang rencana kami dulu. Nyatanya satu anak saja tidak Allah berikan untuk kami.
Lalu apa aku harus egois membiarkan mas Adzam mengikuti jejak ku.
Cukup aku saja yang tidak bisa punya anak tidak untuk suami ku.
Aku kembali menyusun album pernikahan kami di lemari. Aku mengambil handpone, sudah beberapa hari tidak ada kabar dari Hanum, sahabatku.
Panggilan telpon tersambung, terdengar suara Hanum menyapa ku dengan riang.
Aku mengajak Hanum bertemu di kafe tempat biasa kami bertemu
Hanum setuju, nanti selepas pulang sekolah.
Aku pun bergegas mandi setelahnya aku besolek dengan santai karena masih ada waktu satu jam lagi untuk bertemu Hanum.
Terdengar suara mobil mas Adzam memasuki halaman rumah kami. Aku melirik jam dinding yang tergantung. Tumben ia sudah pulang, Ada apa?
Aku melangkah keluar membuka pintu depan.
Bagaimanapun aku harus menyambut dia pulang.
Pintu kubuka, tampak seraut wajah kusut mas Adzam di balik pintu.
" Mas..." Aku meraih tangannya mencium dengan takjim.
Ia memelukku erat. " Aku menyayangimu Fi.. jangan paksa aku untuk mendua."
" Mas, ini semua untuk kebaikan kita. Rumah ini akan ramai dengan hadirnya anak-anak mu mas."
" Lalu siapa wanita pilihanmu Fi? Sampai kamu yakin dia mau berbagi suami."
" Lalu siapa wanita pilihan mu Fi..?"
" Hanum."
" Hah.. Hanum?" Nampak keterkejutan mas Adzam mendengar nama Hanum meluncur dari bibirku.
" Kenapa harus Hanum?" Tanya mas Adzam penasaran.
" Karena Hanum sahabatku dan aku yakin Hanum mampu menjadi ibu yang baik untuk anak-anak kita nanti." Jawabku penuh keyakinan.
Mas Adzam mengusap lembut puncak kepala ku yang tertutup kerudung.
" Mas takut menyakiti hati yang."
Aku tertunduk menatap ubin yang tampak berkilau. Mas, andai kamu tau semua yang ku rencanakan adalah demi kebaikanmu batin ku sibuk berbicara sendiri.
Aku mengusap sudut mataku yang mencair.
" Mas, Aku pamit keluar dulu ya.. ada janji sama Hanum mau ketemu."
" Mau diantar?" tawar mas Adzam.
" Pinjam mobilnya aja mas." tolakku.
" Okelah kalau begitu, mas mau istirahat. Capek banget hari ini." ucap mas Adzam sembari menyerahkan kunci mobil.
Aku mencium pipinya dan mencium lembut tangannya.
Aku memang biasa pergi sendiri, jadi mas Adzam tidak khawatir.
Apalagi tempat janjian ku dengan Hanum hanya memakan waktu lima belas menit saja.
Dan kini mobil yang ku kendarai sudah sampai di depan parkiran kafe favorit kami.
Aku celingukan mencari sosok yang kukenal.
Dan itu dia, sahabatku sedang melambaikan tangan kearah ku.
Aku melangkah kearahnya. Tak lupa kami cipika cipiki, hal yang sering kami lakukan."
" Hai, uda lama sayang?" Tanyaku.
" Uda, nih uda pesan es jeruk." Tampak wajah Hanum merengut karena menunggu ku terlalu lama.
" Jangan cemberut, nanti cantiknya hilang." candaku.
Kami pun tertawa bersama.
Karena ini sudah jadwal makan siang akhirnya kami memesan makanan.
Ayam geprek dan es jeruk, menu favorit kami.
Kalau sudah bertemu dengannya, entah mengapa mulutku tak berhenti berbicara.
Makan siang sudah berakhir. Kini perut kami sudah kenyang. piring kotor pun sudah di bawa ke belakang.
Aku mengeluarkan dompet hendak membayar makanan kami tadi, tapi tanganku dicegah oleh Hanum.
" Aku aja yang bayar." Ucap Hanum.
" Yang ngajak ketemu kan aku, jadi hari ini aku yang teraktir kamu. oke!"
Ia sudah paham dengan sifatku, dan tak membantah sedikitpun.
Kami meninggalkan kafe itu. Kini Hanum sudah berada di salam mobil mas Adzam.
" Kita mau kemana?"
sepertinya Hanum penasaran.
Aku hanya diam, Aku sedang mencari tempat yang aman dan tenang untuk membicarakan rencanaku.
Akhirnya aku mengarahkan mobilku ke parkiran taman kota.
Mesin mobil ku matikan.
Hanum hendak turun dari mobil, namun ku cegah.
Aku fikir berbicara dalam mobil lebih aman.
Aku merasa gugup untuk menyampaikan rencana ku pada Hanum. Aku takut ia tersinggung, atau lebih parahnya lagi sakit hati padaku. Ac mobil ku kencangkan. Entah mengapa aku merasa tubuhku banjir oleh keringat.
Aku melirik Hanum, ia memperhatikan aku.
" Kenapa se gugup ini Fi..?" Ia menggenggam tanganku.
Aku menatapnya, Kutarik nafas dalam-dalam,. Aku mencoba untuk rileks sebentar. Menyandarkan punggungku ke sandaran kursi mobil.
Menutup mata sejenak. Mengusir keraguan yang bersarang di dalam hati.
" Hanum, maukah kamu menikah dengan suamiku?"
Yah, akhirnya keluar juga suaraku.
Ia terkejut, hingga ia memintaku untuk mengulang kata yang ku ucap tadi.
" Mau kah kamu menikah dengan suamiku?" Ulangku dengan suara sedikit lebih keras. Aku yakin suara ku tak sampai keluar karena mobil ini tertutup rapat.
Hanum tertawa terbahak-bahak, sesekali ia memegang perutnya.
Aku menatapnya serius membiarkan ia tertawa sepuasnya.
Setelah puas tertawa, ia memegang keningku, " Gak demam tapi kenapa mgawur sayang..?" Ia mengangkat kedua alisnya naik turun.
" Aku serius Hanum, maukah kamu menikah dengan mas Adzam? Aku butuh seorang perempuan yang bisa melahirkan anak-anak kami." Sebisa mungkin aku menjaga agar air mata tak meluncur bebas.
" Jangan ngawur ah, Tidak ada satu pun perempuan di muka bumi ini yang ingin yang ingin berbagi suami dengan wanita lain. Termasuk aku. Aku memang ada niat menikah suatu saat nanti tapi bukan menjadi istri kedua, menjadi pelakor di rumah tangga orang lain apa lagi sampai menjadi istri le dua sahabatku. Oh no! Aku tidak ingin merusak rumah tangga orang lain. Itu tidak pernah ada dalam impianku." celotehnya panjang lebar.
" Kamu bukan pelakor atau pun perusak rumah tangga ku. Justru aku yang meminta bantuan mu. Apa kamu tidak akan membantuku?" Tegasku.
" Bukan dengan cara merebut kebahagianmu!" Ucap Hanum membuang mukanya.
" Lihat aku!" Pintaku, " Hidupku nyaris sempurna, suamiku baik, mama mertuaku bagai bidadari bahkan adik iparku sudah kuanggap adik sendiri. Aku ada di keluarga yang baik. Hanya saja aku tidak bisa memberikan malaikat kecil untuk mereka. Apa kamu masih tidak ingin membantuku?" Air mata ku kembali tumpah.
" Aku rela berbagi suami demi kebahagiaan mereka, Hanum." parau sudah suaraku.
Kami berpelukan erat. menangis berbarengan. bahkan bajunya sudah basah oleh air mataku.
Aku merasa cukup tenang karena semua sudah ku tumpahkan dengan Hanum.
Kini suasana di dalam mobil hening, dingin.
" Jangan diam Hanum, Aku butuh keputusanmu. Kuharap engkau mengerti dengan keadaanku yang tidak bisa punya anak Hanum." Ucapku lagi.
" Aku butuh waktu beberapa hari untuk memikirkan hal gila ini."
Aku mengangguk, menghidupkan mesin mobil dan mengantarnya pulang.
Akhirnya kami sampai di depan rumah Hanum.
Ia turun dari mobil, Aku menarik tangannya.
" Pikirkan baik-baik, aku berharap keputusanmu tidak mengecewakan aku." Aku memohon dengan menangkup tangan didadaku.
Ia tersenyum lantas turun dari mobil, melambaikan tangan padaku dan masuk kedalam rumah kontarakannya.
Aku pun meninggalkan rumah Hanum. Sejujurnya aku tidak yakin Hanum akan menerima permintaan konyol dariku
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments