Kucium lembut pipinya. Ku genggam tangannya. Ada rasa haru yang menyelimutiku. Hingga pandanganku menjadi kabur. Tanpa malu-malu Air mata berlomba-lomba menetes di pipiku
Mas Adzam mendekati ku. Mengusap pundakku, aku menatapnya sedih.
" Air matanya kena dedek bayi yang.." Ucapnya bercanda.
Sontak mama Rina dan suaminya tertawa mendengar lelucon dari suamiku.
" Jangan sedih Fi, banyak berdoa semoga tahun depan bisa punya seperti ini." ucap mama sambil menowel pipi gembul adek bayi.
Aku mengangguk sambil menimang bayi cantik nan mungil ini.
Tanpa disangka-sangka Raka dan Ririn, adik mas Adzam datang kerumah sakit.
" Mbak Rina..." Ia memeluk kakak satu-satunya.
" Aduh.."
" Maaf, sakit ya mbak? mana dedek bayinya, aku mau gendong dong..?"
Ririn mendekatiku dan meraih bayi mungil yang jadi pusat perhatian.
" Hati-hati Rin..!" seru mama.
" Aduh... cantik banget kamu.. panggil aku Tante Ririn ya sayang .. coba aja dari dulu mbak Afi punya anak pasti aku seneng deh ngejagainnya." Ucap Ririn nyablak.
Semua orang menatapku, termasuk Ririn.
Tanpa sadar ia menutup mulutnya.
Deg! jantungku seperti menghantam batu besar.
Sakit! Aku buru-buru keluar dari kamar. Menutup pintu dengan pelan. Setelahnya aku berlari, bahkan aku tak peduli menjadi tontonan orang. Aku bersender pada dinding toilet, mengatur napas ku yang ngos-ngosan. Huft! Kuhembuskan pelan hingga aku berasa agak tenang. Ku lap kasar air mata ini.
Suara handphone ku berbunyi, mas Adzam menelponku .
ku tekan tombol hijau.
( Dimana yang? Aku khawatir loh)
( cuma ke toilet mas, khawatir kenapa?) ku coba berbicara seperti biasanya.
( Yuk kita pulang mas tunggu di pintu keluar ya..)
( oke mas)
Panggilan telpon terputus.
Aku menatap tampilanku dalam cermin.
Semerawut dengan mata sembab.
Ku ambil bedak, ku usap tipis-tipis menyamarkan wajahku dari tangisan.
Sudah merasa cukup baik, aku pun meninggalkan toilet dan berjalan menuju pintu keluar
Aku mencari sosok suamiku, namun tidak kutemukan.
Tiba-tiba bahuku disentuh seseorang. Aku terkejut dan menoleh, Mas Adzam!
Aku merengut.
" Cantiknya nanti hilang loh..." candanya.
" Biarin." jawabku acuh.
Aku melangkah ke parkiran mobil, namun di tarik oleh mas Adzam.
" Tunggu bentar, Nunggu Ririn dia mau ikut balik bareng." ujar mas Adzam
Dari kejauhan tampak Ririn berjalan tergesa-gesa.
Wajahnya tampak murung.
Tiba-tiba ia menubruk ku, mencium tangan ku dan memelukku. " Ririn minta maaf ya mbak...Ririn gak bermaksud menyakiti hati mbak Afi. Mulut Ririn uda kurang ajar, gak ada akhlak nya." Ia memukul mulutnya sendiri.
Aku meraih tangannya, tidak tega melihat ia menyakiti dirinya sendiri.
" Mbak enggak sakit hati kok, kan emang benar mbak belum punya anak." ucapku serius.
" Mungkin mbak aja yang lagi baper." ucapku lagi sambil tersenyum.
" Mbak adalah kakak ipar terbaik ku, tapi aku begitu tega melukai mbak." ucapnya sesenggukan.
Aku hanya bisa memeluknya.
Ririn pun adalah adpik ipar terbaikku, sifatnya yang sedikit nyeplos, berbeda dengan Rina yang memang berkarakter lembut.
" Mau tangis-tangisan apa mau pulang?" Ia memang selalu begitu.
Ririn meninju bahu mas Adzam pelan.
Aku hanya menggeleng kan kepalaelohat tingkah adik dan kakak ini.
Aku dan mas Adzam sudah masuk kedalam mobil, sementara Ririn masih mencari sesuatu di tasnya.
" Mau pulang enggak nih?" tanya mas Adzam gak sabaran.
Ririn menggeleng, " kayaknya handphone aku ketinggalan deh di ruangan mbak Rina." Rina berlari meninggalkan kami.
" Dasar Cendolllll!!!" Teriak mas Adzam kencang.
" Apaan sih mas, cendol dibawa-bawa."
Kubuka pintu, mas Adzam sudah menunggu di depan pintu. Aku keluar dari kamar mandi menggunakan handuk, Mas Adzam memperhatikanku darDasar Cendolllll!!!" Teriak mas Adzam kencang.
" Apaan sih mas, cendol dibawa-bawa."
Dasar mereka... jadi gak jelas.
Sore ini jalanan sedikit ramai, perutku terasa lapar, " Mas, makan nasi uduk yuk!" Ajakku.
" Boleh. Dimana?"
" Di tempat biasa aja mas sekalian arah pulang."
" oke sayang." Guraunya.
Setelah lima belas menit perjalanan akhirnya kami sampai.
" Aku memesan dua porsi nasi uduk dengan lauk ayam kampung dan dua gelas es jeruk.
Hem... Nikmat mana lagi yang kau dustakan?
Setelah perut kenyang akhirnya kami pun pulang.
Setelah sampai dirumah Aku bergegas mandi, badanku terasa lengket.
Lagi asyik menikmati mandi, pintu kwmar mandi di gedor dari luar.
" Yang.. lama banget mandinya."
" Sebentar mas." Aku buru-buru mempercepat mandiku.
i atas kepala hingga ujung kaki.
" Kenapa mas?" tanyaku heran.
" Cantik." Matanya menatap ku tanpa berkedip.
" Gombal" Aku berlalu meninggalkan nya.
Aku mulai menggunakan pakaian, namun mas Adzam malah memelukku dari belakang.
" Mas..?"
Diluar dugaan, Ia mencium bibirku pelan.
" Jangan pernah bosan mendampingi ku ya yang.." Bisiknya di telingaku.
" Iya sayang..." Ucapku berbalik memeluknya.
" Mandi dulu ya, Bau asem." Aku menutup hidungku.
Bukannya pergi, ia malah menghujaniku dengan ciuman.
Dan sore ini aku kembali mandi untuk yang kedua kali akibat ulah mas Adzam.
Mas Adzam mengajakku mandi bersama dengannya. Hal yang membuat kami selalu menjaga keharmonisan.
Selesai mandi kami segera memjalankan solat magrib berjamaah.
****************
Aku dan mas Adzam sedang bercengkrama di kamar kami. Kamar adalah tempat favorit kami untuk melepas penat setelah seharian bekerja.
" Mas, kamu gak ada niat buat nikah lagi?" Tanyaku.
Ia menghentikan aktivitas bermain handphonenya.
" Gak ada pertanyaan yang lain?" Ucapnya tegas.
" Aku kan gak sempurna mas, Aku MANDUL." Sengaja kutekan kan kata mandul agar dia sadar siapa aku.
Ia tak menggubris ucapanku.
" Kamu bisa punya anak mas, tapi tidak denganku. Jika kamu berfikiran untuk menikah lagi jujur ya denganku. Jangan bermain api dibelakangku." Pesanku
" Selama mengenalmu dulu, pernah aku berselingkuh dibelakangmu?" Tanyanya.
Aku menggeleng, Selama kami berpacaran tak sekalipun ia melirik wanita lain. Aku percaya itu.
" Kamu tau Fi... Setiap orang yang sudah menikah sudah pasti harapannya mempunyai keturunan. Tapi kalau Allah belum mengizinkan kita bisa apa? Menikah dengan wanita lain bukan solusinya Fi." Mas Adzam tampak marah. Ia menyelimuti separuh tubuhnya dengan selimut.
Aku sudah paham itu, jika ia berbicara sambil menyebut namaku dan tidur membelakangiku berarti ia sedang tidak baik
Aku menghela napas. Aku pun membalikkan tubuhku. Berdiam adalah cara mas Adzam menghindari debat denganku.
Air mata ikut bergulir di pipi. Allah, salah apa aku? Suamiku berhak bahagia.
Sudah lama pertanyaan ini tersimpan rapi di kepalaku. Aku tak pernah punya nyali untuk membicarakan dengan mas Adzam.
Kalau soal kesetian memang mas Adzam adalah juaranya.
Malam ini kami tidur tanpa berpelukan. Tanpa kehangatan.
Aku mencoba memejamkan mata yang tak mengantuk.
Lelah rasanya ada di posisi ini.
Aku bangkit, keluar dari kamar.
Duduk diruang tamu, menyendiri bersama sepi.
Aku memandangi dinding rumah ini. Kosong! Hanya terisi oleh foto pernikahan kami. Lima tahun pernikahan tidak ada foto bayi mungil menghiasi rumah kami.
Allah, kuatkan aku!
Aku mengambil buku diary yang tersimpan di lemari.
Aku hanya menuliskan semua keluh kesahku disini. Karena ia tak kan berbicara kepada siapapun.
Allah, aku lelah menjalani ini
Aku punya mertua yang baik,
suami yang baik, ipar yang baik
aku merasa kehidupan ini sempurna
tapi ternyata aku salah.
Anak adalah segalanya,
Aku rindu tangisan bayi dirumah ini
Aku rindu gelak tawa bayi seperti yang sering ku lihat di video.
Allah, izinkan aku mengandung,merawat dan memiliki anak..
Hanya itu yang kupinta ya Allah...
Aku lelah..
Aku lemah...
Aku menangis, selalu menangis...
Dasar mereka... jadi gak jelas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments