Anggi memindahkan pakaiannya dari koper ke dalam lemari. Kedua keningnya berkerut saat melihat baju dimana di dalamnya ada uang, lipatannya tak seperti yang Anggi ingat. Anggi segera mengeluarkan baju tersebut, lalu menghitung uang dengan nominal seratus ribu sebanyak dua puluh lembar. Tapi, setelah Anggi hitung ulang, uang itu kurang tiga lembar.
"Siapa yang mengambil uangku?" batin Anggi bertanya.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka, dilihatnya Gibran diambang pintu menarik langkah ke dalam kamar. "Mas, di rumah sini ada tuyul ya?" tanya Anggi melibatkan tuyul.
Gibran terkekeh. "Mana ada tuyul di sini" ucapnya seraya membuka lemari.
"Tapi kok uangku hilang 300 ribu" ungkap Anggi menatap serius suaminya.
Jleb!! Gibran menatap istrinya. Dia jadi ingat uangnya yang sering hilang di dompet. "Jangan jangan benar, di sini ada tuyul. Kamu pengen tahu nggak sih, uangku selalu hilang hampir tiap bulan" jelasnya serius.
Pembicaraan soal uang terpaksa di jeda saat Siska datang mencari Anggi. Anggi merasa perasaannya tidak nyaman, dan benar saja, Ibu mertuanya itu punya niat mencarinya.
"Anggi, bisa pinjemin Mama uang nggak? Mama mau bayar tagihan listrik bulan lalu" kata Mama Siska. Lagi lagi perihal uang.
"Loh, kok ada tunggakan sih, Mah. Bukannya beberapa hari yang lalu Mama bilang sudah___" Gibran tak melanjutkan kata-katanya. Pria itu tak ingin mempermalukan sang Mama di depan Anggi. Toh baru kali ini sang Mama berlaku seperti saat ini. Saat bersama Sonaya, Mama tidak pernah meminjam uang Sonaya. Pikir Gibran. Tanpa dia tahu, sang Mama kerap mengambil uang Sonaya sehingga Sonaya tak dapat membeli kebutuhan pribadinya. Dan karenanya, Sonaya selalu terlihat kusam.
Sebagai menantu baru, Anggi tak enak hati bila harus menolak. Terlebih tadi dia membahas uang dengan suaminya. Anggi hanya tak ingin Gibran berpikiran jelek tentangnya. "Mama butuh berapa?" tanya Anggi dengan sopan.
"Lima ratus ribu" Jawab Siska dengan ekspresi tak enaknya.
Anggi mengeluarkan uang lima lembar dari 7 lembar yang tersisa. "Ini, Mah"
Dengan senyum mengembang, Siska menerimanya. Mengucapkan terima kasih, kemudian keluar dari kamar anaknya. Sepeninggal Siska, Gibran mendekati istrinya. "Nanti aku ganti kalau sudah gajian nanti" ucapnya.
Sudah seminggu usia pernikahan Anggi dan Gibran. Hari hari berjalan seperti biasanya. Tak ada yang hilang, juga tak ada yang meminjam uang. Dan Anggi berharap cukup hari itu uangnya hilang. Bukannya dia menuduh, tapi dia yakin, salah satu orang dalam rumah yang mengambilnya.
Hari ini Anggi mulai bekerja. Begitu juga dengan Gibran. Anggi akan ke tempat kerja menggunakan mobilnya. Sementara Gibran naik sepeda motor karena pria itu tak punya mobil. Bagaimana mau punya mobil, kalau semua uang diberikannya pada sang Mama. Mana Mama nya tak pandai hemat, lengkap sudah.
"Kak Anggi, bisa nggak Kakak naik motor aja, Kak Gibran gunakan mobil Kakak. Soalnya aku mau numpang, kalau aku numpang di Kakak, sekolah dan tempat kerja Kakak nggak searah. Searah nya sama tempat kerja Kak Gibran" ungkap Jena kebetulan mereka semua sedang sarapan.
Anggi melirik Gibran. Kali aja Gibran menolak. Melihat Gibran tak bergeming, Anggi mencoba bekerja sama dengan dirinya. "Bisa, kok" jawabnya menarik senyum.
Jena menarik senyum, begitu juga dengan Wati. "Terima kasih, Kak" ucap Jena girang.
"Iya, sama-sama" jawab Anggi.
"Sabar, begini memang kalau tinggal dengan mertua" batin Anggi.
Usai sarapan, Anggi pamit pergi lebih dulu tanpa menunggu suaminya karena memang jam kerja mereka berbeda. Dalam perjalanan, Anggi teringat sikap Gibran yang menurutnya baik tapi tidak tegas atau tidak berani menegur. Entah tidak berani atau memang dia sudah seperti itu sejak dahulu.
Tak berapa lama, Anggi tiba di tempat kerja. Dia memarkirkan motor suaminya lalu bergegas absen. Setelahnya dia ke ruang kerja mereka dimana dalam satu ruangan ada beberapa rekan kerjanya. Mereka bagian gudang.
"Pengantin baru kok mukanya kusut" teman Anggi menegur.
"Aku bingung, May" lirih Anggi menenggelamkan wajah di meja.
"Kenapa?" tanya Maya mengambil tempat di kursi depan Anggi.
"Kalau aku cerita, larinya dosa. Tapi aku juga bingung, apa rumah tangga itu seperti itu" lirih Anggi lagi semakin menenggelamkan wajah.
"Ya sudah, jika memang kamu nggak mau cerita aku nggak maksa. Nanti, kalau kamu mau cerita, hubungi aku aja" ucap Maya.
"Dia kenapa?" tanya Vika yang baru tiba. Vika meletakkan tas di atas meja kerjanya.
"Nggak tahu, aku juga bingung" jawab Maya.
Menghela napas panjang, Anggi kembali menyandarkan bahu di sandaran kursi. "Jadi gini, aku dan suami tu pergi belanja di Mall Habis Uang. Suami aku tuh nggak nawarin aku mau beli baju. Lalu aku beli sendiri karena aku suka satu kemeja. Pas di kasir, suami aku yang bayarin. Lalu, pas nyampe rumah, ipar aku suka dan dia mau kemeja yang aku suka. Suami dan keluarganya nggak cegah adik ipar aku. Mau nggak mau aku ngalah. Naasnya lagi uang aku hilang 300 ribu di dalam koper. Masa sih tuyul yang ngambil"
Maya dan Vika menghela napas panjang. "Kamu nggak sendiri, keluarga suami aku juga gitu. Bahkan aku yang jadi tulang punggung keluarga mereka. maunya aku, kalau memang nggak mampu buat kuliahin anak, ya jangan dipaksa. Alhasil, aku yang harus ngumpulin uang untuk bayar SPP nya. Belum lagi uang kos. Suami aku memang kerja, dan gajinya hanya bisa untuk makan sehari hari" keluh Maya.
"Sudah, jangan bersedih. Berdoa saja, semoga ipar kalian itu cepat wisuda biar kelar urusan mereka sama kalian. Dengar cerita kalian, aku rasa aku disini yang beruntung. Alhamdulilah, mertua dan ipar aku semuanya baik. Bahkan mereka sering ngasih uang jajan ke anak aku" ungkap Vika.
"Masya Allah, kamu beruntung bangat, Vika. Aku senang mendengarnya" Anggi berucap.
Di sisi lain, Jena menyandarkan bahu di kursi mobil. Begitu juga dengan Wati. Kedua adik Gibran itu merasa senang bisa naik mobil. Nanti, setelah sampai di Sekolah, dia akan memarkirkan mobil kakak iparnya. Mengatakan bahwa sekarang keluarganya telah memiliki mobil.
"Kak, Kak Anggi itu baik ya" ucap Jena memuji.
"Iya, baik seperti Kak Sonaya" timpal Wati.
"Kak, bentar lagi kan kami dengar hasil. Kakak dan Kak Anggi biayai kami berdua kuliah ya. Lagian, Kak Anggi kan nggak punya adik, jadi nggak masalah untuk dia biayain aku dan Wati" ucap Jena tak tahu malunya.
Anggi memang tidak punya adik, tapi Anggi punya Kakak. Yang biayai Anggi kuliah pun keluarganya, bukan keluarga Gibran, lantas kenapa Anggi harus menjadi tulang punggung kedua setelah Gibran. Entahlah, keluarga Gibran memang unik pikirannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments