Gibran Anindito, anak tertua dari lima bersaudara. Ibu nya bernama Siska dan Ayah nya bernama Roni. Siska adalah Ibu yang kerjaannya hanya makan tidur dan menunggu tanggal muda. Karena setiap tanggal muda Gibran gajian dan 98% uangnya akan diserahkan pada sang Ibu. 1% nya untuk dia dan 1% nya untuk Sonaya, istri Gibran Anindito. Sementara Roni pemabuk berat yang jarang pulang ke rumah.
Bekerja dari pagi sampai malam membuat Gibran memiliki sedikit waktu di rumah sehingga dia banyak melewatkan apa yang dikerjakan oleh Sonaya di rumah. Sampai Sonaya meninggal pun Gibran tidak tahu bila istrinya itu sengsara di rumah mertua. Sonaya meninggal karena bunuh diri akibat tekanan dari Ibu mertuanya. Ibu mertuanya selalu menyindirnya, bahkan kerap menjelekkan Sonaya di depan para tetangga namun selalu memuja Sonaya di depan Gibran.
Sonaya yang tak punya sanak saudara di rantau, menjadi stress dan akhirnya bunuh diri. Dia ingin berbagi dengan Gibran, tapi dia yakin, Gibran tidak akan percaya padanya karena yang Gibran tahu, orang tuanya menyayangi Sonaya.
Adik perempuan Gibran yang bernama Larasati sementara kuliah di kampus Swasta di kotanya mengambil jurusan Sastra Inggris dan sekarang semester lima. Sementara adik kedua dan ketiganya masih sekolah SMA dan tak lama lagi akan lulus sekolah. Yang bungsu, Anja namanya, dia baru kelas 6 SD.
Mendengar kabar tentang status calon istri sang Kakak, ketiga adik Gibran gembira. Pasalnya, yang masih SMA bisa kuliah tanpa harus ada yang menunggu tahun berikutnya. Toh calon istri kakaknya punya gaji, jadi dari gaji itu mereka bisa gunakan untuk kebutuhan keluarga. Bukan hanya ketiga adik Gibran, Ibu Siska pun tak kalah bahagianya. Terlebih dia mendengar orang tua calon menantunya telah meninggal. Itu berarti semua gaji menantunya tidak akan terbagi ke siapapun.
"Gibran, cepat lamar ipar teman kamu itu. Mama sudah nggak sabar punya menantu" ucap Siska, Mama nya Gibran yang sementara di meja makan.
"Iya, Mah" sahut Gibran lalu memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
"Saran Mama ni, kamu belikan dia apa gitu, atau untuk keponakannya. Oh iya, terutama untuk keponakannya. Setahu Mama, anak bungsu itu paling sayang ponakannya" usul Siska yang dibenarkan oleh Roni dan ketiga adik Gibran.
"Hmmm" sahut Gibran sekenanya saja. Setelah sarapan, Gibran pamit pergi. Menyisakan keluarganya di meja makan.
"Cis! Suka sekali memeras orang" Anja, anak kelas 6 SD itu paling tidak suka perilaku keluarganya. Bahkan dia benci sikap Gibran yang menurutnya tidak tegas sebagai kepala keluarga saat Sonaya masih hidup. Sonaya juga baru meninggal tiga bulan yang lalu dan Gibran sudah berniat nikah lagi. Dari Gibran, Anja belajar. Dia bertekad untuk tidak seperti Gibran kelak saat dia sudah besar.
"Anak kecil jangan ikut campur urusan orang dewasa" Laras, adik pertama Gibran menegur.
"Tahu tuh, disentil baru tahu rasa!" celetuk Jena, adik kedua Gibran.
"Dia ini anak yang kelak tidak memberi Mama uang" timpal Wati, adik ketiga Gibran.
"Sudah sudah ..." Siska menengah.
Gibran ke Cafe Gratis Janji, bertemu Anggi di sana. Setibanya di sana dia melihat Anggi sudah lebih dulu sampai. Rambut lurus sebahu, juga pakaian yang Anggi kenakan membuat Gibran takjub. Bahkan pria itu merasa sedang jatuh cinta. Tekadnya sudah bulat, dia akan memperistri Anggi. Dengan harapan Anggi bisa menjadi menantu yang baik untuk kedua orang tuanya. Seperti Sonaya yang baik.
"Dari tadi?" tanya Gibran mengambil tempat di depan Anggi.
"Belum lama" balas Anggi tersenyum. Dilihat dari penampilan Gibran, sepertinya pria itu pecinta kebersihan. Pikir Anggi.
Berbincang dengan Gibran, Anggi merasa cocok. Dan dia berharap semoga pilihannya juga pilihan keluarga tidak salah. Setelah berbincang, Gibran mengantar Anggi pulang ke rumah. Seperti usul Tante Siska, Gibran membawa hadiah untuk ponakan Anggi. Melihat ponakannya bahagia, keputusan Anggi sudah bulat, boleh dikata baru 1 bulan dia kenal Gibran.
"Bagaimana?" tanya Irsan setelah Gibran pulang.
"Baik orangnya" jawab Anggi. Ya, Gibran memang baik, saking baiknya 98% gajinya untuk keluarganya. Entah bagaimana nanti saat sudah memperistri Anggi, karena saat memperistri Sonaya, Sonaya hanya diberi uang tiga ratus ribu dalam sebulan. Sementara yang lain untuk orang tua Gibran dan kebutuhan dapur. Tiga ratus ribu itu Sonaya simpan tapi kerap hilang dicuri oleh salah satu dari penghuni rumah.
"Jadi apa keputusanmu?" tanya Dita.
"Aku mau kok menikah dengannya" balas Anggi menarik senyum.
.
.
Karena Anggi sudah setuju, maka pernikahan pun akan digelar tanggal 28 Agustus, dan hari ini adalah hari yang membahagiakan bagi Anggi dan Gibran. Tepatnya pagi tadi sekitar jam 11, Anggi dan Gibran resmi atau sah menjadi pasangan suami istri.
"Anggi, makasih ya. Kamu udah mau nikah denganku. Aku nggak janji, tapi aku akan berusaha menjadi suami yang bertanggung jawab" ucap Gibran membelai pipi Anggi.
Seperti anak ABG, pipi Anggi memerah. Bukan kalimat Gibran, tapi sentuhan fisik Gibran berhasil membuat darah Anggi mendidih. "Iya, sama-sama" jawab Anggi setelah menguasai dirinya.
Ketukan pintu mengalihkan pandangan Anggi dimana yang mengetuk pintu kamar itu adalah Dita dan Santi yang mau pamit pulang. Anggi segera membuka pintu. Dilihatnya kedua kakaknya menarik senyum.
"Maaf ya, Gibran. Mbak pinjam istri kamu sebentar" ucap Santi.
Gibran menghampiri. "Nggak Papa kok, Mbak" balasnya.
Setelah berpamitan pada Anggi dan keluarga suaminya, Dita dan Santi sekeluarga pamit pulang. Mereka harus kembali ke rumah mereka, terlebih besok pagi mereka masuk kerja dan jarak rumah dari rumah rumah Gibran lumayan jauh.
Sepeninggal keluarga Anggi, adik Gibran bernama Laras masuk ke dalam kamar Gibran dan Anggi. Tindakan Laras membuat Anggi mengerutkan kening, pasalnya Laras masuk tanpa mengetuk pintu. Bagaimana jika Anggi dan Gibran sedang begituan? Bisa malu Anggi nya.
"Emmm .. Maaf, Kak. Aku lupa kalau Kak Gibran sudah menikah" jelas Laras salah tingkah. Sebenarnya Laras mau ambil uang di dompet Gibran, ada yang mau wanita itu beli. Dan dia sudah terbiasa masuk ke kamar Gibran mengambil uang di dompet sang Kakak. Tentu tanpa sepengetahuan Kakak nya. Tadi, dia mengira Anggi di dalam kamar mandi, nyatanya wanita itu sedang menyeka riasan di wajahnya.
"Nggak Papa. Oh ya, kamu nyari Kak Gibran?" tanya Anggi.
"Iya, Kak" jawab Laras berbohong. Daripada ketahuan, lebih baik berakting.
"Ada apa?" Gibran tiba-tiba berdiri di ambang pintu.
"Kakak dipanggil Mama" jawab Laras cepat. Dia dan Mama nya satu tim, jadi Mama nya pasti paham bila nanti Gibran bertanya padanya.
"Ya sudah, nanti Kakak temui Mama. Bilang sama Mama bentar ya, Kak Gibran mandi dulu" ucap Gibran yang dibalas anggukan kepala oleh Laras.
Setelah mandi, Gibran dan Anggi menemui keluarga yang sementara di ruang keluarga. Terlihat keluarga Gibran bahagia. Entah apa yang membuat mereka tertawa girang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments