Episode 3

"Mah, tadi kata Laras Ibu nyari aku. Ada apa?" tanya Gibran setelah mendudukkan bokongnya.

"Mama mau pinjam uang kamu, mau ganti uang Bu Sisa yang Mama pinjam kemarin" jelas Mama Siska yang sudah bekerja sama dengan Laras.

"Berapa?" tanya Gibran dengan santai.

"1 juta" balas Mama Siska cepat.

"Iya, nanti besok pagi baru ku kasih" ucap Gibran tanpa melibatkan Anggi dalam keputusannya. Anggi di samping pun tak mempermasalahkan itu.

Keesokan harinya, bayangan semalam masih diingat jelas oleh Anggi. Karena nya dia menatap malu Gibran yang semalam menjelajahi tubuhnya. Tak tahu harus berkata apa, Anggi menarik diri ke kamar mandi meninggalkan Gibran yang hendak mengeluarkan uang 1 juta dari dalam lemari.

Gibran menemui Mama nya setelah pria itu mengenakan pakaian non formal. Seulas senyum tersungging manis di wajah tampannya saat dia mendapati Mama nya di dapur. "Mungkin Mama ingin menunjukan sisi baiknya pada Anggi" pikir Gibran. Pasalnya, selama ini sang Mama tidak suka terjun ke dapur.

"Mama, ini uangnya" Gibran meletakkan uang di atas meja.

Dalam hati Siska bersorak girang. Melihat sikap Anggi yang biasa saja kemarin, Siska yakin, menantunya itu bisa ia atur. Berbalik, Siska menatap sekilas sang putra. "Terima kasih, nanti Mama ganti uangnya kalau sudah ada uang"

"Nggak perlu diganti, Mama. Lagian Anggi nggak keberatan kok. Dia nggak protes saat aku bilang mau ngasih Mama uang" jelas Gibran.

Di kamar, Anggi baru selesai mandi. Segera wanita itu mengenakan pakaian. Hari ini hari pertamanya bermalam di rumah Ibu mertua namun dia sudah berani bangun telat. Bukan maunya, tapi Gibran lah yang membuatnya bangun terlambat. Bagaimana tidak, Gibran menahan Anggi saat wanita itu hendak turun dari ranjang.

Setelah mengenakan pakaian, Anggi menemui suaminya. Di meja makan, sudah ada keempat adik Gibran juga kedua orang tuanya. Anggi mengambil tempat di samping suaminya.

"Kak Anggi, Kakak kerja di mana?" tanya Wati.

"Di Dinas Kesehatan" balas Anggi. Anggi mengambil sedikit menu sarapan pagi yang dibuat oleh Mama mertuanya pagi tadi. Biasanya ada tetangga mereka yang di bayar Gibran untuk selalu datang menyiapkan sarapan pagi, makanan untuk makan siang dan malam. Tapi itu berlaku sejak Sonaya sudah meninggal. Sebelum meninggal, Sonaya lah yang menyiapkan segalanya. Dan sebelum menikah, Ponakan Ibu Siska yang tinggal dengan mereka yang menyiapkan segalanya.

Keluarga Gibran mengangguk. "Gaji Kakak berapa?" tanya Laras.

Ragu-ragu Anggi menjawab. "3 juta perbulan" lirihnya.

Laras, Wati dan Jena menarik senyum, begitu juga dengan Siska namun Siska tak menampakkan diri akan bahagianya dia mendengar jumlah gaji menantunya dalam perbulan. Roni juga begitu, dia tidak perlu bekerja keras untuk membiayai kedua putrinya yang tinggal beberapa minggu lagi akan lulus sekolah.

"Wah ... lumayan banyak ya, Kak" timpal Wati dengan mata berbinar.

Setelah sarapan, Gibran mengajak Anggi jalan-jalan ke suatu tempat. Tepatnya di Mall. Tak tahu perilaku keluarga suami, Anggi meninggalkan sebagian uangnya di dalam kopernya. Kebetulan pakaiannya belum dia pindahkan ke dalam lemari.

Mall Habis Uang, Anggi dan Gibran telah berada di Mall Habis Uang. Sesuai namanya, banyak pengunjung yang menghabiskan uang mereka hanya untuk membeli produk produk yang dipasarkan di dalam Mall tersebut. Mall Habis Uang adalah Mall yang berbeda dari Mall biasanya. Mall ini menjual banyak produk berkualitas dengan harga terjangkau.

"Sayang, menurut kamu ini pas nggak untuk Wati dan Jena?" tanya Gibran memperlihatkan dua stelan yang hanya beda warna.

"Pas, kok" jawab Anggi sesuai pertanyaan.

Berkeliling dari lantai satu sampai lantai tiga, tak satupun Gibran bertanya pakaian mana yang Anggi suka. Semuanya tentang keluarga Gibran saja. Anggi sedih, dia tak meminta dibelikan, dia hanya ingin ditawarin mau apa tidak? Suka apa tidak? Itu saja.

"Mas, kok aku di dibelikan" Anggi memberanikan diri untuk bekomentar.

Gibran tersenyum. "Aku lihat pakaianmu banyak, jadi aku yakin, kamu nggak akan mau sekalipun aku tawarin"

Dalam hati Anggi kecewa tapi biarlah. Toh Anggi punya uang, dia bisa beli sendiri. Anggi memilih baju kemeja yang menurutnya bagus bila dikenakan ke tempat kerja. Dia pun mengambilnya.

"Mas, masih ada yang mau kamu beli?" tanya Anggi. Pasalnya dia sudah jenuh.

"Sudah nggak ada, ayo" Gibran mengajak Anggi ke kasir. Gibran membayar belanjaan untuk keluarganya sebanyak 2 juta. Dengan harga segitu, Gibran tak mempermasalahkan. Karena pada dasarnya dia sangat menyayangi keluarganya.

"Biar aku yang bayar punyamu" ucap Gibran pada istrinya. Anggi tersenyum.

Usai berbelanja, Anggi mengajak suaminya pulang ke rumah. Dalam perjalanan, Anggi melirik Gibran yang serius menyetir. Ada sesuatu yang ingin dia tanyakan tapi dia tidak berani. Lama berpikir, akhirnya Anggi bertekad bertanya.

"Mas, kapan kita pindah? Maksud aku kita tinggal di Kontrakan atau di indekos. Kita kan sudah menikah, masa mau tinggal dengan orang tua terus"

"Aku nggak tahu kapan, karena Mama tuh nggak ngizinin aku keluar dari rumah" balas Gibran.

Jleb!! Anggi menelan sedikit saliva nya. Suaminya itu memang anak penurut, saking nurutnya dia sampai terlihat bego. Dia sudah menikah, kenapa harus mau diatur oleh orang tuanya.

"Bagaimana kalau kita punya anak? Kamar di sana kurang, bahkan Wati dan Jena saja tidur di kamar yang sama" jelas Anggi mengeluarkan apa yang dia pikirkan.

Gibran tersenyum. "Sayang, apa kamu lupa, Laras bentar lagi sarjana. Kalau dia sudah kerja, dia pasti akan keluar dari rumah. Anak kita bisa kita tidurkan di kamar Laras"

Jleb!! Anggi terdiam. Tak ingin berdebat, Anggi hanya diam saja.

Mobil yang dikendarai Gibran telah berhenti di depan rumah. Segera Anggi dan Gibran turun mengeluarkan barang belanjaan dari bagasi. Melihat papar bag ditangan Gibran, ketiga adik Gibran menghampiri.

"Kakak ini punya siapa?" tanya Jena.

"Punya kalian" jawab Gibran berjalan masuk ke dalam rumah.

Ketiga adik Gibran segera mengekor sang Kakak ke dalam rumah. Mereka duduk setelah sang Kakak duduk. "Itu punya Kakak?" tanya Laras pada Anggi seraya melirik paper bag ditangan Anggi.

Anggi menarik senyum. "Iya" jawabnya seadanya saja.

"Boleh aku lihat" izin Laras.

Anggi kembali menarik senyum. "Boleh" jawabnya seraya menyodorkan paper bag miliknya.

Laras menerimanya lalu mengeluarkan kemeja yang Anggi suka. "Wah ... bagus sekali, Kak. Bisa tukaran sama aku nggak, Kak? Baju kemeja milikku tinggal 2, lainnya udah kecil" Laras memasang ekspresi sedih agar iparnya itu menaruh belas kasih padanya.

Anggi melirik Gibran, meminta Gibran untuk membelanya dengan berkata 'nggak boleh, itu punya Kakak kalian'. Tapi bukannya bantu menjawab, Gibran justru menganggukkan kepala kepada Anggi meminta istrinya itu menyetujui keinginan sang adik.

Walau berat hati, Anggi menyetujui keinginan adik iparnya. "Mungkin ini salah cobaan rumah tanggaku" batin Anggi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!