Selama ini semua berjalan baik-baik aja dalam hidup Ara. Bahkan dia sudah merasa sangat nyaman dengan Abi dan dia yakin jika Abi juga merasakan hal yang sama.
Tapi siapa sangka jika malam ini Rachel datang ke rumahnya dengan wajah yang tertekuk lesu.
“Kenapa malam-malam ke sini sih? Kalau ada apa-apa gimana?!” teriak Ara ketika melihat Rachel bahkan tak memakai jaket.
“Sini masuk!” Ara menarik gadis itu untuk masuk ke dalam rumahnya dan mendudukkan gadis itu di ruang tamu.
Sebelum membuat minuman hangat, Ara menaikan suhu ruangannya agar tak terlalu dingin.
“Tunggu bentar,” ujar Ara sebelum kemudian dia berlalu dari sana.
“Loh, Rachel. Kok malam banget mainnya?” Bunda Ara datang menemani Rachel duduk di sana.
“Ah, iya Tante. Ada yang mau Rachel omongin sama Ara,” jawabnya.
“Terus sekarang Ara-nya ke mana?” tanya Bunda.
“Kayanya lagi ke dapur.” Bunda Ara mengangguk. “Kalau gitu Tante tinggal dulu ya. Masih ada kerjaan buat besok.”
Rachel mengangguk dengan senyuman di wajahnya. Tak lama setelah kepergian Bunda Ara, Ara datang dengan secangkir minuman yang masih mengepul.
“Nih minum dulu buat hangatin badan lo,” ucapnya sambil menyodorkan minuman itu pada Rachel.
Rachel menerimanya dan meminumnya perlahan. Coklat panas yang dibuat Ara memang selalu menjadi yang paling enak baginya.
“Ada apa sampai malam-malam maksain ke sini?” tanya Ara. Sebenarnya dia masih kesal pada temannya itu, tapi mau bagaimana lagi, dia juga merasa khawatir jika penampilan temannya itu seperti sekarang.
“Sorry ganggu lo malam-malam gini. Ada hal yang perlu gue bicarain sama lo,” ucap Rachel dengan raut wajah yang serius.
“Gak apa-apa. Kenapa?” Ara kembali bertanya pada Rachel.
“Lo beneran serius sama Abi?” Pertanyaan yang tak Ara sangka bakal keluar dari mulut Rachel.
“Emangnya kenapa?” Ara tak mengerti dengan apa yang ditanyakan temannya itu. Maksudnya, biarlah itu menjadi urusannya dan Rachel tak perlu ikut campur.
“Gue mohon sama lo, jangan pernah mau sama dia.” Ucapan yang baru saja keluar dari mulut Rachel membuat Ara tersinggung.
“Emang apa urusan lo?” tanya Ara sinis. Dia sangat tak suka dengan cara penyampaian Rachel.
“Gue tau dia orang yang kaya gimana. Dan gue gak mau lo sakit hati cuma karena dia,” ujarnya.
“Dia baik. Jangan pernah lo jelek-jelekin dia lagi. Kalau cuma itu yang mau lo bilang, mending sekarang lo pergi karena gue gak mau dengar,” ucap Ara.
Rachel menunduk dalam. Dia mengepalkan tangannya. Ada sedikit rasa sesak di hatinya karena ucapan sahabatnya itu, tapi dia tak bisa berbuat banyak karena dia juga tak mau membuat hati temannya sakit.
“Gue mohon, dengerin gue kali ini aja. Jangan sama dia. Lo boleh sama siapapun asal jangan sama dia,” ujarnya memohon.
“Lo boleh pergi dari sini.” Ara menarik tangan Rachel untuk bangkit dari duduknya dan membawa gadis itu keluar dari rumahnya.
“Ra, gue mohon.”
“Jangan pernah datang ke sini lagi kalau cuma mau jelekin orang. Asal lo tau, gue gak akan percaya sebelum gue lihat dengan mata gue sendiri.” Tanpa menunggu Rachel menjawab, Ara menutup pintu rumahnya dengan kasar hingga membuat Rachel di luar sana terlonjak.
“Tuhan, gimana lagi gue harus bilang sama dia.” Gadis itu berjongkok dengan menelungkupkan kepalanya di lipatan lututnya.
“Gak boleh. Apapun yang terjadi, gue gak akan biarin Abi hancurin hidup Ara.” Dengan tekad yang kuat, dia kembali bangkit.
Satu tempat yang saat ini terlintas dalam kepalanya.
****
Rumah yang cukup besar kini ada di hadapan Rachel. Penampilannya benar-benar sudah lusuh. Mengingat hari mulai malam dan jarang sekali ada angkutan umum, akhirnya dia berjalan dari rumah Ara.
“Stef!!” teriak gadis itu sambil mengetuk pintu rumah temannya. Beruntungnya Stefani tinggal sendiri di rumahnya karena orangtuanya memilih tinggal di rumah yang berbeda.
“Sebentar!!” Terdengar balasan teriakan dari dalam yang membuat Rachel akhirnya berhenti memanggil dan mengetuk pintu.
“Lo?!” tanya Stefani terkejut dengan kehadiran sahabatnya itu.
“Boleh gue ngomong bentar?” tanya Rachel.
Stefani mengangguk mengiyakan dan mempersilahkan Rachel untuk masuk ke rumahnya.
“Abis dari mana lo? Kenapa penampilan lo kaya gembel gini?” tanya Stefani dengan pandangan matanya mengarah pada Rachel dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Dari rumah Ara.”
“Terus sekarang ngapain lo ke sini?” tanya sang pemilik rumah.
“Bantu gue,” pinta Rachel. Stefani mengernyit tak mengerti. Apa yang harus dia bantu hingga Rachel datang ke rumahnya malam-malam begini.
“Lo tau Ara lagi dekat sama Abi?” tanya Rachel yang langsung mendapatkan anggukan dari Stefani.
“Bantu gue jauhin mereka berdua.” Ucapan Rachel membuat mata Stefani membulat sempurna.
“Apa maksud lo? Setelah lo masukin kita ke organisasi itu dan lo kabur gitu aja, sekarang lo juga mau ambil kebahagiaan Ara?!” sentak Stefani naik pitam.
“Bukan gitu. Kalian gak tau Abi orang kaya gimana. Tolong pisahin mereka sebelum terlambat.” Rachel tak mengindahkan bentakkan Stefani.
“Gak, gue gak bisa ambil kebahagiaan sahabat gue sendiri. Dan gue yakin kalau Abi orang yang baik.”
Rachel menggeleng pelan. Dia tak habis pikir jika sahabat-sahabatnya tak ada satupun yang percaya padanya.
“Jadi kalian lebih percaya Abi daripada gue?” tanya Rachel agak kecewa.
“Sorry, tapi gue benar-benar gak bisa pisahin mereka berdua. Gue lihat kalau mereka udah saling nyaman satu sama lain. Meski sekarang mereka belum jadian, tapi gue yakin gak lama lagi mereka bakal official.” Stefani menjelaskan dengan penuh keyakinan.
Akhirnya Rachel hanya bisa menghela nafas berat. Dia tak tahu lagi harus melakukan apa agar teman-temannya itu percaya dengan apa yang dia katakan.
“Gue punya bukti.” Akhirnya dia mengingat salah satu orang yang bisa dia jadikan bukti.
Stefani menghela nafas. “Ini udah malam dan lo makin ngawur. Mending sekarang lo pulang. Kita ngomong besok lagi.” Dengan cara yang sama seperti yang dilakukan Ara tadi, Stefani juga meminta Rachel untuk keluar dari rumahnya.
“Astaga, apa yang mesti gue lakuin,” lirih Rachel saat Stefani sudah berhasil membuatnya keluar dari rumahnya.
Akhirnya dengan terpaksa, untuk malam ini Rachel akan mengalah dan menyerah. Tapi besok, dia akan kembali mencari cara untuk membuat kedua sahabatnya itu percaya dengan apa yang dia katakan.
Rachel berjalan gontai menuju rumahnya. Dia sudah tak peduli berapa jauh dia akan berjalan, dia hanya ingin sendiri dan memikirkan cara agar dia bisa membongkar semuanya.
Sorot lampu mobil di depannya membuat Rachel mengangkat tangannya untuk menutupi rasa silau itu.
Tak lama mobil itu berhenti tepat di samping Rachel. Gadis itu menoleh dan terkejut dengan siapa yang dia lihat. “Lo?!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments