Seperti yang telah dijanjikan Abi kemarin, pria itu kini telah ada di depan rumah Ara dengan pakaian rapi.
Memang bukan gayanya, mungkin karena akan pergi ke kampus jadi Abi berpakaian sedikit sopan.
“Udah siap?” tanya Abi saat Ara datang menghampirinya.
“Hmm, udah.” Ara menjawab sembari menerima helm yang diberikan Abi.
Abi bukan orang biasa. Pria itu lahir di keluarga kaya yang serba ada dengan keluarga harmonis. Namun, entah kenapa pria itu lebih nyaman menggunakan motor dibandingkan dengan mobil yang dia miliki di rumahnya.
Sepanjang jalan, keduanya bersenda gurau. Untuk kali pertama setelah kehilangan Ayahnya Ara bisa tertawa lebar oleh seorang pria.
Entah sudah berapa banyak gombalan yang sudah Abi keluarkan dari mulutnya untuk Ara dan sepertinya ini adalah batasannya, dan Ara kalah.
Dia jatuh sejatuh-jatuhnya pada pesona seorang Abiseka Bagaskara. Seorang pria yang baru saja dia kenal beberapa bulan lalu dan berhasil membuatnya nyaman dengan keberadaannya.
“Sepertinya bukan hanya aku yang merasa nyaman.” Itulah kiranya isi hati Ara.
****
Abi kembali berkunjung setelah menyelesaikan urusannya di kampus. Sebenarnya bukan sekedar berkunjung, tetapi juga mengantarkan Ara kembali ke rumahnya.
“Kepala gue pusing, Ra,” keluh Abi.
Ara menoleh pada pria itu. “Kenapa? Belum makan?” tanya Ara. Spontan Ara meletakan telapak tangannya di dahi pria itu untuk mengecek suhu tubuhnya.
“Gak tahu. Padahal udah makan loh tadi.”
“Bagus deh kalau udah makan. Nih minum.” Ara menyodorkan sebuah pil yang dia ambil dari dalam lengkap dengan air mineral. Abi menerimanya sebelum kemudian meneguk obat itu.
“Makasih,” ucapnya.
“Bi.” Sebuah suara lembut masuk ke dalam indera pendengaran Abi. Abi menoleh melirik gadis yang baru saja memanggil namanya.
“Gue ngebosenin gak sih?” Sebuah pertanyaan yang tiba-tiba terlintas dalam kepala Ara.
“Enggak. Emang kenapa?” tanya Abi merasa aneh dengan pertanyaan yang terlontar dari bibir Ara.
“Gue ngerasa kalau lagi ngomong sama orang, gue banyak diamnya. Kaya sama lo, selalu lo yang jadi pembicara dan gue yang jadi pendengar aja. Gue takut lawan bicara gue bosen sama gue. Termasuk lo juga mungkin bosen.” Ucapan Ara diakhiri dengan lirikannya pada Abi yang masih setia mendengarkan perkataan Ara.
“Gue gak pernah bosan. Buktinya, gue selalu mau ngomong sama lo. Dan satu lagi yang perlu lo tahu, gue juga tipe cowok gak jelas.” Kalimat terakhir dari Abi terasa menjadi kalimat penenang bagi Ara.
“Dan perlu lo tahu juga kalau lo sama sekali gak gaje. Buktinya selama ini topik pembicaraan selalu datang dari lo.” Ara tersenyum simpul dan dibalas senyuman pula oleh Abi.
****
Suara batuk terdengar di penjuru sekretariat BEM. Abi melirik melihat asal suara itu, dan dia menemukannya.
Gadis dengan pakaian serba hitam tengah menutupi sekitar mulut dan hidungnya karena asap yang mengepul di penjuru ruangan itu.
“Yang mau ngerokok boleh di luar dulu gak? Kasian yang cewe,” perintah Abi. Pria itu termasuk pria yang sangat peka dengan keadaan.
Kini di sekretariat memang tak terlalu ramai, hanya ada Abi, Rangga, Ara, Stefani dan Shaka.
Shaka juga salah satu teman Abi yang sangat dekat. Pria itu keluar ruangan setelah mendapatkan perintah dari Sang Ketua BEM.
“Lo juga suka ngerokok?” tanya Ara pada Abi. Mereka memang duduk bersebelahan karena Ara membutuhkan bantuan Abi untuk mengerjakan laporan pertanggung jawaban.
“Suka. Kenapa?”
“Lo bilang tadi ‘kasian yang cewe’ ,kan? Terus lo gak kasian sama tubuh lo sendiri?” Ara berusaha menyampaikan maksudnya.
Bukannya mengatur, dia hanya ingin Abi sadar bahwa rokok juga membahayakannya.
“Mau, gue juga mau berhenti. Tapi susah.” Ara menghela napas mendengar jawaban Abi. Hampir semua orang yang dia suruh berhenti merokok menjawab dengan jawaban yang sama, termasuk Ayahnya ‘dulu’.
“Semalam Rangga sama Sakha jadi nginep?” Ara berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
“Jadi,” jawab Abi.
“Hujannya gede banget kan?” Benar, semalam hujan memang sangat deras.
“Iya, tapi sempet berhenti sih. Tapi mungkin mereka ngerasa nyaman kalo sama gue, jadi mereka nginep.” Abi menampilkan deretan giginya dengan mata yang ikut menyipit.
“Percaya diri banget lo!” kesal Ara.
“Beneran, barengan sama gue itu hal ternyaman di dunia tau.” Abi menyombongkan dirinya.
“Iya iya percaya karena gue juga ngerasain itu,” cicit Ara. Dia berusaha berbicara sepelan mungkin agar Abi tak mendengarnya. Namun sepertinya gagal karena sepersekian detik kemudian Abi menjawab ucapan Ara.
“Asli?!” tanya Abi heboh.
Bukannya menjawab, Ara malah memukul pelan bahu Abi hingga pria itu meringis.
****
Sebuah pesan masuk muncul di ponsel Ara. Malam ini terasa sangat dingin, mungkin karena di luar sedang hujan.
Ara membuka notifikasi itu. Sebuah pesan suara. Ara mendekatkan ponselnya ke telinga sebelah kanannya.
“Coba buka deh.” Itulah kalimat yang terdengar saat Ara mendengarkan pesan suara itu. Tak lama sebuah video muncul di layar ponselnya. Ternyata orang di seberang mengirimnya sebuah video.
Ara tersenyum. “Sangat lucu.” Itulah kalimat yang pertama kali muncul dalam pikirannya. Tak banyak yang pria dalam video itu lakukan, hanya melihat ke kamera dan tersenyum simpul.
Belum selesai Ara tersenyum karena video itu, tiba-tiba orang yang mengirim video itu menelponnya.
“Upload boleh tuh, Bi. Lucu,” canda Ara. Ya, orang itu adalah Abi.
“Gak mau, gue lucu buat cuma lo. Kalau di luar gak mau dianggap lucu.”
“Kenapa?” tanya Ara penasaran. Padahal banyak pria di luar sana yang membuat ekspresi wajah lucu hanya untuk mendapat like di sosial media.
“Kalau lo dalam bahaya gue nanti gak bakal bisa ngebela lo,” jawabnya. Sebenarnya jawaban sederhana, namun hal itu mampu membuat wajah Ara memerah seperti kepiting rebus.
Ara tak lagi membalas perkataan Abi. Dia akan membiarkannya sampai hatinya merasa tenang dan tak lagi berdetak kencang.
****
Pagi harinya, Ara harus pergi ke kampus untuk mengerjakan sebuah dokumen. Di sana tak hanya ada dirinya, tapi beberapa anak BEM lain juga hadir termasuk Abi.
“Cara ngetik lo keren,” ucap Abi spontan ketika Ara sedang menggarap sebuah dokumen.
“Gak ada, cara ngetik gue sama aja kaya orang-orang di luar sana,” jawab Ara. Walaupun begitu matanya masih terfokus pada layar komputer dan tangannya bergerak dengan lincah di atas keyboard.
“Mungkin cara ngetik lo sama kaya orang-orang di luar sana. Tapi gue yakin kalau cara ngetik lo beda sama cara gue ngetik.”
“Emang lo ngetik gimana?” Ara menghentikan kegiatannya dan beralih menatap Abi dengan serius.
“Sebelas jari,” celetuknya.
“Sebelas jari gimana maksud lo. Jari tangan lo aja cuma sepuluh!” kesal Ara.
“Sebelas jari gini maksud gue.” Abi mengacungkan kedua jari telunjuknya dengan cengiran tanpa dosanya.
“Sialan lo!” Daripada mendengarkan ocehan mahluk satu ini, Ara lebih memilih melanjutkan kegiatannya dan tak lagi memedulikan perkataan Abi.
Abi berusaha mengganggu Ara dengan berbagai cara. Namun gagal, dia hanya dianggap angin lalu oleh gadis itu setelah apa yang dia lakukan sebelumnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments