Jika orang-orang mengatakan bahwa intensitas pertemuan mempengaruhi rasa suka, maka sepertinya hal itu benar adanya. Buktinya adalah perasaan Ara.
Gadis itu semakin hanyut dalam rasa sukanya terhadap Abi. Awalnya dia tak sedikitpun menyukai pria itu. Tapi karena sikap dan perhatian lebih yang Abi berikan padanya, hal itu membuat perasaan Ara pada Abi kian membesar.
Lamunan Ara buyar ketika dia mendengar deru motor yang memasuki halaman rumahnya. Ara beranjak dari duduknya untuk melihat siapa yang datang.
“Abi?” desisnya hampir tak terdengar. Setelah menggumamkan nama yang sangat dia kenal, Ara segera pergi ke luar untuk melihat orang itu.
“Eh udah keluar aja, belum juga gue panggil,” ucap Abi menggodanya.
“Gimana gak keluar, suara motor kalian berisik.” Ya, di sana bukan hanya ada Abi saja, tapi Sakha dan Stefani juga ada di sana.
“Ya maaf, masa kita harus dorong motor kita dari depan sih.” Stefani menimpali ucapan Ara.
“Ya udah iya. Sini-sini masuk.” Ara mempersilahkan ketiga orang temannya untuk masuk. Dia membawa beberapa minuman dan makanan yang dia letakan di dalam toples.
“Ada apa? Tumben rame-rame,” tanya Ara.
“Rame-rame? Jadi biasanya ada orang di antara kita yang datang ke sini sendiri?” sindir Sakha. Netra pria itu melirik Abi bermaksud menggoda pria itu.
“Gak gitu.” Ara gelagapan karena tak bisa menjawab dengan pasti pertanyaan Sakha.
“Udah ah jangan goda Ara mulu,” ucap Abi yang tentu saja malah membuat Stefani dan Sakha makin gencar menggoda mereka.
“Oke udah selesai bercandanya. Kita mau ajak lo jalan,” ucap Stefani. Dia gemas sendiri karena kedua pria yang ada di sana terus saja menggoda Ara.
“Ke mana?” tanya Ara.
“Tongkrongan depan?” Pertanyaan Abi bermaksud meminta pendapat teman-temannya.
“Ayo sih, tapi gue belum siap-siap.”
“Ya udah sana siap-siap dulu,” ucap Abi. Ara mengangguk dan mulai beranjak dari sana. Setelah kepergian Ara, Abi membuka pembicaraan dengan topik yang lumayan serius.
“Rachel ngirim surat pengunduran diri,” ucap Abi. Stefani tak terlalu terkejut karena memang sudah tahu tentang hal itu sebelumnya. Hanya saja wajahnya sedikit muram setelah Abi membicarakan hal tersebut.
“Terus udah lo terima? Maksud gue, lo ijinin dia keluar?” tanya Sakha. “Gue masih bingung, dia ngundurin diri tanpa sebuah alasan yang jelas.” Abi terlihat sedikit kebingungan dengan hal tersebut.
“Lagi ngomongin apa?” Pertanyaan Ara yang tiba-tiba membuat semua orang yang ada di sana terlonjak.
“Bukan apa-apa. Cuma soal pengunduran diri Rachel.”
Yang semula raut wajah Ara sangat sumringah kini terganti dengan wajah kesalnya. Dia belum selesai dengan rasa marahnya pada Rachel dan sekarang teman-temannya mengingatkannya pada hal itu lagi.
“Oke simpan topik itu buat nanti aja. Sekarang kita berangkat?” tanya Sakha berusaha mengalihkan perhatian teman-temannya.
Semuanya mengangguk dan pergi dari sana. Suasana yang mulai sore membuat langit tak lagi secerah siang tadi.
“Udah bilang Nyokap belum?” tanya Abi pada Ara. Itulah perhatian kecil yang mampu membuat Ara terbiasa dan tentu saja terbawa perasaan.
“Udah,” jawab Ara sambil mengangkat ponselnya yang menampilkan pesan yang dia kirim pada Bundanya.
“Oke, yo naik.” Ara menuruti permintaan Abi dan mereka pergi ke tempat yang mereka maksud tadi.
***
Mereka berjalan-jalan di taman kota sebelum kemudian mencari tempat untuk beristirahat dan mengisi perut mereka.
“Dingin gak?” tanya Abi. Ara menggeleng kecil. Sebenarnya dia kedinginan karena gadis itu tidak mengenakan jaket. Tapi dia tidak mengatakannya karena dia tak ingin merepotkan teman-temannya.
“Gue tau lo kedinginan.” Abi membuka jaketnya dan menyampirkannya di bahu Ara. Pertanyaannya beberapa lalu hanya digunakan Abi untuk mengetes Ara apakah gadis itu bisa jujur padanya atau tidak. Dan dia menemukan jawabannya.
Pada akhirnya Ara dan Abi berpisah dengan Sakha dan Stefani. Mereka berjalan berpasangan dan kembali bertemu di tempat yang sudah mereka sepakati.
“Hati-hati nyebrangnya.” Abi menggandeng tangan Ara saat mereka akan menyebrangi jalan. Ya tempat yang akan mereka datangi ada di seberang jalan.
“Kemana aja sih?” tanya Stefani saat Abi dan Ara baru saja datang. Sepertinya Sakha dan Stefani sudah lama menunggu.
“Jalan-jalan di depan,” jawab Ara sambil mendudukkan bokongnya di kursi. Makanan sepertinya sudah dipesan Stefani.
“Oke, ayo makan dulu. Perut gue udah kosong banget,” ucap Sakha.
Mereka memakan makanannya. Jika kalian berharap mereka makan dengan tenang dan damai maka kalian salah. Canda dan gurau sepertinya yang paling berisik di antara meja-meja yang ada di sana.
“Biarin, lagian lo duluan yang banting sepatu gue, ya gue banting balik lah,” ucap Stefani.
“Enggak ya, gue ingat banget waktu itu lo yang tendang-tendang sepatu gue,” ucap Ara. Mereka sedang menceritakan bagaimana sepatu Ara berakhir di atas genteng sekolah setelah Stefani melemparkannya.
Kedua pria yang mendengarkan cerita mereka hanya terkekeh dan Abi tak menyangka bisa melihat sisi lain dari seorang Ara yang seperti ini.
Rupanya gadis itu akan sangat terbuka dan bebas jika bersama dengan orang-orang yang menurutnya nyaman.
“Liatin apa lo?” tanya Ara saat sadar bahwa netra Abi tak beralih darinya.
“Liatin orang yang kayanya lagi happy banget hari ini,” goda Abi. Ara memukul pelan lengan Abi saat sadar bahwa orang yang dikatakan Abi adalah dirinya sendiri.
“Dih kenapa mukul?” tanya Abi sambil terkekeh.
“Diem ah!” Ara mulai merajuk kesal. Tapi, sepertinya Abi malah suka dengan tingkah Ara yang seperti itu.
“Lucu ya mereka berdua,” bisik Stefani pada Sakha yang ternyata bisikannya itu terdengar oleh Ara.
“Bilang apa lo?” tanya Ara. “Bukan apa-apa. Kenapa sih lo galak banget,” ucap Stefani.
“Gue emang gini orangnya.” Mereka menatap Ara dengan intens sebelum gelak tawa terdengar sangat nyaring dari meja mereka.
Hari sudah mulai larut, mereka memilih pulang karena tak ingin terkena omel orang tuanya.
“Makasih ya. Hati-hati di jalan. Kalau udah sampai kabarin.” Sebuah kalimat klise yang sudah berada di luar kepala tapi memiliki makna yang sangat dalam. Ara melambaikan tangannya pada teman-temannya.
“Sakha titip teman gue jangan sampai lecet!” teriak Ara setelah beberapa saat mereka menjalankan motornya.
Ara tersenyum bahagia. Waktu yang singkat namun memiliki kenangan yang hebat. Bisa Ara tebak jika kenangannya malam ini akan sulit Ara lupakan bagaimanapun gadis itu berusaha.
“Semoga gue gak harus lupain kenangan ini,” lirihnya. Dia tak ingin lagi ditinggalkan, apalagi dengan banyak kenangan yang menempel dalam benak dan ingatannya.
“Ra, masuk. Lagi apa di luar?” Suara Bundanya berhasil membuat Ara tersadar dari lamunannya.
“Iya Bun.” Ara tersenyum simpul dan mulai melangkahkan kakinya menuju ke dalam rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments