Tak ada angin tak ada hujan, keesokan harinya Abi menghubungi Ara. Ara tak menyimpan curiga pada pria itu. Mungkin saja Abi menghubunginya hanya untuk membahas kegiatan selanjutnya.
“Halo, lo di mana?” ucap Abi.
“Di rumah, kenapa?”
“Ada yang mau gue omongin. Gue ke sana boleh?”
“Iya boleh.”
“Gue ke sana sekarang.” Sambungan telepon mati.
Ara sempat berpikir karena penasaran dengan apa yang akan dibicarakan Abi. Namun, gadis itu segera menggelengkan kepalanya mencoba menghilangkan tebakan-tebakannya yang tak masuk akal sama sekali.
Tak lama deru mesin motor terdengar dan Ara sudah bisa menebak siapa orang yang datang itu.
“Jadi, mau ngomong apa?” tanya Ara. Baru saja Abi turun dari motornya, bahkan helm-nya pun masih berada di kepalanya.
“Tunggu bentar kenapa sih. Ini tamu bukannya di suruh masuk atau di suruh duduk dulu kek.” Abi membuka helm-nya dengan terus saja merapalkan kata-kata kutukan untuk Ara.
“Ya udah sini-sini duduk. Di luar aja ya, di rumah lagi gak ada orang.” Ara mempersilahkan Abi duduk di kursi yang ada di teras rumahnya.
Sedangkan gadis manis itu kini pergi ke dapur untuk mengambil beberapa camilan dan minuman.
“Minum,” ucap Ara pada Abi.
Abi mengangguk dan tersenyum manis.
“Simulasi rumah tangga ya kita.” Celetukan Abi sukses membuat Ara tersedak minumannya.
“Eh eh hati-hati makanya jangan buru-buru, gak akan ada yang rebut kok.” Abi menepuk pelan punggung Ara karena gadis itu terus saja terbatuk-batuk.
“Udah baikan?” tanya Abi memastikan gadis itu baik-baik saja.
Ara mengangguk pelan.
“Mau ngomong apa sih sampai ke rumah segala?” tanya Ara sekali lagi.
“Sebenarnya gak mau ngomong apa-apa sih. Ya gini aja kan udah ngomong.” Perkataan Abi sukses membuat Ara menganga.
“Jadi maksudnya?” Ara kembali memastikan jawaban Abi.
“Ya ini, ngobrol ringan sama lo.” Ara menghela napasnya. Dia kira ada obrolan penting seputar organisasi yang ingin Abi bicarakan.
“Gak boleh ya? Ya udah gue pulang.” Abi sudah mengambil ancang-ancang untuk bangun dari duduknya sebelum tangannya dicekal oleh Ara. Inilah yang Ara benci dari Abi. Pria itu selalu saja membuatnya tak enak hati.
“Enggak gitu. Gue kira ada hal penting yang mau lo omongin.”
“Jadi sekarang gue gak penting?” tanya Abi membuat Ara lagi-lagi menghela napasnya.
“Enggak. Duduk dulu, oke kita ngobrol.” Akhirnya Ara mengalah dan membiarkan Ketua BEM itu tetap di rumahnya dan berbicara dengannya.
“Pada ke mana orang rumah?” tanya Abi mencoba mencari topik pembicaraan.
"Bunda sama Abang gue kerja, belum balik.”
“Bokap?” tanya Abi.
“Bokap meninggal enam bulan lalu.” Ara menjawab dengan senyuman tipisnya.
Seketika raut wajah Abi berubah. Keadaan menjadi canggung di antara mereka.
“Sorry, gue gak tahu.”
“Gak apa-apa. Santai aja.”
“Semoga beliau di tempatkan di tempat yang mulia ya.”
Ara mengangguk. Ada kepingan ingatan yang terlintas di kepalanya sehingga merubah raut wajah Ara menjadi sendu.
Abi menggenggam tangan Ara.
“Mungkin gue gak bisa gantiin posisi bokap lo yang udah lama kenal sama lo. Tapi, gue bisa gantiin dia buat jaga lo lahir batin. Semangat ya.”
“Kalau lo butuh apa aja itu, lo bilang gue. Apapun itu, gue akan berusaha ada buat lo,” lanjut Abi diakhiri dengan usapan lembut di kepala Ara.
Sebuah ucapan sederhana dibarengi usapan lembut Abi membuat hatinya menghangat seketika. Tak bisa Ara pungkiri, gadis itu terbawa perasaan.
Ada sedikit harapan jika Abi akan menjadi rumah baginya. Ya, sejak kepergian Ayahnya, dia seperti kehilangan tempat pulang.
Perhatian Abangnya yang sudah memiliki pendamping terasa terbagi, dia juga tak mungkin menceritakan keluh kesahnya pada Ibunya. Itulah mengapa Ara hampir menaruh harapan pada Abi sebelum kemudian sebuah kalimat melintas di kepalanya.
“Gue rasa dia bukan orang yang baik buat lo.” Begitulah kiranya yang dikatakan Rachel.
“Hei!” Ara tersentak saat tangan itu mengusap pelan pundaknya.
“Hah? Apa?” tanya Ara bingung. Dia tak mendengar sedikitpun apa yang dikatakan Abi padanya.
“Gue bilang, besok tunggu gue. Gue jemput.” Abi mengulangi perkataannya yang sebelumnya tak diindahkan oleh Ara.
“Gak usah, gue bisa sendiri.” Abi menggeleng.
“Gue gak nerima penolakan.” Abi beranjak mengambil helm-nya. Pria itu mengulurkan tangannya pada Ara.
“Thank’s ya udah mau nerima gue di sini. Gue pulang dulu.” Ara mengangguk seraya menerima uluran tangan Abi.
“Hati-hati di jalan.”
Abi mengangguk kemudian berjalan ke arah motornya yang terparkir rapi di halaman rumah Ara.
Ara tersenyum sembari membalas lambaian tangan Abi.
****
“Heem, sebenarnya ini masalah udah agak lama.” Rachel kini ada di rumah Ara. Tepat sekali ketika Abi meninggalkan rumahnya, Rachel dan Stefani datang ke rumahnya.
Ini terhitung sudah bulan kedua mereka menjadi anggota dari organisasi itu. Dan tiba-tiba Rachel membicarakan masalah yang selama ini sudah berusaha mereka tutupi.
“Lo tahu sendiri kan kalau gue udah masuk organisasi ini lebih dulu dari kalian?” tanya Rachel.
Begitulah adanya. Rachel memang orang pertama di antara bertiga yang masuk ke dalam organisasi itu.
“Dan sekarang gue benar-benar ngerasa udah gak nyaman.”
“Kenapa?” tanya Ara.
“Udah lama juga gue ngerasa gak nyaman. Tapi gue kira gue bisa perbaiki itu apalagi ada kalian sekarang. Tapi masalah lama itu balik lagi, dan kayanya gue udah sampai di batasan gue. Gue nyerah.” Panjang lebar Rachel mengungkapkan isi hatinya.
“Gue ngerti keadaan lo. Tapi kalau kaya gini seakan lo jerumusin kita masuk organisasi and lo ninggalin kita yang gak tahu tentang organisasi gitu aja. Lo tega?” Stefani yang memang suka berbicara seadanya memulai menyampaikan pendapatnya.
“Gak gitu. Di acara kemarin gue lihat kalian juga baik-baik aja sama mereka. Dan kalian kayanya juga udah deket.”
“Lo tahu kenapa kita berusaha deketin mereka?” tanya Ara.
Tak ada jawaban. Semuanya terdiam menanti kalimat lanjutan Ara.
“Bukan karena gue betah di organisasi. Bukan karena gue suka orang-orang di sana. Bukan juga karena perasaan pribadi. Tapi ini, ini yang gue takutin. Lo yang ajak kita masuk organisasi dan lo juga yang ninggalin kita gitu aja. Ini alasannya, supaya gue punya pegangan selain lo di sana. Karena gue udah ngerasa kalau lo bakal ninggalin kita,” jelas Ara panjang lebar.
Akhirnya semuanya keluar. Terungkap begitu saja. Semua emosi keluar hari ini.
“Gue minta maaf udah bikin kalian ada di posisi ini. Tapi, kayanya gue udah gak bisa lagi. Dan gue juga udah ngajuin surat pengunduran diri sama Abi.” Ara dan Stefani tertegun. Mereka tak menyangka jika masalahnya akan separah ini.
Mereka kira, mereka akan mampu menghadapi permasalahan dan menyelesaikannya tanpa harus ada yang keluar dari mereka.
Namun, salah. Rachel memilih meninggalkan mereka di wadah yang asing bagi Stefani dan Ara.
“Oke terserah lo!” Stefani beranjak meninggalkan ruang tamu Ara menuju kamar gadis itu. Dia takut tak bisa menahan amarahnya jika masih tetap di sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments