Saat ini Shaka dan Jean sedang duduk di salah satu meja kantin Perusahaaan. Pandangan Shaka yang tidak lepas dari Jean membuat gadis itu merasa tidak nyaman. Dia merasa seolah adalah tersangka yang sedang di introgasi. Bagaimana tidak, Shaka saat ini memandangnya dengan pandangan serius, meneliti wajahnya seolah ada ke anehan di wajahnya.
Apakah aku terlihat jelek? Atau kusam? Atau ada sesuatu di wajahku?
Jean jadi ingin berkaca sekarang.
Keheningan akhirnya terpecahkan saat pria berambut pirang—yang Jean tidak ketahui namanya itu, menaruh dua gelas kopi dan cemilan di atas meja. Setelahnya, pria itu menyingkir. Duduk memisah tidak jauh dari mereka.
"Ini bukan pertemuan pertama kita, kan? Apa kabar, Jean?" Shaka memulai pembicaraan.
"Baik." Jawab Jean singkat.
"Kau tidak ingin bertanya kabarku?" tanya Shaka.
Jean tertawa canggung. "Ah, iya. Bagaimana kabarmu, Tuan Shaka?"
Shaka dengan senang hati menjawab, "Kabarku baik sekali." Jawabnya antusias.
Sebentar, apa saat ini aku terlihat sangat bersemangat? Tidak, tidak boleh seperti ini. Aku akan terlihat aneh jika terlalu bersemangat. Benar, aku harus bersikap cool.
Shaka yang menyadari sikapnya terlihat berlebihan, mulai merubah sikap. Pertama, dia mengubah cara duduknya lebih tegap agar terlihat berwibawa. Kedua, bicara dengan tenang seperti pria cool. Ketiga, apa lagi ya? Sepertinya Shaka harus berkonsultasi dengan Aslan, sahabat baiknya yang sudah khatam masalah perempuan.
Shaka berdehem, berusaha memecah kecanggungan di antara mereka. "Makanlah."
Jean menyeruput kopinya dengan pelan sambil sesekali memasukkan makanannya ke dalam mulut. Lagi-lagi mereka di selimuti dengan keheningan. Shaka yang masih sibuk dengan kemelut di pikirannya, sedangkan Jean bingung ingin berbicara apa.
Delvin yang berada tidak jauh dari mereka hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Bosnya. Katanya cinta setengah mati, tapi ketika ada sang pujaan hati malah di kacangin. Benar-benar Bosnya itu.
Selama sepuluh menit mereka saling diam, dan cemilan yang di suguhkan Shaka—yang tentu saja di bawa melalu Delvin—sudah habis. Jujur, Jean masih belum kenyang lantaran Shaka hanya menyuguhkan sepotong cake strawberry.
Perlu diketahui, Jean teramat menyukai cake, maka dari itu cake-nya lenyap hanya dalam hitungan menit. Tetapi, yang Jean butuhkan saat ini adalah keluar dari situasi canggung ini. Sekarang, Jean bingung harus memulai pembicaraan bagaimana agar dia secepatnya bisa pergi darisana.
"Em... Tuan Shaka." panggil Jean.
Shaka tidak menyahut.
"Tuan."
Shaka masih diam.
Jean dengan ragu menyentuh sedikit telapak tangan Shaka di meja. Dan bisa kalian tebak respon Shaka, tentu saja terkejut dengan tampang bodohnya. "Ah, iya. Kenapa?"
Delvin yang melihat Shaka terkejut, ikut terkejut. Mendadak, Delvin jadi merasa malu dengan tingkah Shaka.
Apa Shaka tidak bisa terlihat berwibawa sedikit seperti CEO pada umumnya?
Sepertinya Delvin lupa bahwa pria itu adalah Arshaka, CEO perusahaan Altair. Direktur Utama paling petakilan yang dia kenal semasa hidupnya.
"Kau sudah menghabiskan makanmu, apa mau tambah?"
Kembali, pertanyaan Shaka membuat Delvin menepuk jidatnya.
Astaga, Bos. Apa tidak ada pertanyaan lain selain itu?
Jean menggeleng. "Tidak." jawabnya.
"Kenapa? Apa makanannya kurang enak?" tanya Shaka lagi.
"Bukan begitu. Tapi aku harus kembali." Kata Jean menjelaskan.
Shaka terdiam sebentar. Sesungguhnya, dia masih ingin berlama-lama dengan Jean. Mengobrol selayaknya teman agar dia bisa melakukan pendekatan tipis-tipis. Tetapi sepertinya Shaka kurang perisapan. Selama ini para wanita yang mengejarnya dan dia hanya harus meresponnya. Namun, kali ini berbeda. Shaka yang akan mengejar Jean. Sepertinya benar, dia harus segera menghubungi Aslan untuk berkonsultasi.
Sementara Delvin yang mendengar Jean berpamitan, berharap Bosnya itu menyudahi pertemuan mereka sebelum Shaka bertingkah semakin bodoh.
"Baiklah. Ingin kuantar?" Tanya Shaka.
Delvin menghembuskan nafas, lega.
"Terimakasih atas tawarannya, tetapi saya akan naik taxi saja." Tolak Jean halus.
"Naik taxi? Motormu kemana?" tanya Shaka. Sepertinya pria itu keceplosan.
Jean mengernyit bingung. Bagaimana Shaka bisa tahu kalau dia biasanya mengendarai motor?
Shaka sepertinya belum menyadari ucapannya. Pria itu malah terdiam menunggu Jean menjawab pertanyaan yang di lontarkannya. Delvin yang kembali menyadari kebodohan Bosnya, segera maju.
"Nona Jean, saya asisten pribadi Tuan Shaka. Apa Nona Jean berkenan untuk saya antar pulang?" tanya Delvin sambil melirik Shaka sekilas.
Shaka ingin melayangkan protes. Bisa-bisanya asisten pribadinya ini menyela pembicaraan mereka tanpa ijin. "Delvin, kau—"
Delvin menunduk sopan pada Shaka, kemudian mendekat seraya berbisik, "Bos, sudahi kebodohanmu. Kau tidak sadar bahwa kau keceplosan menyebut 'motor' pada Jean? Kau memang mengenal Jean, tetapi Jean tidak mengenalmu. Baginya, kau masihlah orang asing, Bos."
Shaka yang baru menyadari kebodohannya, menutup matanya. Tapi tunggu, kenapa kata-kata Delvin menohok hatinya, ya?
"Jean, kau pulang diantar oleh Delvin. Aku harus kembali bekerja, sampai jumpa." Shaka berpamitan tanpa mendengar Jean yang ingin protes. Kemudian dia beralih pada Delvin, "Kau harus mengantarnya sampai rumahnya dengan selamat lalu kabari aku."
"Siap, Bos."
Shaka berlalu darisana meninggalkan Jean dengan kebingungannya.
Ada apa dengan pria itu?
***
"Kau sudah mengantarnya?"
"Sudah, Bos."
"Dengan selamat?"
"Dengan selamat dan tidak lecet."
"Baiklah, kau boleh kembali."
Panggilan ditutup. Delvin yang masih berada di depan gerbang rumah Jean, meringis melihat tingkah Bosnya.
Delvin menjalankan mobil yang di kendarainya. Namun, bukan menuju perusahaan melainkan menuju kediaman keluarga Altair.
Tadi, saat Jean sudah turun dari mobil dan menghilang dari gerbang rumahnya, Delvin mendapatkan telfon dari Haisa yang memintanya untuk segera menuju kediamannya lebih dulu sebelum menuju kantor. Kata Haisa, ada yang ingin di bicarakan mengenai Aidan. Jadi sekarang Delvin menuju Mansion lebih dulu. Urusan Shaka yang akan bertanya mengenai keberadaanya, akan dia tangani nanti.
"Jadi, Shaka memintamu untuk mencari orang tua Aidan?" Tanya Haisa pada Delvin.
"Benar, Nyonya."
"Sudah kuduga. Jadi, kau mencarinya?" Tanya Haisa kembali pada Delvin.
"Saya sudah mengecek cctv rumah, Nyonya."
"Berarti kau belum meminta si Kumis untuk melacaknya, kan?"
"Maafkan saya, Nyonya." Delvin menunduk sopan, memohon maaf.
"Sudah sampai si Kumis rupanya. Jadi, bagaimana? Siapa wanita itu?"
"Belum teridentifikasi, Nyonya. Melacaknya membutuhkan waktu beberapa hari karena identitas wanita ini susah di lacak. Sepertinya dia bukan orang sembarangan, Nyonya."
Haisa mengangguk. "Baiklah. Kau boleh mencarinya. Namun, ketika kau sudah mengetahui siapa wanita itu, jangan kau beritahu Shaka dulu."
Delvin menatap Haisa. "Maaf kalau saya lancang, kalau boleh tau, kenapa anda menyembunyikannya dari Tuan Shaka?"
Haisa melipat kedua tangannya di dada. "Anak itu harus belajar menjadi dewasa. Kau tau betul bagaimana Shaka. Melalui Aidan, aku harap Shaka bisa menjadi pria dewasa. Ah, aku juga sangat ingin melihatnya menikah."
Delvin mengangguk, lalu mencerna perlahan,
Kesimpulannya, Nyonya Haisa menginginkan putranya untuk segera menikah, dengan Aidan sebagai alat, dan dengan dalih agar Shaka belajar menjadi dewasa.
Padahal, walaupun Shaka terlihat ceroboh dan terkadang merepotkan, Delvin tahu betul pola pikir Shaka sudah dewasa bahkan sebelum Shaka menjadi CEO tiga tahun yang lalu. Bahkan terkadang Delvin masih belajar dari Shaka bagaimana ketika menyikapi para petinggi beserta karyawan di perusahaan dengan baik dan benar. Sikap dewasa Shaka hanya tertutupi oleh sikap konyolnya. Apa Haisa dan Ivan tidak bisa melihat itu? Entahlah, untuk sekarang Delvin hanya bisa menuruti keinginan Nyonya dan Tuan besarnya.
***
Hai, dear? Apa kabar? Semoga kalian sehat selalu, ya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments