"Ku dengar kau saat ini memiliki kekasih?” tanya Gavi mengingat kekasih Shaka yang baru-baru ini dia ketahui.
"Putus." Kata Shaka kalem. Sedikit mengingat kejadian kemarin saat dia bertengkar di pinggir jalan dengan mantan kekasihnya. Ah, kalau di ingat-ingat sangat memalukan.
"Putus? Bagaimana bisa?"
Shaka menghela nafas. "Ceritanya panjang dan aku sedang tidak dalam mood yang baik untuk bercerita."
"Kalau tidak salah tadi kau bercerita tentang Jean dengan semangat menggebu-gebu." sindir Gavi.
"Itu kan lain!"
Gavi tertawa pendek. Kemudian deringan ponsel Gavi menghentikan aktifitas mengobrol mereka. Shaka melanjutkan aktifitas bekerjanya memeriksa laporan sementara Gavi menerima panggilan telfonnya.
Suara ketukan pintu mengalihkan atensi Shaka.
"Masuk."
Pria berprawakan tinggi berambut pirang muncul, menghampiri Shaka sambil membawa beberapa berkas.
"Ah, Vin, kau sudah menemukan wanita itu?" tanya Shaka.
Delvin menaruh berkasnya di atas meja Shaka. "Belum, sedang otw pencarian." Jawab Delvin. Delvin merupakan teman sekaligus asisten pribadi Shaka.
"Kinerjamu melambat ya, Vin." kata Shaka sambil membuka berkas yang dibawa oleh Delvin.
Delvin yang merasa kinerja baiknya di singgung, merasa tidak terima. "Mencari orang tidak semudah itu, bos. Lagipula Nyonya Haisa sangat mengingkan bayi itu. Biarkan saja lah, bos."
Shaka mendelik kesal. "Sembarangan. Kau tahu tidak, aku yang akan dijadikan tumbal untuk merawat bayi itu!"
Tumbal? Bukankah terlalu kejam untuk menyebutnya seperti itu, bos?
Ah, mengingat kepribadian Shaka yang terkadang masih kekanakan-kanakan, sepertinya Delvin setuju penyebutan itu untuk Shaka.
Delvin hanya diam. Bukannya Delvin tidak tahu perihal Shaka yang akan merawat Aidan, dia hanya melaksanakan perintah lebih dulu dari sang Nyonya besar untuk tidak terlalu berusaha mencari Ibu dari bayi yang sekarang sedang di rawat Haisa.
Ya, Haisa diam-diam memberitahu semuanya pada Delvin. Begitu pula dengan rencana tentang Shaka yang akan merawat Aidan. Awalnya Haisa hanya mewanti-wanti jika Shaka meminta Delvin untuk mencari orang tua Aidan, namun sepertinya perkiraan Haisa tidak melesat. Terbukti Shaka langsung meminta Delvin untuk mecari tahu perihal asal usul Aidan.
"Bayi?" Suara Gavi memecah keheningan. Tampaknya pria itu sudah selesai dengan telfonnya.
Shaka yang seolah lupa tentang keberadaan Gavi disana, menoleh ke arah Gavi dengan raut sedikit terkejut.
Gavi yang tidak mendapatkan jawaban apapun dari Shaka dan Delvin semakin bingung. Prasangka-prasangka aneh berkeliaran di otaknya saat ini.
"Bisa kalian beritahu, bayi siapa yang kalian maksud?" Kemudian Gavi menoleh ke arah Shaka dengan raut terkejut, "Shaka, kau menghamili siapa?"
Shaka buru-buru menggeleng, "Tidak. Bukan begitu, Paman." Shaka memijat pelipisnya, "Vin, kau saja yang jelaskan."
"Nyonya Haisa menemukan bayi berjenis kelamin laki-laki di depan pintu rumah di kediaman keluarga besar. Saat itu satpam di depan sedang tidak berjaga karena sedang di tugaskan di belakang, dan entah bagaimana bayi itu bisa berada disana. Nyonya Haisa sangat menginginkan bayi tersebut, dan melarang Tuan besar untuk tidak di berikan ke panti asuhan. Sebagai gantinya, Bos yang akan merawat bayi itu dengan istrinya kelak." Delvin ambil alih menjelaskan dengan rinci.
Gavi mengernyit mendengar penjelasan Delvin. "Kau sudah cek cctv?"
"Sudah, Tuan. Wanita tersebut mengenakan penutup wajah, juga pakaian yang aneh dan sangat tertutup sehingga tidak mudah di kenali."
Gavi mengangguk, dia terdiam cukup lama. Sedangkan Shaka ketar-ketir karena saat ini yang Shaka pikirkan adalah, apa yang akan di pikirkan Gavi perihal Shaka yang akan menjadi Ayah asuh dadakan. Apakah Gavi akan mempermasalahkan anak yang akan Shaka urus ketika dia meminta restu?
"Shaka, kau akan mengurusnya?" tanya Gavi pada Shaka.
Shaka menaikkan bahunya lemas, "Mau bagaimana lagi, Paman."
"Bagaimana dengan Jean?" tanya Gavi membuat Shaka semakin lemas saja.
Shaka terdiam. Tidak dapat menjawab apapun. Dia jadi berpikir yang tidak-tidak. Apakah Jean akan kabur jika gadis itu mengatahui Shaka memiliki anak? Tentu saja, perempuan lajang mana yang ingin mengurus anak yang bukan darah dagingnya sendiri kalau bukan karena keterpaksaan. Terlebih Jean masih muda dan baru akan lulus kuliah, dan juga sudah waktunya bagi gadis itu untuk meraih karirnya. Shaka jelas akan di tolak bahkan sebelum berperang. Shaka jadi ngeri sendiri membayangkan itu semua.
Gavi tahu jelas apa yang dipikirkan oleh Shaka mengenai Jean. Semua pengorbanan Shaka seolah tidak berarti jika Shaka kalah bahkan sebelum berperang. Perihal anak, Gavi tau betul Shaka belum siap untuk itu. Tetapi karena desakan Haisa, mau tidak mau Shaka harus kembali di paksa untuk menerima takdir yang lagi-lagi atas aturan keluarga.
Gavi jadi merasa iba pada Shaka. Pria itu terlalu baik dan penurut. Dan entah kenapa Gavi terkadang merasa kasihan dengan Shaka.
"Shaka." Gavi memanggil, memecah lamunan Shaka.
Shaka melirik sekilas. "Kenapa, Paman?"
"Keponakanku sedang menuju kesini. Kau ingin berbicara dengannya lagi?"
***
Jean tentu tidak ingin jauh-jauh pergi menuju Perusahaan Altair hanya untuk memberikan bekal yang di titipkan oleh Ibunya itu.
Jarak dari rumah Ibunya menuju Perusahaan Altair cukup jauh. Belum lagi dia tidak di perbolehkan membawa kendaraan. Kalau bukan karena permintaan Ibunya yang menyuruhnya untuk membawakan bekal untuk Gavi, Jean malas sekali. Padahal Gavi kan bisa mampir sebentar di kantin atau kafe depan Perusahaan. Merepotkan. Lagipula kenapa juga pria itu sering tidak sarapan dan sering membuat dirinya repot seperti ini, sih. Oh, ayolah... Jean seperti istri Gavi saja.
Disinilah Jean sekarang. Berdiri menyender di dinding lobi dekat meja resepsionis. Menunggu kedatangan Gavi dengan mengetuk-ngetuk ujung sepatu sneakers-nya di lantai. Tampak bosan.
Sepuluh menit kemudian, Gavi datang. Jean mendegus malas. Dia langsung memberikan kotak bekal itu kepada Gavi.
"Terimakasih, Jeannie."
"Paman, besok-besok sarapanlah dirumah. Jarak dari rumah menuju kantormu sangat jauh, tahu! Aku lelah kalau harus kesini terus." Jean menggerutu mengundang Gavi untuk tertawa. Tangannya menepuk pelan puncak kepala Jean. "Maaf, Paman buru-buru tadi. Lagipula kau masih dalam masa hukuman, ingat?"
Jean mencebik kesal mengingat hukuman yang tengah dia jalani. "Ya, ya, ya. Terserah saja."
"Kau bilang lelah, ingin mampir ke dalam dulu?"
Jean menggeleng, "Tidak, aku lapar. Ingin makan di luar. Sampai jumpa, Paman."
Bertepatan dengan tubuhnya yang hendak berbalik, Shaka berdiri tepat di belakang Jean. Langsung membuat Jean menubruk dada bidang Shaka dengan keras.
"Aw! Aduh, hidungku!" Jean mengusap-usap hidungnya yang mulai memerah. Shaka memperhatikan itu, bagaimana gadis itu memejamkan mata sembari mengusap-usap pangkal hidungnya.
Gavi yang melihat itu, meringis. Pasti sakit sekali.
Menyadari Shaka yang dia tabrak, Jean membulatkan matanya terkejut.
Orang ini hantu atau apa? Kenapa dia selalu ada dimana-mana?!
Apalagi pria itu kini tengah melambaikan tangan dengan raut wajah seperti seseorang yang baru saja mendapatkan hadiah Nobel. Tersenyum lebar.
"Hai."
Gavi berdehem singkat, "Jean, perkenalkan ini Arshaka Virendra Altair. Direktur utama perusahaan ini." Tuturnya memperkenalkan Shaka.
Shaka tersenyum bangga. Akhirnya perkenalan resmi sebagai CEO perusahaan terjadi juga.
Jean terdiam. Memasang raut wajah sedatar mungkin padahal di dalam hatinya sudah meronta-ronta ingin cepat pergi.
Jean menunduk sedikit, kemudian berucap, "Selamat pagi menjelang siang, Tuan Arshaka."
Jean berusaha menghindar, tidak ingin menatap Shaka dan hanya menunduk kebawah. Shaka yang menyadari hal itu tersenyum geli.
Sementara itu dibelakang Jean, Gavi memberi kode untuk berpamitan pada Shaka.
Kembali Shaka memusatkan perhatiannya pada Jean. Melihat bagaimana hidung gadis itu yang masih memerah walaupun tidak semerah tadi.
"Apa sakit sekali?"
"Tidak, tidak apa-apa."
"Hidungmu memerah." Shaka menunjuk hidung Jean.
"Hidungku memang sensitif. Sungguh, tidak apa-apa, Tuan."
Sejujurnya, Jean gugup. Berdiri di depan seorang pria tampan di tengah lobi kantor seperti ini bukanlah hal yang mudah. Apalagi yang dihadapannya adalah CEO perusahaan ini.
Jean melirik ke segela penjuru. Tatapan sekelilingnya membuat Jean merasa terintimidasi seolah Jean akan merebut Presdir tampan mereka. Belum lagi ia mengingat kejadian hari itu. Saat Shaka mengetahui jati dirinya dan mengejeknya sedang cosplay menjadi siswi SMP. Membuat Jean benar-benar ingin segera melarikan diri sekarang juga.
"Kalau begitu aku permisi."
Shaka menahan pergelangan tangan Jean.
Apa lagi, sih?
"Kudengar kau lapar, ingin makan bersama?"
Jean menoleh tanpa menjawab pertanyaan Shaka.
"Kau ingin mencoba makanan disini?" Tawar Shaka kembali.
"Tidak."
"Kenapa?"
"Karena bukan aku yang akan makan, tetapi karyawan-karyawan perempuanmu yang sepertinya akan memakanku."
Shaka mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sontak membuat karyawan yang sedari tadi memperhatikan mereka langsung berpura-pura menyibukkan diri.
"Tidak usah hiraukan mereka."
Tanpa mendengar persetujuan Jean, Shaka menarik lengannya. Membawa gadis itu menuju kantin perusahaan.
Sebenarnya, Jean merasa tidak nyaman karena Shaka menggenggam lengannya dengan begitu intim. Bahkan gadis itu bisa merasakan jempol Shaka yang bergerak aktif mengusap lengannya seolah-olah memiliki hubungan yang cukup dekat.
Jean ingin berontak. Tapi hatinya seolah tidak rela karena genggaman tangan pria itu begitu hangat. Dia bisa merasa lengannya begitu kecil di telapak tangan Shaka yang besar. Terbungkus dengan penuh. Mendadak terasa nyaman sekali.
Tu-tunggu, apa? Astaga Jean, dia ini orang asing!
Jean berniat ingin menarik lengannya namun terlambat karena Shaka lebih dulu melepaskan genggamannya. Menuntun Jean untuk duduk di kursi sementara dia mengambil beberapa makanan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
sella surya amanda
next
2022-12-07
0