"Kau tidak ada bosannya memandang foto itu bahkan setelah 8 tahun." Seruan dari pintu berhasil membuat atensi Shaka teralihkan.
Gavrila Xavier menghampiri Shaka sembari membawa beberapa berkas. Si wakil direktur yang berusia 7 tahun di atas Shaka tampak dewasa dan begitu tampan. Sahabat sekaligus orang kepercayaan Ayahnya.
"Oh, Paman." Shaka menyapa. Masih dengan sisa senyuman di bibir.
"Aku tahu keponakanku sangat cantik. Kau tidak bosan hanya melihatnya di foto seperti itu?" Gavi mendudukan dirinya di sofa dekat meja kerja Shaka.
Shaka menggelengkan kepalanya menanggapi. "Tidak-tidak. Aku bertemu dengannya kemarin."
"Benarkah?"
"Ya. Dia sangat menggemaskan. Paman tahu, dia memakai seragam SMP dan memperkenalkan dirinya sebagai siswi SMP!" Ujar Shaka heboh sembari tertawa. Gavi pun yang mendengar ikut tertawa.
"Memakai seragam SMP? Kau berbohong, kan? Astaga!"
"Tidak, aku tidak berbohong. Sungguh! Ah... Ayo kenalkan aku secara resmi pada Jean." Shaka merengek seperti anak kecil membuat pria berkepala tiga itu tersenyum. Shaka masih sama seperti 8 tahun yang lalu saat pria itu masih dengan wajah polos dan rambut berwarna kecoklatan. Begitu riang dan terlihat tanpa beban.
"Kau sendiri yang meminta untuk tidak memperkenalkannya disaat dia belum dewasa. Takut Jean jatuh cinta katamu." Perkataan Gavi membuat Shaka mengingat bahwa Gavi dulu kerap sekali memamerkan gadis itu kepadanya saat gadis itu masih berusia remaja.
Sebenarnya, tidak. Gavi sama sekali tidak berniat untuk itu. Hanya berawal ketidak sengajaan Shaka melihat foto Jean di ponsel Gavi dan berakhir foto Jean yang Gavi jadikan tumbal agar Shaka bersemangat untuk belajar bisnis. Mari kembali ke masa lalu agar lebih jelas,
Flashback On
17 Oktober 2014
"Shaka, kenalkan ini Gavrila Xavier. Dia yang akan membimbingmu untuk mengelola perusahaan. Bersopanlah padanya, Nak." Ivan, sang Ayah memperkenalkan Gavi kepada Shaka yang masih berusia delapan belas tahun.
Saat itu Shaka masih remaja. Baru masuk kuliah mengambil jurusan bisnis. Jurusan yang diambil dengan keterpaksaan karena Shaka sama sekali tidak ingin mengambil jurusan itu. Repot katanya.
Shaka suka sekali melakukan hal-hal yang sederhana seperti bernyanyi dan melukis misalnya. Tidak berminat sama sekali untuk terus mengasah otak dengan berhitung dan berpikir keras tentang perbisnisan walaupun pada kenyataannya dia lebih dari mampu dengan otaknya yang pintar.
Shaka hanya ingin hidup bebas sesuai yang dia inginkan dan meraih cita-citanya untuk menjadi penyanyi. Shaka seolah lupa bahwa takdir tidak akan berpihak sesuai keinginannya. Bagaimana pun juga, Shaka harus meninggalkan cita-citanya itu karena sedari lahir takdir sudah menggariskan bahwa di masa depan Shaka adalah satu-satunya pewaris perusahaan Altair karena hanya dirinya lah satu-satunya laki-laki penerus keluarganya.
Shaka hanya bisa menurut. Tidak membantah walaupun ingin. Karena dia pikir segala sesuatu harus dengan restu orang tua. Sangat naif dan polos. Jadilah, Shaka yang sekarang walaupun dengan sikap ogah-ogahannya.
Ivan pikir, sudah waktunya Shaka untuk belajar mengenai bisnis, maka dari itu Ivan segera memperkenalkan Gavrila—orang kepercayaan Ivan untuk membimbing Shaka. Ivan bukannya tidak tahu apa yang di inginkan anak bungsunya itu. Hanya saja Ivan pun tidak bisa berbuat apapun karena memang kalau bukan Shaka, siapa lagi yang akan mengambil alih perusahaan besarnya.
Sebenarnya, Shaka bukanlah seorang anak pembangkang. Dia pemuda baik, penurut, dan sopan. Bad boy? Tidak. Shaka jauh dari kata bad boy. Hanya saja tingkahnya terkadang suka sekali kekanakan. Pecicilan, dan terkadang merajuk. Seperti saat ini. Shaka tidak marah. Hanya merajuk dan berakhir dengan mengabaikan kedua pria itu yang kini masih berdiri di depan Shaka.
Yang Shaka pikirkan saat ini, suruh siapa Ayahnya memperkenalkan pria bernama Gavrila ini disaat dirinya tengah bermain game. Kan tidak enak. Lagi asyik-asyiknya menyerang musuh, ada yang menganggu. Ogah sekali mengalihkan pandangan dari ponsel demi melihat pria yang dibawa Ayahnya itu. Alhasil dia hanya menjawab dengan deheman singkat.
"Shaka, jawab yang sopan." Ivan memperingati.
"Sebentar, sebentar dulu, Ayah. Aku sedang menyerang." Sahut Shaka dengan menggebu-gebu sembari memegang ponselnya kuat-kuat. Tampaknya dia sedang dalam kesulitan menyerang musuh.
Sedangkan Ivan tersenyum canggung pada Gavi disampingnya. Tidak enak akan sikap putranya.
"Shaka!" Bertepatan dengan ayahnya yang mengintrupsi dirinya, Shaka kalah dalam permainan.
"Astaga, Ayah! Oke, Selamat pagi. Saya Arshaka. Senang bertemu dengan anda." Shaka memperkenalkan diri dengan terpaksa. Menunduk dalam tanpa senyum diwajahnya.
"Baiklah, Ayah pergi dulu. Kalian silahkan mendekatkan diri satu sama lain. Shaka, ingat jangan berbuat onar!" ucap Ivan sebelum berlalu. Sedangkan Shaka mendudukkan kembali dirinya di sofa dengan acuh. Memusatkan perhatiannya kembali ke layar ponsel.
Shaka mengernyit heran saat tidak ada pergerakan lain di sisi sebelah sofa. Dia mendongak, menemukan Gavi masih berdiri disana.
"Mas Gavi duduk saja. Tidak usah canggung padaku." Kata Shaka.
"Tapi-"
"Duduk saja." Perintah anak dari CEO perusahaan yang akan menjadi calon CEO selanjutnya mana mungkin di bantah perintahnya oleh Gavi. Akhirnya Gavi duduk dengan canggung disamping Shaka.
"Berapa usiamu?" tanya Shaka.
"25."
"Ah, beda 7 tahun rupanya. Aku 18 tahun."
Gavi tersenyum tipis. Kemudian deringan ponsel membuat percakapan canggung mereka terputus.
Gavi menatap Shaka seolah meminta izin untuk mengangkat telefon dan Shaka mengangguk.
Shaka diam. Memperhatikan Gavi menerima panggilan sampai panggilan itu selesai dan Gavi menaruh ponselnya di atas meja.
Shaka melihat itu. Wallpaper ponsel Gavi.
Seorang gadis berambut panjang tersenyum dengan begitu manis.
Seolah melihat harta karun, Shaka menyambar ponsel Gavi tanpa malu. "Ini anakmu?"
Gavi membiarkan Shaka memegang ponselnya. "Saya belum menikah, Tuan." Jawabnya.
"Tunggu sebentar, aku hanya ingin melihat." Shaka mengintrupsi saat Gavi menyodorkan tangannya, meminta ponselnya kembali.
Shaka melihat layar ponsel Gavi dengan teliti. Sampai ponsel itu di dekatkan di depan wajahnya.
"Waah, Mas Gavi! Astaga, cantik sekali. Siapa namanya?"
"Prismiranti Jeannie. Dia keponakanku."
Shaka menatap Gavi dengan berbinar. "Benarkah? Berapa umurnya?"
Gavi tampak berpikir, "Kira-kira 14 tahun."
Shaka mengangguk-anggukkan kepalanya, "Aah, beda empat tahun dengaku, ya. Kalau begitu, kenalkan aku padanya, dong!"
Gavi membuka mulutnya, ingin membalas namun Shaka lebih dulu memotong. "Tidak-tidak. Perkenalkan aku padanya jika aku sudah dewasa saja. Sebagai gantinya, Mas Gavi harus lapor padaku jika dia memiliki kekasih."
"Tapi Tuan-"
"Ayolah... Aku berjanji akan menurutimu. Belajar yang rajin hingga aku bisa menggantikan ayah." Ujar Shaka sungguh-sungguh.
Gavi sejenak terdiam. Menatap Shaka yang masih memperhatikan ponselnya. Kata Ivan, Shaka kalau disuruh belajar tentang bisnis selalu malas. Ke kampus saja jarang. Malah terkadang Shaka hanya datang ke kampus kemudian tidur di perpustakaan.
Padahal saat SMA, Shaka merupakan anak yang rajin. Selalu mendapat peringkat atas.
Yang Gavi dengar, dulu cita-cita Shaka ingin menjadi penyanyi namun gagal karena tuntutan untuk menjadi penerus perusahaan. Dari situ, Gavi tahu bahwa pemuda ini sedang menunjukkan aksi protesnya. Tidak terima dengan keadaan, mulai membangkang dan merajuk karena cita-citanya tidak bisa ia gapai. Gavi sejenak berpikir, mungkin dengan kesepakatan ini Shaka bisa ia bimbing dengan mudah.
"Benarkah? Kau berjanji?" Gavi bertanya memastikan.
"Ya. Aku berjanji. Kau bisa pegang janjiku."
Gavi menelisik memperhatikan wajah Shaka untuk mencari kebohongan. Namun nihil. Untuk sesaat, Gavi tampak berpikir menimang-nimang apakah keputusannya tepat atau tidak. Bukankah Gavi hanya melapor jika Jean memiliki kekasih agar Shaka bersemangat? Ya, hanya itu dan akhirnya dia yakin dengan keputusannya. Mengandalkan keponakannya demi Shaka walaupun kenyataannya keponakannya itu tidak tahu apa-apa.
Maafkan pamanmu ini, Jean.
"Kau menyukainya?"
"Aku jatuh cinta bahkan hanya dengan melihatnya melalui ponselmu."
"Dia tidak mudah untuk didekati."
"Maka dari itu, aku akan berusaha untuk memantaskan diri."
"Kalau begitu aku akan memastikan dia tidak berkencan dengan siapapun."
Shaka menoleh, menatap Gavi dengan raut berbinar. "Sungguh?"
Gavi mengangguk. "Ya."
"Yes! Terimakasih, Paman. Kita berteman sekarang!"
"Paman?" Gavi mengernyit mendengar panggilan dari Shaka berubah.
"Iya. Bukankah Jean memanggilmu Paman? Mulai sekarang aku akan memanggilmu Paman juga." seru Shaka bersemangat.
Semenjak itu, Gavi terkadang melapor kepada Shaka bagaimana keadaan Jean dan status gadis itu. Apakah sudah memiliki kekasih atau belum. Dan hubungan mereka pun menjadi akrab selayaknya adik dan kakak. Gavi bahkan terkadang tidak segan-segan memamerkan keponakannya yang semakin cantik seiring bertambahnya umur sampai Jean beranjak dewasa seperti sekarang ini.
Gavi pikir, setelah 1 atau 2 tahun, Shaka akan menyerah pada Jean. Namun, Gavi salah. Bahkan setelah 8 tahun, Shaka masih menyukai Jean. Masih sering membicarakan Jean walaupun pria itu sendiri sudah sering gonta-ganti pasangan.
Gavi sempat curiga karena Shaka bilang ia menyukai Jean tetapi malah memacari gadis sana-sini. Bilangnya sih, hanya ingin mencari pengalaman berpacaran jika nanti di masa depan Shaka sudah bersama Jean, dan akhirnya Gavi mengerti.
Shaka hanya butuh penghibur di kala dia lelah. Bagaimanapun juga Shaka itu laki-laki normal. Hasrat melihat perempuan bertubuh sexy bukanlah sesuatu yang mudah untuk di lawan. Apalagi kebanyakan perempuan-perempuan itu yang menyerahkan diri.
Tentu saja Shaka dengan tampang kelewat rupawan dengan body tinggi atletis, perempuan mana yang akan menolak pesona Shaka. Terkesan kejam memang, tetapi itulah Shaka. Ia hanya seorang laki-laki biasa yang terjebak dengan hasrat memantaskan diri untuk seseorang yang ia cintai.
Dan Gavi tahu bahwa Shaka bersungguh-sungguh untuk cintanya. Karena Shaka selalu berkata,
'Aku belum cukup siap untuk bertemu dengan Jean. Biar saja aku melihatnya hanya dari jauh. Sampai aku siap.'
Bukankah Shaka begitu manis?
Bahkan ketika Shaka pertamakali berkencan, ia meminta ijin lebih dulu kepada Gavi seolah Gavi adalah ayah Jean, dan berjanji bahwa selama berpacaran dengan perempuan lain, Shaka tidak akan berani macam-macam. Hanya ingin mencari penghibur saja. Tentu saja dengan pantauan Gavi dalam radius jarak jauh.
Ketahuilah bahwa sebelum menjabat sebagai wakil direktur, Gavi adalah asisten pribadi Ivan yang akan melaporkan setiap tingkah laku anak kesayangannya itu sehingga Shaka tidak akan berani macam-macam.
Flashback Off.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
sella surya amanda
lanjut
2022-12-07
0