Shaka merasa lelah. Jujur saja. Karena seharian ini dia menghadiri tiga rapat penting yang sangat berpengaruh bagi perusahaannya. Sementara ibunya sedari pagi merengek meminta Shaka untuk segera pulang ke rumahnya. Urusan penting katanya. Mau tidak mau Shaka pulang ke rumah. Menemui sang Ibunda tercinta walaupun kondisi tubuhnya tidak mendukung sama sekali.
Shaka merebahkan tubuhnya di atas kasur tanpa mengganti pakaian kantor yang sudah sedari pagi dia kenakan. Dia menatap langit-langit kamar. Kembali teringat kejadian setengah jam yang lalu.
Flashback On
Shaka keluar dari mobil yang dikendarainya sambil membawa beberapa belanjaan yang dia beli di minimarket. Berjalan memasuki rumah keluarganya dan menghampiri sang Ibu dan Ayah yang sedang bersantai di ruang tengah.
Kendati Shaka merasa aneh saat atensinya mendapati seorang bayi mungil berada di gendongan sang Ibu. Kedua orang tuanya hanya memiliki dua anak. Dan kakaknya, Talita sudah menikah dan sudah memiliki anak.
Apa ini anak Talita yang lain? Tetapi, setahunya Talita hanya memiliki dua anak. Yang pertama sudah berumur tiga tahun dan yang ke dua masih dalam kandungan dan usianya pun masih empat bulan. Lalu, darimana anak itu berasal?
"Ibu, anak siapa itu?"
"Bukankah bayi ini sangat lucu dan tampan, Shaka?" Ujar sang Ibu sembari memperlihatkan wajah sang bayi kepada Shaka. Raut wajah sang Ibu kelihatan senang sekali.
"Eum.. Tampan." Kata Shaka berkomentar setelah melihat rupa sang bayi.
"Ibumu menemukan bayi ini di depan rumah seminggu yang lalu. Kasihan sekali ya, kan?" Imbuh sang Ayah.
Shaka mendudukkan diri di sofa. Menyenderkan tubuhnya disana sembari memakan beberapa snack. Mendengarkan penuturan sang Ibu dan Ayah dengan tenang.
"Ibu ingin mengurus anak ini tapi ibu sudah tua. Bagaimana jika kau saja?"
Shaka melotot, "A-apa?"
"Ibu tidak tega jika memberikannya ke panti asuhan atau kantor polisi. Dikeranjangnya juga tidak ada alamat yang tertera. Ibu sudah merawatnya selama seminggu dan belum ada yang mencarinya juga." Haisa—sang Ibu menjelaskan.
"Kau sudah memiliki kekasih?" Tanya Ivan—sang Ayah.
Shaka menggeleng, "Belum."
"Kalau begitu carilah istri segera dan rawatlah anak ini. Ibumu ingin sekali memiliki cucu laki-laki. Dia menangis kalau ayah bilang akan menyerahkannya ke panti asuhan."
Shaka melongo. Otaknya mendadak kosong. Bibirnya kelu. Membisu. Syok sekali mendengar dia diminta menjadi seorang ayah dadakan.
Apa-apaan sih? Astaga, umur Shaka baru berumur 26 tahun dan dia jelas belum siap menjadi seorang ayah. Apalagi dadakan seperti ini. Pacar saja tidak punya, merasakan malam pertama saja belum, dan dia sudah akan memiliki anak? Yang benar saja!
"Ayah pikir mencari istri itu gampang? Kenapa bukan Kak Tita saja yang merawatnya. Dia kan berpengalaman." Sahut Shaka menolak mentah-mentah.
"Dia sudah memiliki anak dan sedang hamil. Kau tega memberikan bayi ini kepada kakakmu yang sedang hamil itu?"
"Kan yang hamil Kak Tita bukan Mas Rendra. Suruh Mas Rendra saja yang merawatnya, Yah.”
"Astaga, Shaka. Ibu tidak mau tahu. Kau harus segera menikah dan rawat bayi ini. Atau ibu yang akan mencarikan calon istrimu dan langsung ibu nikahkan detik itu juga!" Ibu menyahut.
"Ibu!"
Flashback Off.
Shaka memijat keningnya merasakan lelah berpuluh kali lipat saat mengingat itu semua. Shaka sampai tidak habis pikir, bagaimana Ibunya bisa meminta dirinya untuk merawat seorang bayi. Merawat dirinya sendiri saja terkadang suka kerepotan, dan sekarang, apa ini?
Shaka masih termenung di kamarnya, memikirkan segala kemungkinan-kemungkinan ke depannya nanti jika dia benar-benar menjadi seorang ayah dadakan. Apa yang harus dia lakukan untuk merawat bayi itu. Apa dia benar-benar harus mencari seorang wanita untuk menjadi Ibu dari bayi itu. Sungguh, rasanya kepala Shaka ingin pecah sekarang juga.
Shaka memejamkan mata sebentar, kemudian tiba-tiba dia teringat saat bertemu Jean di minimarket tadi. Seolah rasa lelah itu menghilang saat tangannya menarik laci nakas yang berada di samping tempat tidurnya, dan mengambil sebuah foto seorang gadis berseragam SMA.
Difoto itu tampak Jean tersenyum dengan lebar. Begitu cantiknya hingga Shaka mudah sekali tertular oleh senyuman itu—ikut tersenyum.
Shaka jadi semakin galau memikirkan masa depannya. Padahal Shaka sudah mengatur bagaimana ke depannya untuk mendekati Jean. Ini sudah berjalan 8 tahun sejak Shaka mengenal Jean, dan sudah waktunya Shaka untuk bergerak maju.
Tapi apa-apaan ini, bahkan sebelum Shaka maju, semua rencana yang ada di otaknya untuk mendekati Jean seolah pupus sudah karena kehadiran bayi itu.
Shaka frustasi. Dia mengguling-gulingkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri hingga kasurnya terlihat tidak berbentuk.
Apa boleh Shaka menyalahkan kehadiran bayi itu? Atau dia harus menyalahkan orang yang sudah membuang bayi malang itu?
Ah, benar. Shaka harus mencari tahu wanita mana yang membuang bayi malang itu hingga dirinya menjadi tumbal. Segera Shaka mengambil ponselnya, lalu menghubungi seseorang.
“Vin, kau pasti tahu perihal bayi yang sekarang sedang di rawat oleh Ibu. Cari tahu wanita jahat mana yang membuang bayi itu bagaimanapun caranya.”
****
Pagi menjelang.
Shaka menuruni tangga dengan santai sambil mengancingkan lengan kemejanya. Baru saja sampai di tangga terakhir, dia sudah mendengar jeritan tangis bayi memenuhi ruangan besar itu di susul dengan suara sang Ibu yang terlihat sedang menimang bayi itu di meja makan. Tidak lama, suara bayi tersebut hilang. Tampak sudah tenang.
Shaka acuh, mendudukkan diri di samping Haisa, lalu menyiapkan makanan untuk dirinya sendiri.
“Eh-eh mau kemana, nak?”
Shaka melirik dengan ekor mata sambil mengunyah. Bisa dia lihat bayi itu jingkrak-jingkrak di pangkuan sang Ibu dengan posisi menghadapnya. Jujur, bayi itu terlihat sangat menggemaskan dengan tubuh yang gempal. Tetapi Shaka berusaha acuh, tidak ingin menyentuh bayi itu walaupun dirinya sudah merasa gemas sampai ke tulang.
“Shaka, sepertinya Aidan ingin di pangku olehmu.”
Aidan?
Shaka terdiam sebentar. Memperhatikan bayi itu yang sedang tertawa. “Aku sedang makan, bu.”
“Ayahmu sedang makan, Nak. Nanti saja, ya.” Ucap Haisa.
Shaka tersedak. Ayah? Siapa yang ayah? Ivan jelas-jelas sedang tidak ada di dapur. Lalu siapa yang ayah?
“Siapa yang Ayah, Bu?”
“Tentu saja kau, Shaka."
Shaka melotot. Menunjuk dirinya sendiri. “Aku? Ibu, aku belum bilang mau untuk merawatnya, ya. Jangan macam-macam, bu.”
“Macam-macam bagaimana. Ibu serius dengan ucapan Ibu kemarin. Kau harus segera cepat-cepat mendapatkan pasangan, atau Ibu yang akan menjodohkanmu.”
“Mencari wanita tidak mudah, bu. Apalagi untuk mengurus bayi yang bukan darah dagingnya. Kita carikan babysitter saja ya?” Shaka menego.
Haisa terdiam sebentar. Menatap tajam Shaka. “Ibu tidak mau tahu. Kau harus yang mengurusnya dengan atau tanpa istri. Ibu tidak mau Aidan di urus oleh pembantu atau siapapun itu selain istrimu. Titik tidak pakai koma!” ucap Haisa dengan penuh penekanan.
Shaka terdiam tidak sanggup berkata-kata lagi. Sepertinya keputusan Haisa sudah mutlak. Mau tidak mau, Aidan akan di asuh olehnya cepat atau lambat. Shaka sendiri tidak bisa memprotes apapun. Tinggal memikirkan bagaimana Shaka harus mengurus Aidan ke depannya. Dan lagi-lagi kepala Shaka kembali pusing memikirkannya. Padahal ini masih pagi, dan masih di meja makan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments