Undangan

"Miss Nelson, ada satu syarat penting yang harus dipenuhi jika ingin menjadi sekretaris pribadiku. Saat aku pulang ke rumah, aku ingin disambut dengan senyuman dan tidak ingin direcoki hal sepele. Apakah kau bisa tersenyum?"

Senyum? Sudah lama Jilly tidak melakukan hal sepele itu. Senyumnya direnggut seiring dengan hancurnya masa depan adiknya.

Perlahan ia melunakkan otot-otot di wajahnya, bibirnya dengan kaku melengkung tipis. Sebuah senyuman terbit di sana.

"Jauh lebih manis," Manik Shane berkilat-kilat memandanginya. "Kupikir pekerjaan ini sangat cocok untukmu. Kau diterima jika kau menginginkannya." Pria itu duduk bersandar sambil bersedekap. Pergelangan kemejanya bergerak seiring dengan gerakan yang ia lakukan sehingga menunjukkan sedikit bulu-bulu tangan yang menggoda.

Jillian mengerjap, buru-buru mengalihkan pandangannya dari lengan Shane.

"Benarkah?" Untung saja pendengarannya masih berfungsi dengan benar di tengah godaan akan lengan yang begitu... Ah! Sudahlah, Jillian tidak ingin melanjutkannya. Ia harus fokus pada pekerjaan ini. Bagaimana bisa semudah ini?

Dua wanita yang juga mendapat undangan wawancara, terlihat lebih cocok untuk mengisi lowongan ini. Cantik, seksiih, anggun, berkelas dan mungkin manja.

Ah! Karena pria ini membutuhkan budak, sepertinya manja bukan hal yang diinginkannya. Ia tidak ingin direpotkan tapi ia ingin merepotkan.

Tapi tetap saja ini terlalu mudah. Jillian kembali bergumam dalam hati.

Jantungnya mulai berdebar keras di bali rusuknya. Shane salah satu pria terkaya di London. Dan mungkin saja di dunia. Berdasarkan pengamatan selama dua tahun ini, Shane juga memiliki IQ yang sangat tinggi dan juga lihai. Pria itu tidak mungkin sembarangan dalam memilih seorang asisten pribadi yang kelak akan mengetahui semua keburikannya.

"Apakah kau menginginkannya, Miss Nelson?" Shane menantangnya membuyarkan pertimbangan-pertimbangan yang berlarian di benak juga pikirannya.

"Ya, aku menerimanya." Jillian menganggukkan kepala dengan antusias. Tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Ia memberikan dirinya tenggat waktu. Hanya tiga bulan, batas maksimal yang diberikan perusahaan padanya untuk membongkar kejahatan dan kecurangan seorang Shane Hamilton Torres. Jilly tidak bisa membayangkan jika sampai perusahaannya mengetahui misinya yang sesungguhnya hanya untuk membalas dendam.

"Bagus. Pilihan yang benar, Jilly."

Deg!

Jilly. Hanya ibu dan adiknya yang memanggilnya demikian. Jilly, nama kecilnya. Selama ini terdengar biasa saja. Rasanya begitu berbeda saat Shane yang memanggilnya demikian. Terdengar lebih merdu. Apakah ini salah satu daya pikat pria itu. Membuat pendengaran wanita begitu dimanjakan saat lidahnya membisikkan sebuah nama.

"Oh, bolehkah aku memanggilmu Jilly? Aku tidak suka hubungan yang terlalu kaku. Kau juga boleh memanggilku dengan sebutan yang membuatmu nyaman."

"Jillian, kau boleh memanggilku dengan nama yang sesuai tertulis di dalam kartu identitasku."

Manik Shane berkilat-kilat geli, senyum tipis juga terpatri di wajahnya yang menawan. Shane pria yang menyadari dengan benar semua bentuk anugerah yang diberikan Tuhan kepadanya dan pria itu tahu cara memanfaatkan semua kelebihannya. Saat Shane diam, dia terlihat sangat tampan, tapi saat pria itu berbicara sambil tersenyum, pesonanya bertambah berkali lipat, membuat siapa pun yang melihatnya meleleh bagaikan cokelat.

"Berhubung kau sudah menerima pekerjaan ini, aturan yang harus kau ingat adalah bahwa aku tidak menerima bantahan dalam bentuk apa pun. Kau cukup mengatakan 'Yes, Boss'."

"Kupikir aku hanya perlu belajar tersenyum."

"Itu syarat yang harus kau penuhi sementara yang kukatakan baru saja adalah aturan yang harus kau ingat. Hanya ada satu, kurasa tidak cukup berat."

Gundulmu tidak berat!

"Baiklah, Jilly, aku memiliki kamar di ruangan ini. Masuklah dan..."

"Apa maksudmu!" Jilly berdiri dari kursinya. Berdiri dengan sikap menantang, menatap pria itu dengan tatapan sengit. Setelah memberika. syarat yang cukup konyol dan aturan yang tidak mudah, menurutnya Shane terlalu lancang dengan memintanya masuk ke dalam kamar.

Apa pria itu pikir semua wanita begitu bertekuk lutut di hadapannya. Andai Jillian terpesona, ia lebih baik mengikat dirinya dengan rantai besi daripada harus mengakui hal itu dan merelakan diri menjadi bagian dari daftar wanita yang sudah berhasil Shane permainkan dengan sentuhannya. Jillian tidak akan membiarkan hal itu terjadi padanya.

"Aku tidak akan berkomentar tentang sikapmu yang menyela ucapanku. Kuanggap tindakan tersebut sebagai bukti betapa bersemangatnya kau dengan pekerjaan barumu ini. Tapi meski demikian, itu bukan jawaban yang kuharapkan keluar dari mulutmu, Jilly. Yes, Boss." Shane menekan kalimatnya di akhir dan masih dengan manik yang berkilat-kilat nakal.

"Ranjang, kurasa terlalu pribadi." Jillian berdehem, kemudian menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi paru-parunya yang terasa menyimpit. Wajahnya juga sudah merona karena merasa terhina. Di matanya, Shane adalah pria paling brengsek dan pelecehan pria itu bagaikan hinaan besar baginya.

"Tidak ada yang berbicara ranjang, Jilly," Suaranya lembut mendayu, penuh dengan godaan. Sangat merdu tapi juga menenggelamkan.

"Kau memintaku ke kamar." Jillian tidak mau kalah. Jika Shane bersikap layaknya pria keparat, Jilly juga harus bertindak tegas, berani dan tidak mudah ditindas. Jilly akan menunjukkan kepada Shane bahwa tidak semua wanita bodoh dan tergila-gila pada wajah rupawan juga harta berlimpah yang dimiliki pria itu.

"Kamar tidak selalu tentang ranjang, Jilly." Shane berdiri dari kursinya. Pria itu melangkah dengan anggun, wajahnya penuh dengan kepercayaan diri yang tidak diragukan sama sekali.

Shane berhenti tepat di hadapan Jillian. Jillian bersyukur ia memilih sepatu dengan tumit yang lumayan tinggi hingga ia tidak terlalu kerdil di hadapan pria itu.

Shane menyunggingkan senyum manis, senyum paling menawan yang pernah Jilly lihat. Ia mengakui hal tersebut. Andai Jillian tidak memiliki dendam yang begitu besar pada Shane, mungkin ia akan meleleh dan terbuai dengan senyum yang ditampilkan Shane.

"Kenapa pikiranmu nakal sekali. Aku tidak menyangkal tentang kamar yang kukatakan. Tapi aku tidak memintamu naik ke ranjangku, Jilly." Shane mengucapkan kata demi kata dengan nada yang ditarik-tarik. Tiba-tiba pria itu mencondongkan tubuh, membuat Jilly memundurkan tubuh.

"Jika aku mendekat jangan menjauh, Jilly. Aku tidak akan menggigitmu, kecuali kau mengundang atau memancingku."

Jilly mengatupkan bibirnya rapat-rapat, menahan diri agar tidak menyemburkan kata-kata mutiara.

"Aku jarang menolak undangan, Jilly. Atau kau sedang mengundangku dengan berpura-pura tersinggung seperti ini?"

Sumpah demi apa pun, Jillian sudah hendak mengulurkan kedua tangannya untuk mencekik leher pria itu. Berpura-pura tersinggung, heh?

Jillian memaksakan diri untuk tersenyum meski hatinya mengumpat, melayangkan sejuta kutukan pada Shane "Jadi apa yang harus kulakukan di kamarmu, Mr. Torres?"

Shane menegakkan tubuhnya, lirikan matanya jatuh pada bibir Jilly yang sedang tersenyum, "Menyiapkan pakaianku. Aku merasa gerah dan butuh air dingin."

Terpopuler

Comments

Retno

Retno

bener2 laki2 bermulut kecap....

2023-02-05

0

Retno

Retno

pede banget ya Shane...

2023-02-05

0

ZhieLaa

ZhieLaa

🤣🤣

2023-02-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!