Siaran Radio Tengah Malam

Siaran Radio Tengah Malam

Episode 1

"Assalamualaikum, selamat datang saya ucapkan kepada pendengar yang baru bergabung di siaran perdana Kisah Tengah Malam bersama dengan saya Inoxu, ada Remi sebagai operator lagu dan juga Gia, produser kami yang nyentrik. Kami akan menemani hingga satu setengah jam ke depan dengan kisah-kisah dari pendengar semua.

Kami sudah menerima banyak pesan dari pendengar semua melalui nomor whatsapp yang sudah diumumkan sebelumnya di program-program lain radio Rebel, Bandung. Dan untuk siaran perdana kali ini, saya sudah memilih satu orang pendengar yang akan menjadi narasumber dan berbagi kisah hidupnya bersama kita semua. Buat pendengar lain yang juga ingin membagikan kisah hidupnya, dipersilakan mengirimkan pesan ke nomor whatsapp 081210969 dengan format nama, spasi lokasi tempat tinggal, spasi nomor telepon yang aktif.

Setelah satu lagu berikut ini, saya akan menghubungi narasumber dan berbincang mengenai kisah hidupnya. Selamat mendengarkan River Flows In You dari Yiruma, dan pastikan jangan kemana-mana."

Aku mematikan mic setelah melihat Remi mengacungkan jempolnya. Terlihat di monitor, volume yang memperdengarkan alunan musik pada para pendengar radio perlahan naik.

"Xu! Cepet telpon si narasumber, suruh stand by di saluran telpon," perintah Gia.

"Bisa ngga kalau manggil nama itu yang lengkap? Xu kedengerannya agak gimana gitu," protesku.

"Ah Xu, rewel banget sih! Inoxu mah kepanjangan, Xu udah paling bener."

Aku menggeleng pelan dan mulai menelpon salah satu pendengar radio Rebel yang sudah mengirimkan pesan berformat untuk berbagi kisah di siaran radio tengah malam. Program ini perdana mengudara dengan kami bertiga sebagai penggeraknya.

"Ngga diangkat-angkat euy," ucapku dengan masih mencoba.

"Waduh, gimana dong? Cerita lain ada yang ready ngga?" Gia bersuara.

"Ada," jawabku pendek.

"Ya udah, coba terus hubungi si narasumber itu sampe lagu beres. Kalau masih belum nyambung juga, telpon pendengar yang lain dan langsung konfirmasi kalau kisah mereka bakal mengudara malam ini."

"Siap, Bos." Aku kembali menghubungi narasumber atas nama Kenanga dan menunggu selama beberapa saat.

Melihat ekspresiku, Gia mengerutkan dahinya. "Ngga diangkat juga? Apa udah tidur ya? Telpon yang lain deh, bentar lagi lagu beres."

Dalam diam aku mulai mencari nomor kontak salah satu pendengar dan hampir menekan nomornya untuk dihubungi ketika terlihat kedipan pada layar tanda ada panggilan masuk. "Narasumber masuk nih," aku berkata sembari menoleh pada Gia dan Remi.

"Good! Siap-siap gih," perintah Gia.

Aku langsung mengangkat sambungan untuk memastikan jika penelepon itu adalah Kenanga. Setelah perkenalan dan pengarahan singkat, aku meminta gadis itu menunggu dan tetap pada saluran telepon.

"Satu alunan manis dari Yiruma untuk menemani para pendengar semua di malam yang gerimis ini ya! And its show time, narasumber kita sudah bergabung dan siap untuk menceritakan kisahnya."

Remi memutar sebuah musik instrumen dengan suara kecil sebagai latar belakang.

"Halo? Dengan siapa ini? Silakan perkenalkan diri," sapaku pada Kenanga.

"Saya Kenanga, dari pojokan kamar."

"Teh Kenangan lagi ngapain di pojokan kamar?" tanyaku iseng.

"Lagi ngeliatin anak saya tidur, Teh Inoxu."

"Oh oke. Silakan Teh Kenanga, mau nyeritain apa nih?" Aku mempersilakan narasumber untuk mulai.

"Saya dijodohkan orang tua saya saat kelas dua sekolah menengah atas. Pada waktu itu, terpaksa saya harus berhenti sekolah dan menikah.

Awalnya saya pikir itu bukan hal yang aneh. Di kampung saya, banyak anak-anak perempuan meninggalkan bangku sekolah dan lebih memilih untuk menikah di usia muda. Saya pun akhirnya setuju dengan kemauan orang tua saya. Urusan cinta belakangan, yang penting saya dianggap anak berbakti karena menurut pada orang tua.

Setahun pernikahan, semua berjalan biasa aja. Walaupun awal menikah saya ngga punya perasaan apa-apa, lambat laun karena tinggal seatap, rasa sayang akhirnya muncul juga. Kami hidup tenang dan bahagia. Suami bekerja, saya juga bekerja walaupun hanya menjadi seorang buruh pabrik. Beda pendapat mulai saya rasakan saat memasuki tahun pernikahan kedua. Ditambah lagi, ayah mertua saya meninggal dan menyebabkan ibu mertua saya ikut tinggal bersama kami di sebuah kontrakan kecil dekat pabrik tempat suami saya bekerja."

"Jadinya tinggal sama mertua?" tanyaku

"Iya teh. Mertua saya baik kok, ngga seperti mertua yang kebanyakan jadi sosok menakutkan buat menantu."

"Alhamdulillah," ucapku pelan.

"Tapi yang namanya rumah tangga, ujiannya dari semua arah. Ekonomi baik, mertua baik, eh malah suami yang mulai ringan tangan tepat ketika saya dinyatakan mengandung oleh bidan. Kondisi saya yang lemah, membuat saya harus berhenti bekerja, Teh. Dan ternyata, hal itu berdampak pada perekonomian kami. Cicilan yang tadinya terbayar, jadi keteteran karena sumber penghasilan hanya dari suami saya. Ekonomi yang turun nyatanya membuat suami saya habis kesabaran. Dia jadi gampang main tangan dan memaki saya jika ada hal yang tidak sesuai keinginannya."

"Mertua Teteh gimana?" Aku bertanya penasaran.

"Mertua saya sangat-sangat melindungi saya, Teh. Beliau yang sering menerima sasaran puku*lan yang diarahkan pada saya. Ngga jarang juga mertua berkali-kali menasehati anaknya, tapi sadarnya cuma beberapa hari aja. Setelahnya, kebiasaannya berulang. Dan puncaknya beberapa minggu kemarin setelah saya melahirkan."

"Kenapa Teh? Teteh kena pu*kul lagi? Kenapa ngga dilaporkan ke yang berwajib?" Aku menahan sekuat tenaga agar suaraku tetap datar.

"Sudah terlambat, Teh. Saya memang berniat seperti itu dan kembali ke kampung dengan bayi saya. Mertua juga udah mengijinkan saya kalau mau pisah dengan anaknya. Beliau merasa gagal menjadi seorang ibu, karena perlakuan anak laki-lakinya tersebut pada saya."

"Maaf, kalau boleh tau, habis Teteh melahirkan, Teteh diapain?" tanyaku.

"Waktu itu saya baru aja menjemur baju-baju bayi saya saat tiba-tiba mendung dan gerimis turun. Bayi saya kebetulan sedang rewel dan maunya digendong. Saya udah minta ke suami untuk ngambilin baju bayi kami yang di jemur. Tapi, dia ngga mau dan masih asyik dengan ponselnya. Mau ngga mau, saya yang ngangkat jemuran, dengan bayi saya dalam gendongan. Begitu tau, suami saya marah besar. Dia bilang saya ngga becus jadi ibu karena membawa bayi kami ngangkat jemuran sampai kena hujan. Dia memu*kuli saya berkali-kali, tanpa henti, tanpa jeda. Untungnya, mertua yang pada waktu itu baru pulang pengajian, mengambil bayi yang masih dalam dekapan saya."

"Astagfirullah, terus gimana, Teh?" Dari sudut mataku, aku melihat wajah Remi dan juga Gia yang memakai headphone menjadi geram. Keduanya ikut mendengarkan siaran ini.

"Beliau berteriak minta tolong. Tapi terlambat, saya udah kehilangan kesadaran," jawab Kenanga. Hening tercipta beberapa saat, hingga terdengar suara tangisan bayi di ujung sambungan. Tidak lama kemudian sambungan terputus.

Aku dengan cepat menghubungi kembali nomor Kenanga selama beberapa saat. Namun, panggilan selalu terputus sebelum nada sambung terdengar.

"Sayang sekali pendengar, panggilan dengan Kenanga terputus. Sempat kita dengar barusan ya kalau bayinya nangis, mungkin Teh Kenanga sibuk menenangkan bayinya," aku terdiam sesaat sebelum melanjutkan.

"Cukup miris jika mendengar di tahun 2022 ini masih ada perempuan yang menerima perlakuan tidak menyenangkan dari suaminya. Pendengar mungkin bertanya-tanya, kenapa narasumber tidak memilih berpisah saja. Yang bisa saya bilang, jawabannya hanya narasumber yang tau. Kondisi seseorang berbeda satu dengan yang lainnya. Untuk pendengar yang lain, mungkin berpisah merupakan jalan keluar paling cepat, tapi belum tentu dengan segelintir perempuan di luar sana. Alasan mereka bertahan, seperti yang sudah saya bilang, hanya mereka sendiri yang tau.

Tanpa terasa sudah hampir satu setengah jam saya menemani pendengar semua di tengah malam ini. Untuk pendengar yang mau menceritakan kisah hidupnya di sini, saya persilakan mengirimkan pesan ke nomor whatsapp kami dengan format yang sudah dijelaskan. Sebagai penutup, satu lagu lawas dari Spice Girls semoga bisa menjadi penghantar tidur pendengar semua. Sampai ketemu hari rabu di jam 11 malam, saya Inoxu pamit. Stay tuned 12,08 FM Radio Rebel Bandung. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

Aku mematikan mic dan meletakkan headphone setelah terdengar alunan lagu yang diputar oleh Remi.

"Alhamdulillah beres euy," celetuk Gia. "Mudah-mudahan banyak yang suka ya bestie."

"Aamiin," jawabku dan Remi yang mengerutkan kening dan menunjuk ke arah monitor.

"Ada telepon masuk tuh," ucapnya pelan.

"Dari Kenanga kali, angkat aja ya?" Aku kembali duduk di meja siaran dan menyalakan mesin penerima sambungan. "Halo?"

Tidak ada jawaban dari ujung sana.

"Kenanga? Tadi teleponnya keputus ya? Bayi kamu bangun?" tanyaku.

"Halo?" Suara pria di ujung sambungan membuatku mengerutkan kening sedangkan Remi dan Gia serempak mendekat.

"Ya? Maaf, dengan siapa saya bicara?" tanyaku lagi.

Kembali hening selama beberapa saat sebelum pria itu melanjutkan. "Maaf sebelumnya. Tadi saya lihat ada panggilan masuk di ponsel anak saya. Dan saat saya melihat panggilan keluar, nomor ini juga sudah ada dalam daftar."

"Oh iya, Pak. Tadi Kenanga menjadi narasumber di siaran radio yang saya bawakan," jelasku.

"Kenanga?"

"Betul Pak, Kenanga beberapa saat lalu menelpon kami di studio dan menjadi narasumber untuk berbagi kisah hidup," jelasku lagi.

"Ngga mungkin," lirih pria tersebut.

"Kenapa, Pak?" Aku bertanya dan melemparkan pandang pada Remi dan Gia.

Terdengar isakan kecil di latar belakang sana. "Ngga mungkin, Neng. Kenanga sudah meninggal tujuh hari yang lalu. Ia meninggal karena pengani*ayaan yang dilakukan suaminya sendiri. Habis isya tadi, kami di sini baru saja selesai mengadakan pengajian untuk Kenanga."

Deg!

Tanpa sadar, aku serta Remi dan Gia membelalakkan mata.

"Bapak serius?" tanyaku lirih untuk memastikan. Punggungku sepenuhnya dingin dan lututku gemetaran tanpa bisa kutahan.

"Serius, Neng. Kenanga sudah meninggal. Makanya Bapak tadi heran waktu melihat ponselnya menyala tepat di dekat bayinya tidur."

Bulu kudukku meremang dan kepalaku terasa menjadi berat, "Kalau begitu terima kasih atas infonya ya, Pak. Mohon maaf, teleponnya saya tutup." Dengan sekuat tenaga aku berusaha tenang saat berkata hal tersebut. Tidak lama, sambungan pun terputus.

Aku menatap Gia dan Remi selama beberapa saat. Seolah dikomando, kami bertiga serentak mengambil tas masing-masing dan berlari ke luar dari dalam studio.

Terpopuler

Comments

karissa 🧘🧘😑ditama

karissa 🧘🧘😑ditama

akhh kacau blm apa2 udh merinding saya thorr😬😬😬

2023-07-26

1

Yurnita Yurnita

Yurnita Yurnita

mampir thor

2023-02-15

1

yamink oi

yamink oi

mistis....

2023-01-09

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!