Episode 3

"Nama saya Mawar, Teh Inoxu. Dari sebuah kosan di kota Bandung."

Keningku berkerut mendengar suara serak di ujung sambungan. "Silakan, Mawar. Mau berbagi kisah apa nih sama pendengar semuanya?"

Terdengar isakan kecil sebelum Mawar bersuara. "Saya sakit hati, Teh."

"Loh kenapa?"

"Saya sakit hati sama perlakuan temen-temen saya di sekolah," ucap Mawar.

"Mawar kelas berapa sih?" tanyaku.

"Kelas sebelas, Teh. Di salah satu sekolah swasta di Bandung. Saya pindah ke sekolah yang sekarang dari sekolah lama saya karena permintaan Ambu. Beliau mau, saya sekolah di kota besar," Mawar mulai bercerita.

"Saya mah nurut-nurut aja karena Ambu bilang, kalau sekolah di kota besar itu bakalan lebih gampang nyari universitas setelah saya lulus nanti. Cuma ya itu, temen-temen di sekolah seringnya bikin sakit hati."

"Temen-temen kamu emangnya kenapa?" Aku mulai penasaran.

"Beberapa teman datang dan bersikap baik pada saya kalau ada maunya. Mereka tau kalau saya berasal dari kampung, dan di kampung juga kehidupan keluarga saya bisa dibilang cukup berada. Saya sering diajak nongkrong, tapi dengan sesuatu yang harus saya keluarkan. Contohnya baru aja weekend kemarin. Mereka ngajakin saya nonton dan jalan-jalan. Tapi pas beli tiket di bioskop, semua saya yang bayar."

"Wow, kamu dimanfaatin?"

"Saya ngerasanya gitu, Teh. Yang paling parah pas sehabis nonton. Mereka 'kan sebelumnya minta saya untuk bawa kendaraan karena setelah nonton rencananya mau jalan-jalan ke Lembang. Cuma, waktu kemarin itu kendaraan saya lagi di servis. Pas tau saya ngga bawa kendaraan, saya dicuekin habis-habisan. Ngga diajak ngobrol, ngga dijawab waktu saya nanya. Pokoknya saya dianggap ngga ada. Sampai akhirnya saya langsung pulang aja tanpa pamit ke mereka," jelas Mawar panjang lebar.

"Pas ketemu kamu di sekolah gimana? Ada ngga yang nanya kenapa kamu pulang duluan?"

"Ngga ada. Mereka cuek-cuek aja tuh. Saya dianggap ngga ada, ngga keliatan di mata mereka." Suara Mawar terdengar pelan.

"Kasian banget," ucapku bersimpati. Terdengar kekehan di ujung sambungan. Entah kenapa, perasaan was-was seketika terbit. "Kok ketawa?"

"Ya soalnya Teteh lucu," jawab Mawar.

"Lucu kenapa?"

"Karena kasian ke saya. Teteh pikir saya di sekolah ngga punya teman? Banyak tau Teh, temen saya mah," jawabnya lagi.

"Jadi masih ada temen-temen yang lain 'kan? Syukur atuh, paling ngga kamu ngga sendiri—."

"Temen saya banyak di sekolah tapi bukan dari golongan manusia, Teh," potong Mawar.

Aku membelalakan mata dan spontan menatap ke arah Gia dan Remi yang sama-sama sedang menatapku. "Maksudnya gimana sih?"

"Temen saya banyak kok di sekolah. Ada si Nyai penunggu perpustakaan dengan punggungnya yang berlubang, ada anak kecil yang suka menangis pas jam pelajaran, dan ada juga tentara Belanda yang ngga punya kepala," Mawar menerangkan dengan santai.

"Bhuuuh!"

Aku menengok menatap Gia yang menyemburkan kopi dalam mulutnya. "Hahaha, Mawar bercandanya ngga lucu deh," ucapku berusaha mencairkan suasana yang mendadak tegang.

"Saya ngga bercanda, Teh. Dari kecil saya sering kok ngeliat mereka. Bahkan sekarang berteman baik dengan beberapa diantaranya. Oh iya, di salah satu studio radio Rebel juga ada kok teh."

"Jangan! Eh, jangan diterusin. Saya penakut soalnya," aku memotong cepat.

"Mereka ngga jahat sih teh. Cuma terkadang usil aja. Aku nyaman temenan sama mereka."

"Berarti kamu punya kemampuan itu dari lahir ya?" tanyaku lirih. Aku berusaha memutar otak untuk mengalihkan pembicaraan.

"Iya Teh. Jadi udah ngga aneh sih."

"Kamu sering berinteraksi sama mereka?" tanyaku spontan. Seketika aku menepuk dahiku keras ketika melihat pandangan tajam dari Gia dan juga Remi.

"Cukup sering. Sama seperti manusia, mereka juga punya kisah masing-masing. Yang paling sedih itu kisah tentara Belanda yang ngga punya kepala."

"Kalian ngobrol? Kok bisa? Kan tentara Belanda itu ngga punya kepala," tanyaku penasaran.

"Bhuuuh!"

Aku kaget dan melihat Remi yang kali ini menyemburkan air mineral dalam mulutnya. Sedangkan Gia mengacungkan tinjunya padaku dan melotot.

"Ngga perlu ngobrol untuk berinteraksi dengan mereka. Kan mereka bukan manusia seperti kita. Saya biasanya bisa sekilas ngeliat masa lalu mereka masing-masing. Seperti tentara Belanda itu contohnya. Dulu, sekolah saya ini adalah mess yang dibangun tepat di belakang gereja, untuk tempat tinggal para pastor dan biarawati. Gerejanya masih berdiri sampai sekarang, Teh. Pada waktu pasukan Jepang datang ke Indonesia, banyak tentara Belanda yang bersembunyi di mess. Mereka bersembunyi dari incaran para tentara Jepang dan cukup lama tinggal di mess. Sampai akhirnya, ada pribumi yang melaporkan pada tentara Jepang, kalau ada tentara Belanda yang bersembunyi di mess."

"Terus gimana?" tanyaku.

"Habis dibabat lah. Sekalian sama pastor dan juga para biarawati. Semua kena peng*gal dan ngga ada satupun yang selamat."

"Wow," desahku lirih.

"Puncaknya, pribumi yang ngasih tau tempat persembunyian mereka, juga ikut dibu*nuh. Dia ditem*bak tepat di punggung. Selain ditem*bak, ditu*suk juga pakai pedang panjang berkali-kali sampai punggungnya bolong. Pribumi itulah yang sekarang sering dipanggil Nyai dan menjadi penunggu di perpustakaan."

"Waduh," celetukku spontan.

"Si Nyai nyesel katanya, Teh. Dia udah jadi pengkhianat. Padahal pastor, biarawati dan tentara Belanda yang diban*tai karena dia itu orang-orang baik. Nyai sendiri juga ngga nyangka kalau mereka bakal diban*tai. Dia kira, cuma mau dipulangkan ke negara asal. Taunya malah ngejemput ajal."

"Miris juga ya?" Aku menanggapi cerita mawar dengan berbagai perasaan. Takut, kasihan, iba.

"Iya banget, Teh. Pokoknya kasihan deh, rata-rata mereka itu akhir hidupnya tragis."

Aku menganggukkan kepala dan seketika sadar jika Mawar tidak dapat melihatku. "Mawar, terima kasih banyak ya atas kisahnya. Ngga nyangka juga bisa ngobrol sama orang yang punya kemampuan istimewa. Sehat-sehat ya?"

"Sama-sama Teh Inoxu," balas Mawar sebelum memutuskan sambungan.

"Jujur aja, saya speechless. Takut iya, kasihan iya." Aku menghembuskan napas panjang untuk sejenak. "Untungnya tanpa terasa sudah satu setengah jam saya menemani pendengar semuanya. Satu lagu dari Dewa 19 akan menjadi penutup Kisah Tengah Malam kali ini, semoga bisa menemani waktu istirahatnya ya. Inoxu pamit, sampai ketemu lagi senin malam jam sebelas di Kisah Tengah Malam 12,08FM Radio Rebel Bandung. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

Aku meletakkan headphone dan merenggangkan badanku yang tiba-tiba terasa kaku.

"Xu! Parah banget sih! Malah nanya-nanya kaya gitu ke si Mawar," protes Gia menghampiriku.

Aku terkekeh melihat ekspresinya, "Maaf deh, orang tadi spontan aja."

"Ssshhhhh," ucap Remi masih dari balik meja operator.

"Ada apaan?" tanya Gia berbisik.

"Matiin itu mic." Remi memberitahu kami dengan gerakan bibir. Dengan segera, aku mematikan mic dan mendesah dalam hati merutuki kecerobohanku. Mic harus dipastikan dalam keadaan mati setelah siaran selesai. Jika tidak, para pendengar radio bisa mendengar percakapan ataupun suara-suara yang terjadi di studio.

"Sori," kataku pelan. Bukannya menjawab, Remi seolah terpaku diam di tempat duduknya. Kerena penasaran, aku mendekat dan melepas kabel headphone yang tersambung di monitor. Seketika terdengar suara samar Gia yang protes ketika siaran sudah selesai.

Kik kik kik kik!

Tunggu. Aku menekan tombol pause dan mundur ke beberapa detik sebelumnya lalu menekan tanda play. Jelas terdengan suara tawa seseorang tepat setelah rekaman suara Gia terdengar.

" Itu siapa yang ketawa? tanya Gia lirih. Kami bertiga saling pandang dan atmosfer ruangan berubah menjadi lebih dingin.

"Itu kali, yang diceritain Mawar. Eh kita pulang aja yuk?" ucap Remi berusaha santai. Aku mengikuti jejaknya dan memasukkan ponselku ke dalam tas. Sekuat tenaga kami bersikap seolah tidak ada apa-apa, padahal kenyataannya, kami bertiga dilanda ketakutan yang luar biasa.

Kik kik kik!

Tepat di depan pintu, suara tawa itu kembali terdengar. Dengan secepat yang aku bisa, aku meraih gagang pintu dan langsung melesat keluar begitu pintu terbuka, meninggalkan Gia dan Remi di belakangku.

Terpopuler

Comments

dewi

dewi

aduhh, takuttt

2023-07-26

0

Yurnita Yurnita

Yurnita Yurnita

👍👍👍

2023-02-15

1

yamink oi

yamink oi

wow serem....

2023-01-15

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!