"Assalamualaikum, selamat datang saya ucapkan kepada pendengar yang baru bergabung di siaran perdana Kisah Tengah Malam bersama dengan saya Inoxu, ada Remi sebagai operator lagu dan juga Gia, produser kami yang nyentrik. Kami akan menemani hingga satu setengah jam ke depan dengan kisah-kisah dari pendengar semua.
Kami sudah menerima banyak pesan dari pendengar semua melalui nomor whatsapp yang sudah diumumkan sebelumnya di program-program lain radio Rebel, Bandung. Dan untuk siaran perdana kali ini, saya sudah memilih satu orang pendengar yang akan menjadi narasumber dan berbagi kisah hidupnya bersama kita semua. Buat pendengar lain yang juga ingin membagikan kisah hidupnya, dipersilakan mengirimkan pesan ke nomor whatsapp 081210969 dengan format nama, spasi lokasi tempat tinggal, spasi nomor telepon yang aktif.
Setelah satu lagu berikut ini, saya akan menghubungi narasumber dan berbincang mengenai kisah hidupnya. Selamat mendengarkan River Flows In You dari Yiruma, dan pastikan jangan kemana-mana."
Aku mematikan mic setelah melihat Remi mengacungkan jempolnya. Terlihat di monitor, volume yang memperdengarkan alunan musik pada para pendengar radio perlahan naik.
"Xu! Cepet telpon si narasumber, suruh stand by di saluran telpon," perintah Gia.
"Bisa ngga kalau manggil nama itu yang lengkap? Xu kedengerannya agak gimana gitu," protesku.
"Ah Xu, rewel banget sih! Inoxu mah kepanjangan, Xu udah paling bener."
Aku menggeleng pelan dan mulai menelpon salah satu pendengar radio Rebel yang sudah mengirimkan pesan berformat untuk berbagi kisah di siaran radio tengah malam. Program ini perdana mengudara dengan kami bertiga sebagai penggeraknya.
"Ngga diangkat-angkat euy," ucapku dengan masih mencoba.
"Waduh, gimana dong? Cerita lain ada yang ready ngga?" Gia bersuara.
"Ada," jawabku pendek.
"Ya udah, coba terus hubungi si narasumber itu sampe lagu beres. Kalau masih belum nyambung juga, telpon pendengar yang lain dan langsung konfirmasi kalau kisah mereka bakal mengudara malam ini."
"Siap, Bos." Aku kembali menghubungi narasumber atas nama Kenanga dan menunggu selama beberapa saat.
Melihat ekspresiku, Gia mengerutkan dahinya. "Ngga diangkat juga? Apa udah tidur ya? Telpon yang lain deh, bentar lagi lagu beres."
Dalam diam aku mulai mencari nomor kontak salah satu pendengar dan hampir menekan nomornya untuk dihubungi ketika terlihat kedipan pada layar tanda ada panggilan masuk. "Narasumber masuk nih," aku berkata sembari menoleh pada Gia dan Remi.
"Good! Siap-siap gih," perintah Gia.
Aku langsung mengangkat sambungan untuk memastikan jika penelepon itu adalah Kenanga. Setelah perkenalan dan pengarahan singkat, aku meminta gadis itu menunggu dan tetap pada saluran telepon.
"Satu alunan manis dari Yiruma untuk menemani para pendengar semua di malam yang gerimis ini ya! And its show time, narasumber kita sudah bergabung dan siap untuk menceritakan kisahnya."
Remi memutar sebuah musik instrumen dengan suara kecil sebagai latar belakang.
"Halo? Dengan siapa ini? Silakan perkenalkan diri," sapaku pada Kenanga.
"Saya Kenanga, dari pojokan kamar."
"Teh Kenangan lagi ngapain di pojokan kamar?" tanyaku iseng.
"Lagi ngeliatin anak saya tidur, Teh Inoxu."
"Oh oke. Silakan Teh Kenanga, mau nyeritain apa nih?" Aku mempersilakan narasumber untuk mulai.
"Saya dijodohkan orang tua saya saat kelas dua sekolah menengah atas. Pada waktu itu, terpaksa saya harus berhenti sekolah dan menikah.
Awalnya saya pikir itu bukan hal yang aneh. Di kampung saya, banyak anak-anak perempuan meninggalkan bangku sekolah dan lebih memilih untuk menikah di usia muda. Saya pun akhirnya setuju dengan kemauan orang tua saya. Urusan cinta belakangan, yang penting saya dianggap anak berbakti karena menurut pada orang tua.
Setahun pernikahan, semua berjalan biasa aja. Walaupun awal menikah saya ngga punya perasaan apa-apa, lambat laun karena tinggal seatap, rasa sayang akhirnya muncul juga. Kami hidup tenang dan bahagia. Suami bekerja, saya juga bekerja walaupun hanya menjadi seorang buruh pabrik. Beda pendapat mulai saya rasakan saat memasuki tahun pernikahan kedua. Ditambah lagi, ayah mertua saya meninggal dan menyebabkan ibu mertua saya ikut tinggal bersama kami di sebuah kontrakan kecil dekat pabrik tempat suami saya bekerja."
"Jadinya tinggal sama mertua?" tanyaku
"Iya teh. Mertua saya baik kok, ngga seperti mertua yang kebanyakan jadi sosok menakutkan buat menantu."
"Alhamdulillah," ucapku pelan.
"Tapi yang namanya rumah tangga, ujiannya dari semua arah. Ekonomi baik, mertua baik, eh malah suami yang mulai ringan tangan tepat ketika saya dinyatakan mengandung oleh bidan. Kondisi saya yang lemah, membuat saya harus berhenti bekerja, Teh. Dan ternyata, hal itu berdampak pada perekonomian kami. Cicilan yang tadinya terbayar, jadi keteteran karena sumber penghasilan hanya dari suami saya. Ekonomi yang turun nyatanya membuat suami saya habis kesabaran. Dia jadi gampang main tangan dan memaki saya jika ada hal yang tidak sesuai keinginannya."
"Mertua Teteh gimana?" Aku bertanya penasaran.
"Mertua saya sangat-sangat melindungi saya, Teh. Beliau yang sering menerima sasaran puku*lan yang diarahkan pada saya. Ngga jarang juga mertua berkali-kali menasehati anaknya, tapi sadarnya cuma beberapa hari aja. Setelahnya, kebiasaannya berulang. Dan puncaknya beberapa minggu kemarin setelah saya melahirkan."
"Kenapa Teh? Teteh kena pu*kul lagi? Kenapa ngga dilaporkan ke yang berwajib?" Aku menahan sekuat tenaga agar suaraku tetap datar.
"Sudah terlambat, Teh. Saya memang berniat seperti itu dan kembali ke kampung dengan bayi saya. Mertua juga udah mengijinkan saya kalau mau pisah dengan anaknya. Beliau merasa gagal menjadi seorang ibu, karena perlakuan anak laki-lakinya tersebut pada saya."
"Maaf, kalau boleh tau, habis Teteh melahirkan, Teteh diapain?" tanyaku.
"Waktu itu saya baru aja menjemur baju-baju bayi saya saat tiba-tiba mendung dan gerimis turun. Bayi saya kebetulan sedang rewel dan maunya digendong. Saya udah minta ke suami untuk ngambilin baju bayi kami yang di jemur. Tapi, dia ngga mau dan masih asyik dengan ponselnya. Mau ngga mau, saya yang ngangkat jemuran, dengan bayi saya dalam gendongan. Begitu tau, suami saya marah besar. Dia bilang saya ngga becus jadi ibu karena membawa bayi kami ngangkat jemuran sampai kena hujan. Dia memu*kuli saya berkali-kali, tanpa henti, tanpa jeda. Untungnya, mertua yang pada waktu itu baru pulang pengajian, mengambil bayi yang masih dalam dekapan saya."
"Astagfirullah, terus gimana, Teh?" Dari sudut mataku, aku melihat wajah Remi dan juga Gia yang memakai headphone menjadi geram. Keduanya ikut mendengarkan siaran ini.
"Beliau berteriak minta tolong. Tapi terlambat, saya udah kehilangan kesadaran," jawab Kenanga. Hening tercipta beberapa saat, hingga terdengar suara tangisan bayi di ujung sambungan. Tidak lama kemudian sambungan terputus.
Aku dengan cepat menghubungi kembali nomor Kenanga selama beberapa saat. Namun, panggilan selalu terputus sebelum nada sambung terdengar.
"Sayang sekali pendengar, panggilan dengan Kenanga terputus. Sempat kita dengar barusan ya kalau bayinya nangis, mungkin Teh Kenanga sibuk menenangkan bayinya," aku terdiam sesaat sebelum melanjutkan.
"Cukup miris jika mendengar di tahun 2022 ini masih ada perempuan yang menerima perlakuan tidak menyenangkan dari suaminya. Pendengar mungkin bertanya-tanya, kenapa narasumber tidak memilih berpisah saja. Yang bisa saya bilang, jawabannya hanya narasumber yang tau. Kondisi seseorang berbeda satu dengan yang lainnya. Untuk pendengar yang lain, mungkin berpisah merupakan jalan keluar paling cepat, tapi belum tentu dengan segelintir perempuan di luar sana. Alasan mereka bertahan, seperti yang sudah saya bilang, hanya mereka sendiri yang tau.
Tanpa terasa sudah hampir satu setengah jam saya menemani pendengar semua di tengah malam ini. Untuk pendengar yang mau menceritakan kisah hidupnya di sini, saya persilakan mengirimkan pesan ke nomor whatsapp kami dengan format yang sudah dijelaskan. Sebagai penutup, satu lagu lawas dari Spice Girls semoga bisa menjadi penghantar tidur pendengar semua. Sampai ketemu hari rabu di jam 11 malam, saya Inoxu pamit. Stay tuned 12,08 FM Radio Rebel Bandung. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."
Aku mematikan mic dan meletakkan headphone setelah terdengar alunan lagu yang diputar oleh Remi.
"Alhamdulillah beres euy," celetuk Gia. "Mudah-mudahan banyak yang suka ya bestie."
"Aamiin," jawabku dan Remi yang mengerutkan kening dan menunjuk ke arah monitor.
"Ada telepon masuk tuh," ucapnya pelan.
"Dari Kenanga kali, angkat aja ya?" Aku kembali duduk di meja siaran dan menyalakan mesin penerima sambungan. "Halo?"
Tidak ada jawaban dari ujung sana.
"Kenanga? Tadi teleponnya keputus ya? Bayi kamu bangun?" tanyaku.
"Halo?" Suara pria di ujung sambungan membuatku mengerutkan kening sedangkan Remi dan Gia serempak mendekat.
"Ya? Maaf, dengan siapa saya bicara?" tanyaku lagi.
Kembali hening selama beberapa saat sebelum pria itu melanjutkan. "Maaf sebelumnya. Tadi saya lihat ada panggilan masuk di ponsel anak saya. Dan saat saya melihat panggilan keluar, nomor ini juga sudah ada dalam daftar."
"Oh iya, Pak. Tadi Kenanga menjadi narasumber di siaran radio yang saya bawakan," jelasku.
"Kenanga?"
"Betul Pak, Kenanga beberapa saat lalu menelpon kami di studio dan menjadi narasumber untuk berbagi kisah hidup," jelasku lagi.
"Ngga mungkin," lirih pria tersebut.
"Kenapa, Pak?" Aku bertanya dan melemparkan pandang pada Remi dan Gia.
Terdengar isakan kecil di latar belakang sana. "Ngga mungkin, Neng. Kenanga sudah meninggal tujuh hari yang lalu. Ia meninggal karena pengani*ayaan yang dilakukan suaminya sendiri. Habis isya tadi, kami di sini baru saja selesai mengadakan pengajian untuk Kenanga."
Deg!
Tanpa sadar, aku serta Remi dan Gia membelalakkan mata.
"Bapak serius?" tanyaku lirih untuk memastikan. Punggungku sepenuhnya dingin dan lututku gemetaran tanpa bisa kutahan.
"Serius, Neng. Kenanga sudah meninggal. Makanya Bapak tadi heran waktu melihat ponselnya menyala tepat di dekat bayinya tidur."
Bulu kudukku meremang dan kepalaku terasa menjadi berat, "Kalau begitu terima kasih atas infonya ya, Pak. Mohon maaf, teleponnya saya tutup." Dengan sekuat tenaga aku berusaha tenang saat berkata hal tersebut. Tidak lama, sambungan pun terputus.
Aku menatap Gia dan Remi selama beberapa saat. Seolah dikomando, kami bertiga serentak mengambil tas masing-masing dan berlari ke luar dari dalam studio.
"Selamat datang saya ucapkan untuk para pendengar Kisah Tengah Malam Radio Rebel Bandung 12,08 FM yang baru bergabung. Satu lagu dari Fort Minor saya persembahkan untuk pendengar semua di manapun berada. Selamat mendengarkan dan jangan ke mana-mana."
Aku mematikan mic dan membuka headphone setelah intro lagu terdengar. Mataku menatap Gia dan Remi yang sedang duduk di kursi mereka masing-masing. Ingatanku kembali ke tadi pagi setelah Gia dengan setengah memaksa, meminta kami untuk berkumpul di rumahnya.
Siaran perdana kami beberapa malam lalu membuat nyaliku ciut untuk melanjutkan program ini. Remi juga merasakan hal yang sama. Kami berdua sebenarnya super pengecut untuk hal-hal yang terjadi di luar nalar dan meminta Gia agar program dihentikan.
Sayangnya, Gia tidak sependapat dengan kami dan tetap nekat untuk melanjutkan program ini karena melihat antusias dari pendengar semua. Posisinya sebagai produser siaran membuatnya memiliki hak penuh untuk tetap memastikan jika program berjalan. Dan sebagai penyiar di bawahnya, mau tidak mau aku hanya bisa pasrah mengikuti. Itulah sebabnya, Rabu malam ini, kami bertiga sudah berkumpul di ruang siaran.
"Yeay, Where'd You Go dari Fort Minor telah menemani kita semua. Kembali saya ucapkan selamat bergabung untuk para pendengar yang baru saja hadir. Saat ini saya sudah terhubung dengan narasumber kita. Halo? Silakan perkenalkan diri."
"Selamat malam Teh Inoxu. Saya Karin dari Cibiru," ucap suara di ujung sambungan.
"Malam Teh Karin. Silakan, punya kisah apa untuk dibagikan kepada para pendengar?"
"Saya seorang perawat di sebuah rumah sakit swasta yang cukup terkenal di kota Bandung. Saya bertugas di bagian Obgyn, Teh. Beberapa hari lalu, ada kejadian yang bikin saya luar biasa sedih."
"Gimana tuh?"
"Menjelang malam ada pasien yang diantar dari IGD ke ruang Obgyn untuk mendapatkan perawatan. Pasien adalah seorang wanita setengah baya yang sedang hamil muda. Kasusnya, mual muntah parah sehingga dehidrasi dan luka lambung. Dari awal kedatangannya, perawat IGD yang mengantar pasien udah keliatan aneh. Setelah prosedur serah terima pasien, perawat IGD ini bukannya langsung kembali ke sana tapi malah berhenti sejenak di konter perawat. Waktu saya tanya ada apa, perawat tersebut malah keliatan mau nangis.
Dia bercerita kalau wanita yang barusan diantarnya ke sini, dibawa oleh sang suami dengan menggunakan becak. Sepasang suami istri tersebut udah menikah selama dua puluh tahun dan baru kali ini hamil. Kondisi istrinya yang lemah membuat sang suami nekat mengayuh becak hampir berpuluh-puluh kilometer karena banyak rumah sakit yang menolak."
"Menolak kenapa, Teh?" tanyaku cepat.
"Menolak untuk merawat sang istri karena rumah sakit-rumah sakit itu meminta deposit untuk kamar perawatan. Sedihnya, mereka berasal dari kalangan tidak mampu dan juga ngga punya BPJS. Sampai akhirnya, mereka tiba di rumah sakit ini dan untungnya diterima."
"Maaf Teh, saya potong sebentar. Emang rata-rata rumah sakit kaya begitu ya? Maksud saya, pasien yang mau dirawat harus menaruh uang deposit sebagai jaminan?" tanyaku penasaran.
"Iya, Teh. Biasanya memang begitu. Untuk pasien umum diminta deposit sedangkan untuk pasien pengguna BPJS ngga. Sebetulnya, pasien bisa tetap dilayani asal ada Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Sayangnya, mereka belum tau dan datang ke rumah sakit tanpa persiapan apa-apa," jelas Karin.
"Terus gimana?"
"Di rumah sakit ini mereka diterima dan disarankan untuk secepatnya mengurus SKTM. SKTM sendiri berlaku hanya untuk sekali rawat jalan atau rawat inap di rumah sakit."
"Terus suami pasien berhasil ngurus SKTM?" tanyaku lagi.
"Iya Teh. Keesokan harinya, beliau datang ke rumah sakit dengan membawa SKTM."
"Alhamdulillah, terus sekarang gimana keadaan pasien?" Aku merasakan kelegaan yang mendadak muncul.
"Ini yang bikin sedih, Teh. Kondisi pasien serta janinnya cukup lemah karena dehidrasi dan ada beberapa obat yang harus pasien beli sendiri ke bagian farmasi. Suami pasien berprofesi sebagai penarik becak. Bukannya meremehkan ya, Teh. Untuk makan sehari-hari aja mereka kesulitan, apalagi ditambah dengan membeli obat yang walaupun harganya ngga mahal tapi tetap harus dibeli. Saya berkali-kali melihat suami pasien makan nasi bungkus tanpa lauk saat beliau sedang menemani pasien."
"Ya Allah," lirihku.
"Untungnya ada beberapa orang yang bergantian menengok pasien dan membawa makanan. Saat itu saya tambah yakin, dalam kondisi sesulit apapun, Allah selalu memberikan rejeki lewat siapa saja."
"Betul banget. Rejeki memang sudah ada takarannya untuk setiap orang," balasku.
"Nah ini puncaknya, Teh. Tadi pagi, suami pasien menemui kami dan bertanya apa yang harus beliau lakukan jika ingin membawa pulang pasien. Kami yang ditanya, jadi bingung sendiri karena belum ada perintah untuk memulangkan pasien dari dokter yang merawat. Kondisi pasien belum seratus persen pulih, Teh."
"Kok mau dibawa pulang?"
"Karena suami pasien bilang ngga sanggup untuk terus menebus obat. Untuk makan aja susah, apalagi ditambah harus nebus obat," jawab Karin.
"Astagfirullah. Terus akhirnya pulang?"
"Pulang Teh, setelah sebelumnya menandatangani surat pernyataan pulang atas permintaan sendiri. Saya ngga bisa bilang kalau suaminya egois. Keadaan mereka udah susah. Kami mau ngebantu juga punya keterbatasan."
"Iya juga sih. Masing-masing orang punya kebutuhannya sendiri-sendiri," ucapku miris.
"Makanya Teh, saya sedih banget. Kalau aja saya punya rejeki lebih, saya ngga akan mikir panjang untuk menolong. Apalagi profesi saya ini menuntut untuk bertemu pasien dari semua jenis kalangan. Kebanyakan dari kalangan ngga mampu."
Aku menatap ke arah jam dinding dan memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan. "Teh Karin, hatur nuhun sudah mau berbagi kisahnya. Semoga Teteh dan juga para pendengar semua diberi kesehatan ya?" ucapku menahan getaran pada suara karena kesedihan yang tiba-tiba menyelusup.
"Sama-sama Teh Inoxu. Terima kasih sudah diijinkan berbagi kisah di sini. Semoga Teh Inoxu dan yang lainnya juga sehat selalu," balas Karin.
Aku melihat sambungan sudah terputus dan kembali fokus ke para pendengar.
"Di negeri ini, kalimat 'Orang miskin dilarang sakit' bisa jadi sepenuhnya benar. Miris memang mendengar kisah Teh Karin. Kondisi pas-pasan, lagi hamil muda, jatuh sakit dan lain-lain. Tapi percaya deh, mau dalam bentuk apapun, rejeki itu akan selalu ada. Doa saya untuk pasien dan suaminya, semoga selalu diberi kesehatan dan juga rejeki berlimpah yang berkah. Aamiin.
Satu lagu dari Extreme dengan More than Words akan menjadi penutup Kisah Tengah Malam kali ini. Saya Inoxu, dan rekan-rekan yang bertugas pamit undur diri. Sampai jumpa hari Jumat jam 11 malam dan selamat beristirahat untuk para pendengar semua. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."
Aku mematikan mic dan melepas headpone. Sejenak, aku diam untuk menahan getaran aneh dalam hati. Gia dan Remi sepertinya juga merasakan hal yang sama.
"Kasian banget ya itu pasien? Ngga kebayang, sekian lama nunggu hamil, pas hamil malah masuk rumah sakit," ucap Gia lirih.
Aku mengangguk dalam diam. Cukup lama kami bertiga diam di ruang siaran saat mataku menatap jam yang sudah menunjukkan pukul satu pagi.
"Pulang ah," aku berdiri dan memasukkan barang pribadiku ke dalam tas. Gia dan Remi hanya mengangguk dan mengikuti apa yang kulakukan. Dalam beberapa menit, aku sudah berada di luar gedung, menarik nafas panjang dan menikmati hawa dingin yang menerpa wajahku.
"Nama saya Mawar, Teh Inoxu. Dari sebuah kosan di kota Bandung."
Keningku berkerut mendengar suara serak di ujung sambungan. "Silakan, Mawar. Mau berbagi kisah apa nih sama pendengar semuanya?"
Terdengar isakan kecil sebelum Mawar bersuara. "Saya sakit hati, Teh."
"Loh kenapa?"
"Saya sakit hati sama perlakuan temen-temen saya di sekolah," ucap Mawar.
"Mawar kelas berapa sih?" tanyaku.
"Kelas sebelas, Teh. Di salah satu sekolah swasta di Bandung. Saya pindah ke sekolah yang sekarang dari sekolah lama saya karena permintaan Ambu. Beliau mau, saya sekolah di kota besar," Mawar mulai bercerita.
"Saya mah nurut-nurut aja karena Ambu bilang, kalau sekolah di kota besar itu bakalan lebih gampang nyari universitas setelah saya lulus nanti. Cuma ya itu, temen-temen di sekolah seringnya bikin sakit hati."
"Temen-temen kamu emangnya kenapa?" Aku mulai penasaran.
"Beberapa teman datang dan bersikap baik pada saya kalau ada maunya. Mereka tau kalau saya berasal dari kampung, dan di kampung juga kehidupan keluarga saya bisa dibilang cukup berada. Saya sering diajak nongkrong, tapi dengan sesuatu yang harus saya keluarkan. Contohnya baru aja weekend kemarin. Mereka ngajakin saya nonton dan jalan-jalan. Tapi pas beli tiket di bioskop, semua saya yang bayar."
"Wow, kamu dimanfaatin?"
"Saya ngerasanya gitu, Teh. Yang paling parah pas sehabis nonton. Mereka 'kan sebelumnya minta saya untuk bawa kendaraan karena setelah nonton rencananya mau jalan-jalan ke Lembang. Cuma, waktu kemarin itu kendaraan saya lagi di servis. Pas tau saya ngga bawa kendaraan, saya dicuekin habis-habisan. Ngga diajak ngobrol, ngga dijawab waktu saya nanya. Pokoknya saya dianggap ngga ada. Sampai akhirnya saya langsung pulang aja tanpa pamit ke mereka," jelas Mawar panjang lebar.
"Pas ketemu kamu di sekolah gimana? Ada ngga yang nanya kenapa kamu pulang duluan?"
"Ngga ada. Mereka cuek-cuek aja tuh. Saya dianggap ngga ada, ngga keliatan di mata mereka." Suara Mawar terdengar pelan.
"Kasian banget," ucapku bersimpati. Terdengar kekehan di ujung sambungan. Entah kenapa, perasaan was-was seketika terbit. "Kok ketawa?"
"Ya soalnya Teteh lucu," jawab Mawar.
"Lucu kenapa?"
"Karena kasian ke saya. Teteh pikir saya di sekolah ngga punya teman? Banyak tau Teh, temen saya mah," jawabnya lagi.
"Jadi masih ada temen-temen yang lain 'kan? Syukur atuh, paling ngga kamu ngga sendiri—."
"Temen saya banyak di sekolah tapi bukan dari golongan manusia, Teh," potong Mawar.
Aku membelalakan mata dan spontan menatap ke arah Gia dan Remi yang sama-sama sedang menatapku. "Maksudnya gimana sih?"
"Temen saya banyak kok di sekolah. Ada si Nyai penunggu perpustakaan dengan punggungnya yang berlubang, ada anak kecil yang suka menangis pas jam pelajaran, dan ada juga tentara Belanda yang ngga punya kepala," Mawar menerangkan dengan santai.
"Bhuuuh!"
Aku menengok menatap Gia yang menyemburkan kopi dalam mulutnya. "Hahaha, Mawar bercandanya ngga lucu deh," ucapku berusaha mencairkan suasana yang mendadak tegang.
"Saya ngga bercanda, Teh. Dari kecil saya sering kok ngeliat mereka. Bahkan sekarang berteman baik dengan beberapa diantaranya. Oh iya, di salah satu studio radio Rebel juga ada kok teh."
"Jangan! Eh, jangan diterusin. Saya penakut soalnya," aku memotong cepat.
"Mereka ngga jahat sih teh. Cuma terkadang usil aja. Aku nyaman temenan sama mereka."
"Berarti kamu punya kemampuan itu dari lahir ya?" tanyaku lirih. Aku berusaha memutar otak untuk mengalihkan pembicaraan.
"Iya Teh. Jadi udah ngga aneh sih."
"Kamu sering berinteraksi sama mereka?" tanyaku spontan. Seketika aku menepuk dahiku keras ketika melihat pandangan tajam dari Gia dan juga Remi.
"Cukup sering. Sama seperti manusia, mereka juga punya kisah masing-masing. Yang paling sedih itu kisah tentara Belanda yang ngga punya kepala."
"Kalian ngobrol? Kok bisa? Kan tentara Belanda itu ngga punya kepala," tanyaku penasaran.
"Bhuuuh!"
Aku kaget dan melihat Remi yang kali ini menyemburkan air mineral dalam mulutnya. Sedangkan Gia mengacungkan tinjunya padaku dan melotot.
"Ngga perlu ngobrol untuk berinteraksi dengan mereka. Kan mereka bukan manusia seperti kita. Saya biasanya bisa sekilas ngeliat masa lalu mereka masing-masing. Seperti tentara Belanda itu contohnya. Dulu, sekolah saya ini adalah mess yang dibangun tepat di belakang gereja, untuk tempat tinggal para pastor dan biarawati. Gerejanya masih berdiri sampai sekarang, Teh. Pada waktu pasukan Jepang datang ke Indonesia, banyak tentara Belanda yang bersembunyi di mess. Mereka bersembunyi dari incaran para tentara Jepang dan cukup lama tinggal di mess. Sampai akhirnya, ada pribumi yang melaporkan pada tentara Jepang, kalau ada tentara Belanda yang bersembunyi di mess."
"Terus gimana?" tanyaku.
"Habis dibabat lah. Sekalian sama pastor dan juga para biarawati. Semua kena peng*gal dan ngga ada satupun yang selamat."
"Wow," desahku lirih.
"Puncaknya, pribumi yang ngasih tau tempat persembunyian mereka, juga ikut dibu*nuh. Dia ditem*bak tepat di punggung. Selain ditem*bak, ditu*suk juga pakai pedang panjang berkali-kali sampai punggungnya bolong. Pribumi itulah yang sekarang sering dipanggil Nyai dan menjadi penunggu di perpustakaan."
"Waduh," celetukku spontan.
"Si Nyai nyesel katanya, Teh. Dia udah jadi pengkhianat. Padahal pastor, biarawati dan tentara Belanda yang diban*tai karena dia itu orang-orang baik. Nyai sendiri juga ngga nyangka kalau mereka bakal diban*tai. Dia kira, cuma mau dipulangkan ke negara asal. Taunya malah ngejemput ajal."
"Miris juga ya?" Aku menanggapi cerita mawar dengan berbagai perasaan. Takut, kasihan, iba.
"Iya banget, Teh. Pokoknya kasihan deh, rata-rata mereka itu akhir hidupnya tragis."
Aku menganggukkan kepala dan seketika sadar jika Mawar tidak dapat melihatku. "Mawar, terima kasih banyak ya atas kisahnya. Ngga nyangka juga bisa ngobrol sama orang yang punya kemampuan istimewa. Sehat-sehat ya?"
"Sama-sama Teh Inoxu," balas Mawar sebelum memutuskan sambungan.
"Jujur aja, saya speechless. Takut iya, kasihan iya." Aku menghembuskan napas panjang untuk sejenak. "Untungnya tanpa terasa sudah satu setengah jam saya menemani pendengar semuanya. Satu lagu dari Dewa 19 akan menjadi penutup Kisah Tengah Malam kali ini, semoga bisa menemani waktu istirahatnya ya. Inoxu pamit, sampai ketemu lagi senin malam jam sebelas di Kisah Tengah Malam 12,08FM Radio Rebel Bandung. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."
Aku meletakkan headphone dan merenggangkan badanku yang tiba-tiba terasa kaku.
"Xu! Parah banget sih! Malah nanya-nanya kaya gitu ke si Mawar," protes Gia menghampiriku.
Aku terkekeh melihat ekspresinya, "Maaf deh, orang tadi spontan aja."
"Ssshhhhh," ucap Remi masih dari balik meja operator.
"Ada apaan?" tanya Gia berbisik.
"Matiin itu mic." Remi memberitahu kami dengan gerakan bibir. Dengan segera, aku mematikan mic dan mendesah dalam hati merutuki kecerobohanku. Mic harus dipastikan dalam keadaan mati setelah siaran selesai. Jika tidak, para pendengar radio bisa mendengar percakapan ataupun suara-suara yang terjadi di studio.
"Sori," kataku pelan. Bukannya menjawab, Remi seolah terpaku diam di tempat duduknya. Kerena penasaran, aku mendekat dan melepas kabel headphone yang tersambung di monitor. Seketika terdengar suara samar Gia yang protes ketika siaran sudah selesai.
Kik kik kik kik!
Tunggu. Aku menekan tombol pause dan mundur ke beberapa detik sebelumnya lalu menekan tanda play. Jelas terdengan suara tawa seseorang tepat setelah rekaman suara Gia terdengar.
" Itu siapa yang ketawa? tanya Gia lirih. Kami bertiga saling pandang dan atmosfer ruangan berubah menjadi lebih dingin.
"Itu kali, yang diceritain Mawar. Eh kita pulang aja yuk?" ucap Remi berusaha santai. Aku mengikuti jejaknya dan memasukkan ponselku ke dalam tas. Sekuat tenaga kami bersikap seolah tidak ada apa-apa, padahal kenyataannya, kami bertiga dilanda ketakutan yang luar biasa.
Kik kik kik!
Tepat di depan pintu, suara tawa itu kembali terdengar. Dengan secepat yang aku bisa, aku meraih gagang pintu dan langsung melesat keluar begitu pintu terbuka, meninggalkan Gia dan Remi di belakangku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!