"Selamat datang saya ucapkan untuk para pendengar Kisah Tengah Malam Radio Rebel Bandung 12,08 FM yang baru bergabung. Satu lagu dari Fort Minor saya persembahkan untuk pendengar semua di manapun berada. Selamat mendengarkan dan jangan ke mana-mana."
Aku mematikan mic dan membuka headphone setelah intro lagu terdengar. Mataku menatap Gia dan Remi yang sedang duduk di kursi mereka masing-masing. Ingatanku kembali ke tadi pagi setelah Gia dengan setengah memaksa, meminta kami untuk berkumpul di rumahnya.
Siaran perdana kami beberapa malam lalu membuat nyaliku ciut untuk melanjutkan program ini. Remi juga merasakan hal yang sama. Kami berdua sebenarnya super pengecut untuk hal-hal yang terjadi di luar nalar dan meminta Gia agar program dihentikan.
Sayangnya, Gia tidak sependapat dengan kami dan tetap nekat untuk melanjutkan program ini karena melihat antusias dari pendengar semua. Posisinya sebagai produser siaran membuatnya memiliki hak penuh untuk tetap memastikan jika program berjalan. Dan sebagai penyiar di bawahnya, mau tidak mau aku hanya bisa pasrah mengikuti. Itulah sebabnya, Rabu malam ini, kami bertiga sudah berkumpul di ruang siaran.
"Yeay, Where'd You Go dari Fort Minor telah menemani kita semua. Kembali saya ucapkan selamat bergabung untuk para pendengar yang baru saja hadir. Saat ini saya sudah terhubung dengan narasumber kita. Halo? Silakan perkenalkan diri."
"Selamat malam Teh Inoxu. Saya Karin dari Cibiru," ucap suara di ujung sambungan.
"Malam Teh Karin. Silakan, punya kisah apa untuk dibagikan kepada para pendengar?"
"Saya seorang perawat di sebuah rumah sakit swasta yang cukup terkenal di kota Bandung. Saya bertugas di bagian Obgyn, Teh. Beberapa hari lalu, ada kejadian yang bikin saya luar biasa sedih."
"Gimana tuh?"
"Menjelang malam ada pasien yang diantar dari IGD ke ruang Obgyn untuk mendapatkan perawatan. Pasien adalah seorang wanita setengah baya yang sedang hamil muda. Kasusnya, mual muntah parah sehingga dehidrasi dan luka lambung. Dari awal kedatangannya, perawat IGD yang mengantar pasien udah keliatan aneh. Setelah prosedur serah terima pasien, perawat IGD ini bukannya langsung kembali ke sana tapi malah berhenti sejenak di konter perawat. Waktu saya tanya ada apa, perawat tersebut malah keliatan mau nangis.
Dia bercerita kalau wanita yang barusan diantarnya ke sini, dibawa oleh sang suami dengan menggunakan becak. Sepasang suami istri tersebut udah menikah selama dua puluh tahun dan baru kali ini hamil. Kondisi istrinya yang lemah membuat sang suami nekat mengayuh becak hampir berpuluh-puluh kilometer karena banyak rumah sakit yang menolak."
"Menolak kenapa, Teh?" tanyaku cepat.
"Menolak untuk merawat sang istri karena rumah sakit-rumah sakit itu meminta deposit untuk kamar perawatan. Sedihnya, mereka berasal dari kalangan tidak mampu dan juga ngga punya BPJS. Sampai akhirnya, mereka tiba di rumah sakit ini dan untungnya diterima."
"Maaf Teh, saya potong sebentar. Emang rata-rata rumah sakit kaya begitu ya? Maksud saya, pasien yang mau dirawat harus menaruh uang deposit sebagai jaminan?" tanyaku penasaran.
"Iya, Teh. Biasanya memang begitu. Untuk pasien umum diminta deposit sedangkan untuk pasien pengguna BPJS ngga. Sebetulnya, pasien bisa tetap dilayani asal ada Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Sayangnya, mereka belum tau dan datang ke rumah sakit tanpa persiapan apa-apa," jelas Karin.
"Terus gimana?"
"Di rumah sakit ini mereka diterima dan disarankan untuk secepatnya mengurus SKTM. SKTM sendiri berlaku hanya untuk sekali rawat jalan atau rawat inap di rumah sakit."
"Terus suami pasien berhasil ngurus SKTM?" tanyaku lagi.
"Iya Teh. Keesokan harinya, beliau datang ke rumah sakit dengan membawa SKTM."
"Alhamdulillah, terus sekarang gimana keadaan pasien?" Aku merasakan kelegaan yang mendadak muncul.
"Ini yang bikin sedih, Teh. Kondisi pasien serta janinnya cukup lemah karena dehidrasi dan ada beberapa obat yang harus pasien beli sendiri ke bagian farmasi. Suami pasien berprofesi sebagai penarik becak. Bukannya meremehkan ya, Teh. Untuk makan sehari-hari aja mereka kesulitan, apalagi ditambah dengan membeli obat yang walaupun harganya ngga mahal tapi tetap harus dibeli. Saya berkali-kali melihat suami pasien makan nasi bungkus tanpa lauk saat beliau sedang menemani pasien."
"Ya Allah," lirihku.
"Untungnya ada beberapa orang yang bergantian menengok pasien dan membawa makanan. Saat itu saya tambah yakin, dalam kondisi sesulit apapun, Allah selalu memberikan rejeki lewat siapa saja."
"Betul banget. Rejeki memang sudah ada takarannya untuk setiap orang," balasku.
"Nah ini puncaknya, Teh. Tadi pagi, suami pasien menemui kami dan bertanya apa yang harus beliau lakukan jika ingin membawa pulang pasien. Kami yang ditanya, jadi bingung sendiri karena belum ada perintah untuk memulangkan pasien dari dokter yang merawat. Kondisi pasien belum seratus persen pulih, Teh."
"Kok mau dibawa pulang?"
"Karena suami pasien bilang ngga sanggup untuk terus menebus obat. Untuk makan aja susah, apalagi ditambah harus nebus obat," jawab Karin.
"Astagfirullah. Terus akhirnya pulang?"
"Pulang Teh, setelah sebelumnya menandatangani surat pernyataan pulang atas permintaan sendiri. Saya ngga bisa bilang kalau suaminya egois. Keadaan mereka udah susah. Kami mau ngebantu juga punya keterbatasan."
"Iya juga sih. Masing-masing orang punya kebutuhannya sendiri-sendiri," ucapku miris.
"Makanya Teh, saya sedih banget. Kalau aja saya punya rejeki lebih, saya ngga akan mikir panjang untuk menolong. Apalagi profesi saya ini menuntut untuk bertemu pasien dari semua jenis kalangan. Kebanyakan dari kalangan ngga mampu."
Aku menatap ke arah jam dinding dan memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan. "Teh Karin, hatur nuhun sudah mau berbagi kisahnya. Semoga Teteh dan juga para pendengar semua diberi kesehatan ya?" ucapku menahan getaran pada suara karena kesedihan yang tiba-tiba menyelusup.
"Sama-sama Teh Inoxu. Terima kasih sudah diijinkan berbagi kisah di sini. Semoga Teh Inoxu dan yang lainnya juga sehat selalu," balas Karin.
Aku melihat sambungan sudah terputus dan kembali fokus ke para pendengar.
"Di negeri ini, kalimat 'Orang miskin dilarang sakit' bisa jadi sepenuhnya benar. Miris memang mendengar kisah Teh Karin. Kondisi pas-pasan, lagi hamil muda, jatuh sakit dan lain-lain. Tapi percaya deh, mau dalam bentuk apapun, rejeki itu akan selalu ada. Doa saya untuk pasien dan suaminya, semoga selalu diberi kesehatan dan juga rejeki berlimpah yang berkah. Aamiin.
Satu lagu dari Extreme dengan More than Words akan menjadi penutup Kisah Tengah Malam kali ini. Saya Inoxu, dan rekan-rekan yang bertugas pamit undur diri. Sampai jumpa hari Jumat jam 11 malam dan selamat beristirahat untuk para pendengar semua. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."
Aku mematikan mic dan melepas headpone. Sejenak, aku diam untuk menahan getaran aneh dalam hati. Gia dan Remi sepertinya juga merasakan hal yang sama.
"Kasian banget ya itu pasien? Ngga kebayang, sekian lama nunggu hamil, pas hamil malah masuk rumah sakit," ucap Gia lirih.
Aku mengangguk dalam diam. Cukup lama kami bertiga diam di ruang siaran saat mataku menatap jam yang sudah menunjukkan pukul satu pagi.
"Pulang ah," aku berdiri dan memasukkan barang pribadiku ke dalam tas. Gia dan Remi hanya mengangguk dan mengikuti apa yang kulakukan. Dalam beberapa menit, aku sudah berada di luar gedung, menarik nafas panjang dan menikmati hawa dingin yang menerpa wajahku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Lina Suwanti
mampir Thor .....senang baca kisah genra seperti ini
2024-11-07
0
Yurnita Yurnita
takut
2023-02-15
2
yamink oi
masih nyimakkkk
2023-01-15
2