Dokter Dirga segera melihat ke arah tespek yang dia terima dari Anggi. Papa Gibran juga ikut melihatnya.
Melihat tanda dua garis merah di sana membuat kedua pria paruh baya itu begitu kecewa terhadap Anggi.
Tak serta-merta Papa Gibran. Dia tidak hanya kecewa, tapi dia juga sangat marah kepada Anggi. Dia merasa sudah gagal menjadi seorang ayah.
Sejak Mama Anggi meninggal, Papa mati-matian menjaga putri sematawayangnya agar tak terlibat pergaulan bebas di luar sana.
Menurut pemantauannya selama ini, Anggi tak pernah dekat sekalipun dengan seorang pria. Bahkan untuk keluar malam pun Papa tak pernah mengizinkannya kalau bukan dari tugas kampusnya.
Papa hanya mengenal satu teman pria Anggi, yaitu Gavin. Mungkinkah pria itu yang sudah menghamili putrinya? Sungguh, ini benar-benar membuat Papa ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya saat ini.
"Apa teman pria mu yang sudah melakukan semua ini padamu!! Papa sungguh sangat kecewa padamu Anggi! Kau sudah mencoreng muka Papa dengan aib yang begitu besar!!" Papa begitu murka hingga dadanya terasa begitu sakit.
Namun dia terus berusaha untuk mengontrol emosinya itu agar tetap terkendali. Dia ingin mengetahui dengan jelas siapa pria itu. Pria yang sudah membuat putrinya hamil.
"Bu-bukan, Pa. Bu-bukan Gavin...." Anggi masih menundukkan kepalanya. Dia benar-benar takut dengan kemarahan sang Papa.
Tak di pungkiri, ini memang kesalahan terbesarnya. Rasanya dia ingin sekali menenggelamkan dirinya ke dasar lautan.
Papa mengusap wajahnya gusar. Dia terus berpikir. Jika bukan Gavin, lalu siapa pelakunya?
"Kalau begitu cepat katakan siapa pria itu. JAWAB!" bentak Papa membuat Anggi terkejut dan gemetar ketakutan.
"Sudah Gibran, Kau harus tenang. Aku tidak ingin jantungmu kambuh lagi. Ingat kesehatan mu." Dokter Dirga menasihati.
Papa memejamkan matanya sejenak sembari mengambil nafas dalam-dalam. Kini dia sudah sedikit tenang. Papa memutuskan akan mencari pria yang sudah membuat putrinya seperti ini. Pria itu harus bertanggung jawab kepada Anggi.
Sementara Anggi sesenggukan menerima bentakan keras dari Papanya. Tak pernah Papa Gibran membentaknya sampai seperti ini. Dia juga meratapi kesalahan dan nasib yang sudah menimpanya.
"Cepat katakan, Anggi. Siapa pria itu? Jangan membuat kami semakin kecewa padamu," tandas dokter Dirga.
"Di-dia adalah pria yang sudah menolong Anggi ketika Anggi ketinggalan di hutan pas camping, Pa, Om," ucap Anggi hati-hati.
"Apa??!" ucap Papa dan dokter Dirga bersamaan.
"Jadi Kau melakukannya dengan pria asing? Kenapa Kau jadi seperti ini Anggi? Papa benar-benar kecewa padamu!"
Sementara dokter Dirga memijit pelipisnya, dia merasa begitu pening dengan masalah ini.
Anggi langsung bersimpuh di hadapan Papanya. Permintaan maaf tak hentinya keluar dari bibir Anggi. Dia menyesali perbuatannya itu. Namun saat ini nasi sudah menjadi bubur. Semua yang sudah terjadi tak bisa lagi di ubah. Anggi harus menjalani takdir yang sudah Tuhan gariskan padanya.
Papa hanya bisa terdiam. Dia kecewa, dia marah. Namun biar bagaimanapun, Papa sangat menyayangi putrinya.
"Sekarang katakan dimana rumah pria itu, Anggi."
"A-aku tidak tahu, Pa. Tapi Aku sempat bertanya padanya di mana Dia sekolah. Ka-katanya, Marcell sekolah di SMA Negeri di kota M, Pa."
Papa dan juga dokter Dirga terbelalak mendengar penuturan Anggi. Apa telinga mereka salah dengar? Atau mungkin Anggi yang salah berbicara?
"Coba katakan sekali lagi. Barangkali Papa salah dengar. Tadi Kau mengatakan jika pria itu masih SMA? Dan namanya Marcell?" tanya Papa memastikan.
"I-iya, Pa, Om." Anggi mengangguk.
Papa mengusap wajahnya. Ia sungguh tak percaya dengan ucapan putrinya.
Sementara dokter Dirga malah terbahak-bahak sembari menepuk bahu sahabatnya.
"Hahaha... Ternyata buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Putrimu telah mengikuti jejak orang tuanya. Dulu Kau menikahi almarhum Mamanya Anggi yang usianya lebih tua darimu. Sekarang putrimu pun mengikuti jejak kalian. Benar-benar menggelikan, hahaha...."
Anggi mengerutkan keningnya mendengar ucapan dokter Dirga. Namun dia tak berani untuk bertanya lebih lanjut. Situasi sedang tak kondusif saat ini.
"Jangan membahas hal yang lalu, Dirga! Setidaknya dulu Aku sudah bekerja saat menikahi almarhum istriku. Lah ini, masa putriku harus di nikahi bocah SMA? Mau di taruh dimana mukaku?" Papa semakin gusar.
"Kau mengatakan bocah? Bocah yang sudah bisa membuat bocah. Hahahaha...." Dokter Dirga semakin terbahak.
"Dasar kampret Kau Dirga!" kesal Papa.
"Yasudah, sekarang telpon orang suruhan mu untuk mencari bocah itu. Kita pikirkan lagi rencana selanjutnya," perintah Papa.
"Siap Pak Bos." Dokter Dirga pun begitu patuh.
***
2 hari kemudian.
Marcell tengah bermain basket di tengah lapangan bersama teman-temannya. Lusa dia ada pertandingan antar sekolahan. Jadi dia dan teman-temannya harus berlatih siang ini.
"Cell... Marcell...!" panggil salah satu siswa yang berlari menghampirinya. Siswa itu nampak terengah-engah karena berlari dari kelasnya.
Marcell menghentikan permainannya dan menyuruh teman lainnya menggantikannya. Dia menghampiri temannya yang memanggilnya tadi.
"Ada apa? Kenapa Kamu lari-lari seperti itu? Kau melihat hantu di siang bolong ya?" tanya Marcell cengengesan.
"Bukan..., Aku hanya mau bilang kalau ada seseorang mencarimu dan menunggu mu di kantor sekolah," ucap temannya menjelaskan.
"Siapa?" Marcell mengernyit.
"Tidak tahu. Yang jelas ada pria berjas hitam yang sedang menunggumu. Cepatlah, kepala sekolah yang menyuruh ku untuk memanggil mu."
'Mungkinkah?'
Tak ingin menerka-nerka, Marcell langsung bergegas menuju kantor kepala sekolah. Dia ingin memastikan jika pria yang mencarinya bukankah seseorang yang ada dalam pikirannya.
Dengan langkah cepat, Marcell segera menuju kantor kepala sekolah. Matanya menyipit melihat sosok pria yang saat ini tengah menatapnya dengan tatapan glare mematikan.
Dia lega karena pria itu bukanlah seseorang yang ada dalam pikirannya. Namun, dia begitu heran kala melihat tatapan pria paruh baya itu yang begitu mematikan kepadanya.
"Maaf, Paman. Ada apa mencariku? Apakah kita saling mengenal?" tanya Marcell ingin tahu.
"Kau ikut Saya sekarang!" ucap Papa Gibran dingin. Dia langsung berdiri dan melangkah.
"Tapi Paman...."
"Jika Kau khawatir dengan pelajaran sekolahmu, Saya sudah meminta izin kepada kepala sekolah agar mengizinkan mu pergi denganku."
Marcell menelan salivanya merasakan sebuah hawa dingin yang menyelimuti pria paruh baya itu. Dalam hatinya, dia terus bertanya tentang siapa pria paruh baya di depannya itu.
Marcell hanya mampu mengikuti langkah Papa Gibran dengan batin yang meronta ingin tahu apa yang akan pria paruh baya itu katakan padanya. Sepertinya, dari ekspresi wajah orang yang berjalan lebih dulu darinya, sesuatu yang akan di bicarakan adalah pembicaraan yang begitu penting.
Hingga sampailah mereka di parkiran sekolah. Papa menyuruh Marcell untuk masuk ke dalam mobilnya.
"Masuk!"
Marcell menurutinya. Mereka pun masuk kedalam mobil Papa Gibran.
Baru saja Marcell mendudukkan dirinya, tiba-tiba sebuah pukulan mendarat tepat di wajah tampannya.
Bughh...
"Apa-apaan Paman ini?! Kenapa Paman memukul ku?" ucap Marcell seraya berdesis menahan sakit di wajahnya.
"Kau tanya kenapa?! Tanyakan pada dirimu sendiri. Apa yang sudah Kau lakukan pada putriku!!"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Eva kusrini
jadi masa lalu bapak sama sama nikah mudah tapi bapak sih udah kerja tapi calon mantu masih sekolah
2022-12-08
2
Cornelia Pujiastuti
Wkwkwk buah jatuh tak jauh dr pohonyaa ,, ya iyalah kal jauh2 jatuhnya berarti sdh digondol kalong
2022-12-08
1
Roslina Dewi
wkwkwk...masa lalu terulang lg Pa2 Gibran😁
2022-12-08
1