Bab 3

Satu bulan berlalu.

Anggi maupun Marcell tak pernah lagi bertemu setelah kejadian tempo hari. Keduanya menjalani kehidupan masing-masing seolah tak pernah terjadi apapun di antara keduanya.

Hari ini Anggi merasa kepalanya begitu pusing. Bahkan rasa mual hebat tengah menderanya. Dia berpikir, mungkin karena semalam dirinya tidur dengan membiarkan jendela kamarnya terbuka. Jadi dia masuk angin.

"Kamu kenapa, Anggi? Wajahmu terlihat begitu pucat. Apa Kau sakit?" tanya Gavin kala melihat Anggi yang sejak tadi hanya mengaduk-aduk makana yang telah ia pesan.

Wajah Anggi memang terlihat pucat. Mendengar ucapan Gavin barusan, membuat Karin dan Sena pun menatap ke arah sahabatnya.

"Iya Anggi, wajahmu terlihat pucat. Apa Kau sakit?" tanya Karin.

Anggi menggeleng. Sejujurnya sedari tadi, dia menahan rasa mual kala mencium bau nasi goreng yang di pesan oleh Gavin dan kedua sahabatnya.

"Hweek...hweek...." Anggi tak dapat menahan gejolak di perutnya lagi. Dia pun berlari menuju toilet untuk memuntahkan isi perutnya.

Ke tiga teman Anggi saling berpandangan. Kemudian mereka menyusulnya ke toilet untuk melihat keadaan Anggi

Di sana, Anggi masih memuntahkan cairan bening dari perutnya. Jelas saja, karena memang dari kemarin malam, Anggi tidak memasukkan apapun ke dalam mulutnya.

Setiap kali dia mencium bau masakan, pasti perutnya akan terasa diaduk-aduk dan berakibat dirinya akan mual dan muntah.

"Kamu tidak apa-apa, Anggi?" tanya teman-temannya merasa khawatir.

Anggi menggeleng pelan. Setelah dirasa perutnya sedikit nyaman, gadis bermata legam itu pun memilih untuk pulang dan istirahat.

"Anggi, sebaiknya kita mengantarkanmu ke dokter," usul Karin.

"Tidak usah. Aku hanya masuk angin biasa. Aku mau pulang dan istirahat saja," ucap Anggi dengan suara lemahnya.

"Biar aku saja yang mengantarmu," ucap Gavin. Dia hendak memapah tubuh Anggi, namun Anggi menolaknya.

"Tidak usah. Aku sudah menghubungi sopir untuk menjemputku." Anggi segera menolaknya.

Gavin merasa kecewa. Lagi-lagi Anggi menolak bantuan darinya. Entah mengapa, sangat sulit sekali untuk mendekati gadis cantik bersurai hitam itu.

Mereka semua memutuskan untuk mengantar Anggi ke parkiran dan menemaninya hingga sang sopir datang menjemputnya.

Tak berapa lama pun, sopir datang untuk menjemput Anggi. Akhirnya berpisah dengan temannya kala mobil yang Anggi tumpangi mulai meninggalkan kampus tersebut.

***

Ketika sampai di rumah, kebetulan saat itu Papa Anggi sedang pulang untuk mengambil berkas penting yang tertinggal.

Beliau mengernyit heran melihat putrinya yang pagi ini sudah pulang dari kuliahnya. Pria paruh baya permata tajam itu pun menghampiri Sang Putri untuk menanyakan perihal yang membuat putrinya itu pulang lebih awal.

"Anggi... Kenapa kau sudah pulang? Apakah dosen yang mengajar di kelasmu tidak datang sehingga kau pulang sepagi ini?" tanya Papa menghentikan langkah kaki Anggi ketika hendak menaiki tangga.

Anggi menoleh ke arah Papanya. "Itu Pa, Anggi sedang tidak enak badan. Sepertinya masuk angin karena semalaman Anggi lupa menutup jendela kamar Anggi," jelas Anggi kepada Papanya.

"Kalau begitu biar paman Dirga datang untuk memeriksamu. Papa akan menghubunginya."

"Tidak usah, Pa. Dibuat istirahat sebentar saja pasti Anggi akan sembuh," tolak Anggi.

"Yasudah, Kamu istirahat saja. Jangan lupa makan dan minum obat," ucap Papa kemudian mengusap lembut kepala Anggi.

"Iya, Pa."

Papa berjalan meninggalkan Anggi. Sementara Anggi kembali melanjutkan langkahnya untuk menaiki tangga menuju kamarnya.

Namun, Baru mencapai satu langkah saja, tiba-tiba kepala Anggi terasa begitu pening hingga tubuhnya tak mampu menahan tumpuannya dan membuat gadis cantik itu jatuh pingsan.

Brrukkh!

Papa yang baru melangkah beberapa langkah saja itu pun menghentikan langkahnya kalau mendengar suara benda jatuh.

Matanya membulat sempurna saat melihat tubuh putrinya yang sudah tergeletak di lantai.

"Anggi!" Papa menghampiri tubuh tak berdaya putrinya. "Anggi, bangun Nak. Kau kenapa?!" Papa begitu panik. Dia langsung memanggil para ART untuk membawa tubuh putrinya ke sofa.

Tak berapa lama dokter Dirga datang untuk memeriksa kondisi Anggi.

Setelah memeriksa kondisinya, dokter Dirga terdiam sejenak. Tepat di saat itu, Anggi pun mulai tersadar dari pingsannya.

Papa langsung mendekati Anggi dan mengusap lembut telapak tangannya.

"Kau sudah bangun, Nak? Sebenarnya Kau ini kenapa?" ucap Papa khawatir.

"Anggi tidak tahu, Pa. Tadi tiba-tiba kepala Anggi sangat pusing," jawab Anggi.

"Dirga, cepat katakan! Bagaimana kondisi putriku?"

Dokter Dirga tak langsung menjawab. Dia menatap Ayah dan anak itu. Kemudian menghela nafas sejenak.

"Anggi, kapan terakhir kali Kau menstruasi?"

Pertanyaan dari dokter Dirga membuat Papa menautkan kedua alisnya. "Putriku pingsan. Kenapa Kau malah menanyakan kapan terakhir kali dia menstruasi?!" Papa menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan pertanyaan dari sahabatnya itu.

"Gibran, Saya serius menanyakan ini kepada putri mu. Karena ini menyangkut masa depannya."

"Maksudmu?" Papa semakin bingung.

Sementara Anggi sejak tadi berpikir keras, kapan terakhir kali dia mengalami palang merah bulanannya. Otaknya sedikit terkesiap kala mengingat jika terakhir kali dia menstruasi adalah bulan lalu. Dan bulan ini sudah hampir akhir bulan, namun dirinya belum mengalami palang merah.

Tiba-tiba rasa takut menyeruak kedalam hatinya. Ingatan ketika dirinya dan Marcell melakukan hal terlarang terngiang-ngiang dalam memori nya.

Anggi merasa sangat ketakutan sekarang. Apalagi Papanya dan juga dokter Dirga masih menunggu jawaban darinya.

"Eumm... Itu Om, Anggi... Anggi bulan ini belum menstruasi," ucap Anggi takut-takut. Ekor matanya melirik kearah Papanya yang kini menatapnya.

Dirga mengusap wajahnya gusar. Dia takut apa yang ada dalam pikirannya benar-benar terjadi. Dirga sudah menganggap Anggi sebagai keponakannya sendiri. Dia menyayangi Anggi seperti putrinya sendiri.

"Kalau begitu Kau harus melakukan tes sekarang juga," ucap dokter Dirga. Kemudian dia memanggil salah satu asisten rumah tangga di sana, dan membisikkan sesuatu dan di balas anggukan mengerti.

ART tersebut langsung menuruti perintah dokter Dirga. Sementara Papa masih tidak mengerti dengan yang terjadi di sini.

Tak lama ART tadi datang dengan membawa sesuatu yang sudah dokter Dirga beli.

"Anggi, cepat gunakan ini ke toilet dan berikan hasilnya pada Om," titahnya.

Papa yang melihat benda yang Dirga berikan pada Anggi pun matanya membola sempurna.

Papa tahu benda apa yang Dirga berikan kepada putrinya.

Anggi begitu ketakutan. Namun dia tetap menuruti apa yang dokter Dirga perintahkan. Kali ini dia menunduk tak berani melihat ekspresi papanya ketika melihat benda yang dia terima.

""Apa maksudmu memberikan benda itu kepada putriku, Dirga?"

"Aku harus memastikan semuanya, Gibran. Semoga saja hasil pemeriksaan ku salah."

5 menit kemudian, Anggi keluar dari toilet dengan membawa tespek di tangannya. Air matanya bercucuran, kakinya seolah sulit untuk dia gerakan. Tangannya bergetar menahan gejolak antara rasa takut kepada Papanya dan juga yang terjadi dengan dirinya.

Kepalanya menunduk seraya memberikan hasil dari tespek di tangannya kepada dokter Dirga.

Papanya menatapnya tajam dengan tatapan glare yang seolah mengulitinya. Ini adalah hari terburuk dari semua yang terburuk dalam hidupnya. Mendapati kenyataan bahwa dirinya hamil melalui tespek tadi membuat dunia Anggi seolah terguling.

Dia tidak tahu apa yang akan Papanya lakukan padanya jika mengetahui kehamilannya ini.

***

Terpopuler

Comments

Rosy

Rosy

apa Marcell akan tanggung jawab ya kalau Anggi hamil..kan dia masih sekolah

2022-12-30

0

Roslina Dewi

Roslina Dewi

aq sampe nahan napas saking takut sama reaksi pa2nya,thor🙈

2022-12-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!