Sania menatap langit-langit kamarnya hingga hampir tak berkedip. Jantungnya sejak tadi berdebar tak karuan. Ia sama sekali tak pernah membayangkan akan menerima pernyataan cinta dari Bima.
Sania mengingat-ingat selama mengenal Bima ia memang memiliki kesan yang baik padanya ia juga kagumi oleh banyak orang karena sosoknya yang sempurna dan yang terpenting adalah sikapnya yang ditujukan pada Sania dengan perhatian-perhatian kecil Bima padanya yang baru sekarang ia sadari.
" Kenapa aku bodoh sekali, senior juga jahat dia membuatku bimbang disaat dia akan pergi jauh."
Sania menutup dirinya dengan selimut dan berusaha tak memikirkan hal itu.
Selama dirumah sakit Sania menghindari Bima mati-matian ia hanya tidak tahu harus bersikap bagaimana padanya setelah Bima mencuri ciuman darinya.
Keesokan harinya Bima yang sejak kemarin tidak bisa bertemu dengan Sania mencoba menghubunginya namun lagi-lagi panggilannya diabaikan. Bima mulai menyesali perbuatannya pada Sania dan ia pun merasa jika Sania sedang menghindarinya.
Saat menjelang waktu pulang Bima sedang membereskan beberapa barang pribadinya kedalam sebuah kotak ia juga menerima banyak hadiah perpisahan dari rekan-rekan sejawatnya.
Bima akhirnya menyerah untuk menemui Sania namun saat melihat keluar ruangannya seseorang terlihat mondar mandir didepan pintu. Bima mendekat dan ternyata itu adalah Sania.
Ceklek.. Sania terkejut namun ia tidak bisa lari lagi.
" Hai.. senior."
" Kau sedang apa? kenapa tidak masuk?."
" Itu.. aku.. hanya kebetulan lewat."
Sania yang salah tingkah tak sadar ia berbohong namun Bima bisa tahu kalau ia sedang canggung padanya.
" Sania, maafkan aku karena aku terlalu terburu-buru. Kau pasti jadi tidak nyaman dan terbebani olehku."
Sania yang merasakan perasaan bersalah Bima justru merasa tidak enak. Ia merasa sudah sangat jahat pada Bima sampai-sampai menghindarinya terang-terangan.
" Senior, aku... aku tidak bisa menggantung perasaanmu karena aku sendiri pun bingung. Ditambah kita akan berpisah entah kapan kita bisa bertemu lagi. Jadi aku akan menjawabnya sekarang."
Bima terlihat murung membuat Sania pun tidak tega namun ini hal terbaik yang bisa ia lakukan demi kebaikan Bima.
" Tidak, aku bilang kau bisa menjawabnya nanti saja saat kita bertemu lagi. Jadi tolong simpan jawabanmu sampai saat itu."
" Tapi..."
" Meskipun kau menolak ku, aku ingin tetap mendengarnya nanti saja. Jadi tolong pikirkan dengan baik."
Sania tidak ada pilihan lain selain menuruti keinginan Bima. Namun sebelum mereka benar-benar berpisah Sania memberikan sebuah hadiah untuknya.
" Pena ini indah sekali, aku akan menggunakannya dengan baik."
ucap Bima dengan tulus.
Setelah Bima kembali ke negaranya Sania pun kembali pada rutinitasnya seperti biasa. Kini setiap kali ia pergi ke atap ia benar-benar merasa sendiri. Biasanya Sania akan ditemani Bima sambil sesekali merokok bersama. Namun sekarang apapun yang ia lakukan rasanya tidak seseru dulu.
Hari-hari pun berlalu hingga Sania mulai terbiasa lagi tanpa melihat sosok Bima, teman sekaligus seniornya. Saat sedang memeriksa pasien ia lalu menerima sebuah pesan di ponselnya dan itu adalah profesor Agatha kepala divisi yang menaunginya.
Tok..tok.. Sania tak lupa mengetuk pintu ruangan profesor Agatha sebelum masuk.
" Silahkan duduk dokter Sania. Kau pasti kaget aku memanggilmu kemari."
" Ada hal penting apa sampai profesor memanggil saya."
" Jadi begini, kau kan sebentar lagi selesai dengan program internship mu dan kudengar kau tertarik menjadi dokter spesialis kejiwaan."
" Iya anda benar. Tapi saya belum tahu apakah akan melanjutkan pendidikan spesialis dalam waktu dekat ini."
" Kau tahu profesor Ryan Lewis?."
" Tentu saja. Saya sangat mengagumi beliau dan sering mengikuti seminar yang diadakan olehnya."
" Kebetulan sekali. Dia menghubungiku dan menanyakan apakah ada dokter yang mau ia bimbing langsung. Dia juga berencana akan memberikan beasiswa untuk pendidikan spesialis anak didiknya. Jadi apa kau berminat?."
Perkataan profesor Agatha bagaikan angin sejuk bagi Sania. Kesempatan emas yang yang datang padanya tanpa pernah ia duga membuatnya menitikkan air mata bahagia.
" Tentu saja saya mau. Melanjutkan pendidikan spesialis dengan dibimbing langsung oleh beliau adalah impian terbesar saya sebagai dokter."
Profesor Agatha ikut merasakan kebahagiaan Sania sampai-sampai iapun memeluknya seperti seorang ibu pada anaknya.
........
"Profesor Ryan dipercaya mengelola pusat kejiwaan di sebuah rumah sakit di Jakarta, Indonesia. Direktur rumah sakit itu adalah sahabatnya sendiri meskipun mereka baru berjalan tapi rumah sakit tersebut cukup menjanjikan. Aku sudah membuat surat rekomendasi untukmu, jika kau lulus tes kau bisa langsung bekerja disana sebagai residen."
Sania yang baru saja mendarat dan menginjakkan kakinya di tanah kelahirannya terus mengingat perkataan profesor Agatha. Ia melihat langit sore hari itu sangat cerah, secerah hatinya sekarang.
Sania yang menyeret kopernya untuk keluar dari bandara sedikit terenyuh karena tidak ada orang yang menjemputnya saat ia kembali tidak seperti orang lain yang memiliki keluarga atau mungkin teman yang sudah menunggu kedatangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments