Sulit Ditebak

Semenjak bertemu dengan Bima, Sania merasa waktu kini berjalan cepat dan tidak membosankan karena mereka sering menghabiskan waktu bersama saat ditempat kerja. Saat ini pun pada jam istirahat Sania yang sudah berada di atap dengan segelas kopinya tak terkejut dengan kedatangan Bima.

Dari kejauhan Bima sudah menebar senyuman ia pun tidak memungkiri bahwa saat ia bicara dengan Sania adalah hal yang paling ia tunggu.

" Kau sudah makan siang?." sesampainya ia disamping Sania.

" Iya sudah. Bagaimana dengan senior?."

" Aku tidak sempat karena harus mendampingi dokter bedah mengoperasi sejak pagi."

Bima yang terlihat kelelahan memijat tengkuknya sendiri. Sebagai residen yang akan menjadi dokter spesialis bedah memang cukup melelahkan karena ia harus bekerja dan belajar pada saat yang sama. Terlebih profesi tersebut sangat dibutuhkan hingga ia mau tidak mau harus bergabung dengan tim bedah rumah sakit setiap kali ada operasi.

" Aku kagum pada senior. Senior pasti akan menjadi dokter yang hebat saat nanti kembali ke Indonesia."

Entah mengapa Bima merasa tersanjung padahal pujian seperti itu banyak ia dengar dari orang lain tapi saat Sania yang mengatakannya jantungnya mendadak berdebar kencang. Untuk menutupinya Bima mengalihkan pembicaraan mereka.

" Bagaimana denganmu? apa kau berencana melanjutkan pendidikan spesialis?."

" Aku belum tahu tapi aku ingin menjadi dokter spesialis kejiwaan."

" Apa?"

Bima terkejut dengan jawaban Sania.

" Kenapa? apa itu tidak cocok denganku?."

" Bukan. Hanya saja aku tidak menyangka nya, kau sangat sulit ditebak."

" Jangankan senior. Aku saja terkejut oleh diriku sendiri."

Bima dan Sania tertawa bersama sebelum mereka berpisah karena harus melanjutkan pekerjaan masing-masing.

Sania lalu pergi ke bangsal anak setelah memeriksa beberapa hal.

" Hai William bagaimana perasaanmu hari ini?."

" Aku sangat baik. Terimakasih dokter cantik karena sudah merawatku."

" Sama-sama anak manis. Tapi lain kali kau harus berhati-hati kalau tidak ingin bertemu lagi denganku dan lain kali aku akan memberikan suntikan yang menyakitkan untukmu."

" Iya baiklah." William tersenyum sambil memeluk Sania.

" Dokter, terima kasih karena sudah merawat putraku."

" Sama-sama bu, anda tidak perlu khawatir kakinya hanya terkilir dan ada retak di bagian lengannya hari ini dia boleh pulang setelah anda mendapat jadwal untuk kebagian ortopedi."

" Dokter aku masih ingin disini denganmu."

rengek pasien anak bernama William yang baru berusia 9 tahun.

Imutnya. Sania teringat seseorang saat melihat tingkah laku William yang manja padanya.

" Tiga hari lagi kita akan bertemu, aku akan menunggumu disini. Oke?."

" Baiklah.." William murung.

Sania lalu mengusap-usap kepalanya untuk menghiburnya.

" Jangan membuat ibumu khawatir lagi ya. Berhati-hatilah saat bermain."

Sania mengantarkan William dan ibunya saat keluar dari rumah sakit. Meskipun sudah menjauh dengan kursi rodanya William masih melambaikan tangannya dan tidak melepaskan pandangannya dari Sania.

Sania merasa terenyuh saat tahu ibu William baru seusianya dan juga mereka mengingatkannya pada dirinya sendiri yang dibesarkan oleh single mom.

Dulu hidupnya sangat penuh dengan keterbatasan dan bagaimana ia bisa menginjak tanah asing yang jauh dari tempat tinggalnya adalah sebuah perjalanan panjang yang penuh air mata.

Sania menengadah menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia berniat kembali ke ruangan dokter namun ia dihentikan oleh seorang wanita yang entah datang darimana dan memberinya sebuah tamparan keras.

Plaaak... Sania masih mencerna apa yang barusan terjadi pipinya terasa berdenyut dan perih ia memberi tatapan tajam pada wanita yang menamparnya itu.

" Dasar wanita j*l*ng. Beraninya kau menggoda calon suamiku. Kau tahu tidak aku sedang mengandung anaknya."

" Kau siapa? aku tidak mengerti perkataanmu."

" Tidak perlu banyak mengelak. Pergilah ke neraka."

Wanita itu berniat menampar Sania untuk yang kedua kalinya namun seseorang datang menghentikannya.

" Amanda.. apa yang kau lakukan? kau mempermalukanku."

" Julian.. " gumam Sania. Ia kini mengerti dengan semua situasi yang terjadi padanya.

" Sania. Aku.."

Pria bernama Julian yang baru saja ia kenal selama beberapa bulan terakhir tertunduk didepannya. Sesekali ia melirik orang-orang yang sedang memperhatikan kearah mereka.

Plaakk... tanpa diduga Sania menampar Julian lebih keras dari yang ia terima dari tunangannya.

" Dasar sampah. Dan kau.. aku tidak bisa membalas tamparanmu karena memikirkan bayi yang kau kandung. Aku juga sudah ditipu oleh sampah ini jadi bawa pergi dia dari sini sebelum bau busuknya menyebar dirumah sakit ini."

Semua orang yang menyaksikan kejadian itu menutup mulutnya kagum dengan reaksi tak terduga Sania. Ia lalu pergi meninggalkan pasangan tidak tahu malu itu.

Bima yang juga melihatnya dari jauh hanya tersenyum bangga namun ia juga sedikit kasihan pada Sania.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!