Shining Sunny
Seorang wanita berlari dengan tergesa-gesa menuju resepsionis rumah sakit. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja sebagai dokter intern namun bisa-bisanya ia terlambat karena taxinya mogok diperjalanan.
Resepsionis lalu memberikan sebuah kartu identitas dan segera ia kembali berlari menuju tempat yang disebutkan resepsionis itu.
Saat sampai ternyata para peserta internship sudah berkumpul dan sedang menerima arahan dari seorang dokter senior. Dan itu semakin membuatnya malu didepan rekan-rekannya.
" Maaf saya terlambat, senior."
" Kemari kau. Sebutkan namamu."
" Sania Pratista."
" Oh, jadi kau dokter lulusan terbaik itu? Apa kau merasa hebat dibandingkan rekan-rekanmu yang lain jadi kau bisa seenaknya datang terlambat dihari pertama bekerja?."
" Tidak seperti itu, senior. Saya tadi...."
Tak memberi kesempatan untuk menjelaskan dokter senior itu malah 'menyemprot' Sania dengan kata-kata pedas yang membuatnya semakin tertunduk malu.
Setelah merasa cukup dokter yang bernama Antonio itu kembali pada topik yang dibahasnya yaitu penempatan bagian untuk para dokter tersebut. Satu per satu nama disebutkan dan departemen yang akan menjadi tempat mereka bekerja selama 1 tahun penuh disana. Hingga tiba saatnya nama Sania disebutkan dan ia akan bekerja di departemen yang sama dengan dr. Antonio. Dan lebih sialnya dr. Antonio yang terkenal menyebalkan akan menjadi pembimbingnya langsung.
" Mati aku..." gumam Sania.
Membayangkan hari-harinya ke depan akan berat Sania hanya bisa menghela nafas. Namun tekadnya yang kuat tidak akan mudah digoyahkan sekalipun ia diuji habis-habisan karena Sania yang sekarang diusianya yang baru 27 tahun itu sudah mengalami kepahitan hidup yang mungkin tidak akan banyak orang yang menyangka bahwa sampai hari itu ia masih berdiri kokoh meskipun angin badai yang menerpanya masih juga belum berlalu.
Beberapa minggu berlalu.
" Aku akan menyelesaikan ini dengan cepat dan kembali ke negaraku. Ibu.. tunggu aku kita akan segera bertemu kembali."
Sania menyerukan semangatnya untuk dirinya sendiri. Di atap rumah sakit itu adalah satu-satunya tempat ia bisa berkeluh kesah dan mengeluarkan stresnya.
" Haaah... wanita itu lagi."
Tanpa Sania sadari ada seseorang yang memakai seragam yang sama dengannya sedang duduk di pojok atap agak jauh dari tempatnya berdiri.
Ia sedikit terganggu karena tempat rahasianya untuk menyendiri kini diketahui oleh orang lain. Namun ia tidak ada pilihan lain selain berpura-pura tidak mendengar apa yang dikeluhkan Sania dan membiarkannya memaki orang-orang yang membuatnya kesal.
Pria itu mengulum senyum misterius lalu terkekeh sendiri karena sedikit banyak ia menjadi tahu sisi wanita yang bahkan tidak ia ketahui namanya itu.
" Jadi dia berasal dari negara yang sama denganku. Menarik." ucapnya pelan.
Ruang IGD beberapa bulan kemudian.
" Minggir kalian semua atau aku akan menusuknya."
Teriakan panik dari beberapa orang terdengar termasuk para perawat wanita yang menyaksikan rekannya disandera oleh seorang pemabuk.
Seorang dokter pria dengan langkah yang takut mendekat.
" Pak, tolong letakkan gunting itu. Ayo kita bicarakan ini baik-baik."
" Tidak mau. Aku tahu kalian akan memasukkan ku kedalam rumah sakit jiwa kan?."
Pria mabuk itu mengayunkan gunting yang dipegangnya hingga membuat dokter itu mundur.
Sania tidak sengaja melihat keributan tersebut tanpa ragu ia segera mendekat pada salah satu perawat.
" Ada apa ini?"
" Dia pria yang sering membuat onar hari ini dia dibawa kesini karena ditemukan tergeletak di jalanan. Tapi saat sadar dia mengamuk."
Sania mengamati dengan seksama dari raut wajahnya terlihat bahwa pria mabuk itu sedang menahan sakit. Ia lalu maju hingga dihentikan oleh rekannya yang lain tapi ia tidak menghiraukannya.
" Pak, apa anda sedang kesakitan? mari bicara dengan saya, saya akan membantu."
" Jangan mendekat."
Pria itu semakin mendekatkan gunting itu pada leher sanderanya membuat perawat itu ketakutan.
" Pak, lihat saya.. kemari.. "
Pria mabuk itu kehilangan fokus karena Sania terus mengajaknya bicara hingga pada satu momen Sania berhasil menjauhkan gunting itu dan perawat yang menjadi sandera segera melepaskan diri darinya.
Tidak hanya itu Sania pun melumpuhkan pria yang berbadan besar itu dengan membantingnya ke depan hingga pria itu mengerang kesakitan.
Sania lalu dibantu beberapa orang rekannya untuk memeganginya selagi ia memeriksanya karena pria itu terus saja menolak.
Benar saja sesuai dugaannya perut pria itu terlihat aneh dan saat ia menekan di beberapa bagian pria itu menjerit sejadinya.
" Usus buntunya akan segera pecah. Kita harus segera membawanya ke ruang operasi. Dan hubungi segera dokter bedah."
" Hei dokter Sania. Kau tidak ada wewenang disini dan lagi ada beberapa prosedur yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum operasi."
Seorang dokter residen menyela ucapannya.
" Kau tidak lihat kondisi pasien separah ini. Apa kau mau bertanggung jawab kalau pasien ini tidak selamat." bentak Sania.
Dokter itu menatap Sania tidak suka karena junior sepertinya berani membentaknya didepan banyak orang dan itu membuatnya kehilangan muka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments