Cora merutuk jam wekernya yang entah mengapa hari ini tidak berbunyi sedikit pun dan membuatnya terburu-buru untuk menyiapkan dirinya pagi hari ini. Kejadian tadi malam membuatnya tidak bisa tidur, baru kali ini ada seorang lelaki yang dapat membuat Cora tidak bisa tidur dengan pulas. Kata-kata lelaki itu terus-menerus terngiang di dalam benaknya, kejadian di mobil itu terputar ulang secara otomatis di dalam benaknya, membuatnya tidak dapat memejamkan matanya.
"Cora, sayang . . . kamu sudah bangun? mari kita sarapan, sehabis sarapan kita harus mempersiapkan dirimu." Charista membuat Cora terkejut dan menghentikan langkah kakinya, saat ini Cora terlihat seperti patung dan tidak bergerak sedikit pun, ia mencoba mencerna kata-kata ibunya, Cora tidak boleh salah mengartikan setiap kata yang keluar dari mulut ibunya itu, jika ia salah mengerti perkataan ibunya maka malapetaka akan terjadi bagi dirinya.
"Bersiap-siap? kita mau kemana, Ma? jangan macam-macam ma, hari ini Cora ada rapat penting." Cora tersadar bahwa ibunya merencanakan sesuatu yang sudah pasti tidak akan disukainya.
"Mama sudah menelfon kantormu dan mengatakan kamu tidak bisa masuk hari ini." Cora mengerutkan keningnya, ia memicingkan kedua matanya seakan tidak percaya dengan apa yang ibunya katakan. Ibunya terdengar sangat aneh saat ini dan Cora yakin ibunya itu sudah merencanakan sesuatu untuknya. Cora yakin ibunya berencana untuk memaksanya pergi ke acara perjodohan yang lain.
"Apa? nggak bisa . . . mama pasti merencanakan sesuatu, aku mohon hentikan rencana jahat mama itu." Cora menyatukan kedua tangannya dan meletakkannya dihadapan wajahnya, ia memohon kepada ibunya yang terlihat sangat antusias itu. Charista tersenyum licik melihat putrinya yang terlihat terkejut itu. Charista berjalan mendekati puterinya yang masih terlihat bingung itu.
"Tenang, Cora . . . mama tidak mungkin menjerumuskanmu, mama selalu memberikan yang terbaik untukmu. Cepat mandi, banyak yang harus kita persiapkan hari ini." Charista mendorong tubuh puterinya menuju kamar mandi.
"Tapi, Ma. . .." Cora membalikkan tubuhnya dan memandang wajah ibunya itu dengan tatapan yang tersiksa.
"Mama akan menceritakannya saat kita sarapan nanti, cepat mandi." Cora tidak ingin terus berdebat dengan ibunya, ia selalu tidak bisa menang jika melawan ibunya itu. Tidak ada kata penolakkan yang bisa diterima oleh ibunya itu. Ia mengikuti kehendak ibunya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Umur Charista yang sudah mencapai kepala lima itu tidak menghilangkan sifat kekanak-kanakan dan sifat egoisnya. Cora sempat bertanya-tanya apakah ayahnya mencintai ibunya? ia sebagai anak saja selalu merasa kesal menghadapi sifat egois ibunya itu. Tetapi ayahnya yang sabar selalu tersenyum menghadapi ibunya. Memang didalam rumah tangga seorang istrilah yang menjadi bosnya, itulah yang selalu dipikirkan oleh Cora.
Tetapi ayahnya berkata lain, ayahnya selalu mengatakan bahwa Cinta itu bukan hanya sekedar mencari kesempurnaan, cinta itu mengharuskan kita menerima kekurangan pasangan kita dan kita membutuhkan seseorang yang mencintai kita dengan tulus untuk menyempurnakan kita. Ayah Cora mencintai ibunya dengan tulus dan tidak menuntut lebih dari ibunya itu, ia mencintai sang ibu apa adanya, mencintai ibunya itu tanpa syarat apapun.
Cora berlari kecil menuruni anak tangga menuju ruang makan. Langkahnya terhenti saat ia mendekati ruangan itu. Kakinya seakan tidak dapat digerakkan saat ia mendengar suara yang terasa begitu familiar ditelinganya. Ia melangkahkan kakinya dengan pelan. Dugaannya tepat, wajah yang tidak mau dilihatnya lagi dan suara yang tidak mau didengarnya lagi itu membuat paginya hancur. Seakan malamnya yang sudah dihancurkan oleh lelaki itu tidak cukup untuk menyiksanya. Ia mematung, menatap nanar pemandangan dihadapannya.
"Cora sayang. . . kok malah bengong di situ, sini duduk." Charista memanggil Cora dengan lembut. Cora berjalan menuju meja makan dan duduk di bangku kosong yang tersedia, bangku yang sangat tidak ingin untuk didudukinya saat ini, bangku di sebelah lelaki yang menghancurkan harinya.
"Ada apa ini? Mama berhutang penjelasan kepadaku." ketus Cora, ia menaikkan sebelah alisnya memandang lelaki yang saat ini tersenyum manis di sebelahnya.
"Kamu kok galak gitu sayang. . . ini loh. . .nak Tony berkunjung kemari untuk lebih kenal sama keluarga kita." Charista tersenyum bahagia, senyum yang menurut Cora terlihat seperti senyuman seorang iblis.
Cora memijat-mijat pelipisnya. Pantas saja hatinya merasa tidak enak pagi ini, ibunya benar-benar wanita berbahaya yang sangat suka memanipulasi orang disekelilingnya.
"Pagi-pagi buta datang kerumah orang, emang nggak ada kerjaan ya?"
Cora berkata dengan sarkastis. Charista menendang kaki Cora yang duduk dihadapannya, membuat Cora meringis dan mengeluarkan wajah kesakitan.
"Maafkan aku Cora . . . mungkin ibumu belum bercerita padamu, hari ini aku datang untuk memintamu sebagai istriku karena aku adalah seorang yatim piatu aku meminta asisten keluarga kami yang sudah aku anggap sebagai keluarga untuk mewakili orangtuaku, kenalkan James Stapphord." James mengulurkan tangannya kepada Cora. Pria paruh baya yang terlihat sangat tampan diusia senjanya itu tersenyum pada Cora. Walaupun terkejut dengan apa yang dikatakan Tony, Cora tetap menyambut tangan James dengan hangat. Ia menatap Tony dengan kesal, lelaki itu saat ini terlihat tenang dan berwibawa, tetapi Cora tidak akan tertipu dengan wajah tenangnya itu untuk yang kedua kalinya.
"Maafkan aku . . . apa kamu sakit? atau kamu adalah lelaki yang tidak waras? Bagaimana bisa kamu meminta orang yang baru kamu temui kemarin untuk menjadi istrimu?"
"Bukankah kamu bilang pernikahan hanyalah sebuah ikatan untuk mengikat pasanganmu? Aku kira kamu bukan seorang wanita yang mengharapkan perasaan cinta dalam sebuah pernikahan." Tony tersenyum tipis.
"Sudahlah Cora. . . bukankah ini baik bagimu, akhirnya ada lelaki yang ingin menikahimu." Charista menatap tajam ke arah putrinya itu.
"Jangan terlalu memaksa Cora, Ma . . . dia berhak untuk memilih pasangan hidupnya." Charley, ayah Cora, ia menggenggam erat lengan istrinya. Terlihat jelas raut yang penuh dengan kekecewaan di wajah kedua orangtuanya, membuat Cora merasa bersalah atas sikapnya.
"Maafkan Mama, Nak Tony . . . Mama ingin berbicara berdua dengan Cora." Cora menatap tajam kearah Tony dan tersenyum sinis, ada perasaan menggelitik dihatinya saat ia mendengar ibunya yang sudah terlihat akrab dengan Tony sehingga memanggil dirinya dengan sebutan mama. Charista menarik tangan Cora dan membawanya masuk ke dalam kamar tamu yang terletak di lantai satu rumah mereka.
"Apa maksud semua ini, Ma? ini bukanlah zaman Siti Nurbaya yang kebanyakan orang menikah karena dijodohkan oleh orangtuanya. Aku tidak mengenalnya, bagaimana aku bisa menikah dengannya? Hidup bersama dengannya? bahkantidur diatas ranjang yang sama dengannya?" Cora meninggikan suaranya, ia mencoba menahan tangisnya. Selama ini ibunya tidak pernah memaksanya untuk menikah seperti saat ini, ibunya selalu mendengarkan pendapatnya tentang pernikahan. Charista menjodohkannya dengan beberapa lelaki, tetapi jika Cora merasa tidak cocok dan tidak ingin melanjutkan hubungannya dengan lelaki tersebut, Charista selalu menerima kehendak Cora dan mengatakan masih banyak lelaki lain yang menunggu Cora. Tetapi saat ini Cora bisa melihat kekecewaan yang begitu besar dimata ibunya.
"Maafkan Mama bertindak egois dan tidak menceritakan apapun padamu, sudah saatnya kamu menikah sayang. . . Mama dan Papamu sudah tidak muda lagi dan kami tidak tahu kapan ajal akan menjemput kami. Apa kamu tahu kalau Mama selalu iri melihat teman-teman mama yang selalu direpotkan oleh cucu-cucu mereka? Mama iri dan Mama takut, ajal akan menjemput Mama sebelum Mama merasakan bermain dengan cucu Mama. Kamu anak kami satu-satunya. Mama sudah mengenal Tony, dia lelaki baik dan bertanggung jawab, dia punya masa depan yang cerah. Mama tidak mungkin memaksamu menikah dengan sembarangan lelaki hanya karena mama ingin menimang seorang cucu." Terlihat jelas raut kesedihan pada wajah Charista.
"Aku seorang wanita, ma . . . aku ingin menikah dengan lelaki yang kucintai dan lelaki yang mencintaiku. Aku ingin menjadi pasangan seperti papa dan mama yang saling mencintai. Aku memang munafik saat aku mengatakan pernikahan hanya sebuah ikatan untuk mengikat pasangan kita, aku munafik saat aku tidak mengatakan bahwa aku ingin dicintai dan mencintai." Cora tidak dapat menahan perasaannya lagi, tanpa disadari air mata keluar dari sudut matanya.
"Mama mengerti, Sayang . . . mama juga seorang wanita. Mama ceritakan satu rahasia kepadamu. Awalnya mama membenci papamu. Mama membenci sikap papamu yang terlalu lembut sebagai seorang lelaki, mama membencinya karena dia terlalu sabar sebagai seorang lelaki begitu banyak hal yang mama benci dari papamu. Tetapi papamu tidak pernah menyerah untuk mencintai mama dan tanpa mama sadari cinta itu hadir dihati mama. Cinta hadir di antara kami.
Apa kamu percaya jika mama katakan cinta akan hadir pada saat yang tepat, mungkin nanti kamu akan jatuh cinta padanya atau dia akan mencintaimu seperti papamu mencintai mama. Percayalah sayang dia akan membuatmu jatuh cinta, hanya satu yang mama minta sama kamu sayang, menikahlah dengan tony, anggap saja ini permintaan terakhir dari kedua orangtuamu." Charista menggenggam tangan puterinya dengan erat, ia menatap kedalam manik mata puterinya itu, mencoba meyakinkan puterinya bahwa inilah yang terbaik untuknya.
"Ma . . . aku . . .aku. . .." Cora tidak dapat melanjutkan ucapannya, perasaannya bercampur aduk saat ini. Ia tidak bisa menolak permintaan ibunya, tetapi hati kecilnya menolak untuk menuruti ibunya dan menikahi lelaki yang hanya ia tahu namanya itu.
"Cora . . . kamu adalah hadiah terindah dari Tuhan untuk kami. Kami sangat mencintaimu dan kami ingin kamu bahagia, orangtua mana yang tidak bahagia melihat anaknya bahagia?" Charista menarik tubuh Cora yang bergetar ke dalam pelukannya.
"Baiklah, Ma . . . jika itu yang bisa membuat kalian bahagia." Cora memeluk erat tubuh ibunya, seakan tubuh yang sudah renta itu dapat menampung sedikit kegelisahan hatinya.
Saat keduanya sudah merasa sedikit tenang. Charista menarik tangan Cora untuk keluar menuju meja makan dan membicarakan pernikahan puterinya itu.
"Maaf sudah menunggu lama . . . kenapa pada belum makan?" Charista kembali ke posisi duduknya semula. Cora menundukkan wajahnya dan kembali duduk disebelah Tony.
Tony menatap wanita disebelahnya dengan lembut, matanya terlihat sembab tetapi Tony tidak akan mengurungkan niatnya untuk menikahi Cora. Saat Cora sedang larut dalam pikirannya sendiri sebuah kesepakatan telah terjadi diantara keluarga Cora dan Tony. Keluarga Tony juga sudah membawakan berbagai seserahan untuk dirinya seperti pakaian mewah, perhiasan dan segala macam barang-barang mahal untuk dirinya. Barang-barang mewah yang tidak menarik perhatian Cora sedikitpun. Pernikahan mereka akan dilangsungkan dalam dua minggu kedepan. Saat mendengarkan kata dua minggu, Cora menarik nafas panjang dan menghelanya, ia semakin menundukkan kepalanya, lidahnya seakan kelu, ia tidak dapat berkata-kata lagi saat mendengarkan keputusan yang dibuat begitu saja tanpa memikirkan perasaannya, sebuah keputusan tanpa mendengarkan pendapatnya. Ia hanya pasrah pada sang takdir. Jika ia tidak bisa merasakan cinta lagi tetapi bisa membuat orangtuanya bahagia, mungkin itu yang sudah takdir rencanakan untuknya.
"You are mine and always be mine." Tony membisikkan kata-kata yang membuat Cora melotot kearahnya. Cora baru mengerti apa yang dikatakan Tony malam itu, Tony memang sudah merencanakan semua ini. Ia berencana untuk menikahi Cora. Cora tidak mengerti apa yang ada dipikiran lelaki itu. Lelaki itu telah berhasil membuat hari-harinya kacau, atau bisa disebut juga lelaki yang berhasil membuat hidupnya hancur dan berantakan.
Pertemuan yang dipikir Cora hanya sebagai perkenalan antara dua keluarga itu, berakhir dengan sebuah lamaran. Perkenalan yang lebih bisa disebut dengan sebuah acara lamaran, itu membuatnya frustasi.
Bagaimana tidak disebut dengan acara lamaran jika saat ini Tony sudah memberinya barang-barang mewah sebagai seserahan dan memutuskan tanggal pernikahan mereka. Cora hanya bisa menerima takdirnya dengan perasaan gelisah.
Ia tidak mengerti apakah ia bisa bertahan untuk hidup selamanya dengan lelaki asing yang baru saja dikenalnya kemarin, ia tidak tahu apakah cinta bisa tumbuh di antara mereka. Memikirkan semua yang akan terjadi di dalam kehidupan pernikahan mereka nanti membuat kepalanya sakit. Tapi apa daya, Cora bukanlah seorang anak durhaka yang selalu memberontak kedua orang tuanya. Walaupun ia tidak bisa menerima keegoisan ibunya itu, tetapi ia tidak mungkin membantah perintah ibunya, ia tidak ingin membuat ibunya itu merasa kecewa dan tersakiti, walau bagaimanapun Cora sangat mencintai kedua orang tuanya.
...***...
🌷🌷🌷
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments